Pendahuluan
Mohammed Arkoun (selanjutnya disebut Arkoun saja), menyatakan bahwa kenyataan Islam yang dialami masyarakat muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang memiliki karakter logosentris. Ada beberapa ciri yang menunjukkan adanya kenyataan itu. Pertama, nalar Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan) yang tentu saja lebih bersifat estetisetis daripada ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi ‘aql) telah menjadi sempit dan hanya berkutat di dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika, teologi, moral dan hukum. Ketiga, nalar hanya bertiti tolak dari rumusanrumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. Keempat, data-data empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan kebenaran transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran serta menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam
cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, sosial, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-satunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid. Keenam, pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Selain itu, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaanspiritual, cenderung diabaikan.1
Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada kaum intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga,
meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.2
Biografi Arkoun
Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19283 dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf)4 dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.5 Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di
al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair.6
Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris.7 Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doctor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat.8 Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.9 Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.10
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.11
Pada tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya.12 Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu saja, membuka peluang terhadap kritik.13
Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur).
Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan
Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III).14 Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab, baginya, pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.1
Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique (tradition francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq) (sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabeau IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M:Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami Islam).
Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam, agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.
Karya Arkoun mayoritas dibuat dalam bahasa Perancis, dan kemudian tersebar dalam bentuk karya terjemahan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Beberapa karya terjemahan yang penting antara lain adalah al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam; Asalah wa Mumarasah (bahasa Arab), Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (bahasa Inggris), NalarIslami dan Nalar Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam:Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, dan Rethinking Islam (bahasa Indonesia).
Karya-karya Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami oleh ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti PaulRicoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack Goody, ahli sastra Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya. Pengaruhpengaruh tersebut tampak misalnya pada anggitan tentang myth16 dan imaginaire social17 dari Ricoeur, episteme, discours dan archeology dari Foucault18, signifiant dan signifie dari de Saussure dan Derrida19, deconstruction, unthought (l’impense), unthinkable (l’impensable) dan thinkable (le pense) dari Derrida20 dan sebagainya.
Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern.
Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsure yang sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat sendiri.21
Kerangka Pemikiran Arkoun
Kegelisahan Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya adalah kenyataan adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. Dikotomidikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan dengan persoalan-persoalan particularity versus (vs) universality, dan marginality vs centrality. Problem-problem ini tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syi’i, kaum mistik dengan kaum tradisionalis, Muslim dengan non- Muslim, Berber (non-Arab) dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan sebagainya.22
Oleh karena itu, dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak ada pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior dan tidak ada kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran. Arkoun berusaha mengajukan pertanyaan yang kritis kepada kita, yaitu “Bagaimana seluruh manusia bias menjadi diri mereka sendiri dengan identitas mereka sendiri tanpa menyendiri dari tetangga-tetangga dan sesama manusia lainnya?” Bagi orang Islam, Arkoun bertanya-tanya, “Dapatkah identitas-identitas Muslim itu didamaikan dengan identitas-identitas non-Muslim?”23
Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Di dalam melakukan ijtihad (dengan menafsirkan Islam) yang tidak pernah berhenti, ada dua kekuatan tradisi pemikiran yaitu, budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Secara jelas, Arkoun mengemukakan dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama, yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19.
Dengan demikian, usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru. Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap budayabudaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah.24
Di dalam pembicaraan yang didasarkan pada postulatpostulat kaum metafisik klasik yang esensialis dan substansialis, Islam digambarkan sebagai suatu system pemikiran, kepercayaan, dan ketidakpercayaan yang khusus, esensial, dan tidak berubah, sehingga memunculkan adanya kelompok-kelompok superior dan inferior (menurut orang Islam atau non-Islam) ketika dihadapkan dengan sistem Barat (Kristen). Menurut Arkoun, inilah saat yang tepat untuk menghentikan pertentangan-pertentangan antara dua sikap dogmatis yang berupa klaim kebenaran teologis dari orangorang yang beriman dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme kaum positivistik. Sejarah agama telah mengumpulkan fakta-fakta dan gambaran-gambaran dari berbagai macam agama, akan tetapi agama sebagai dimensi universal dari manusia belum didekati dengan perspektif epistemologis yang relevan. Kelemahan dalam pemikiran modern ini nampak secara jelas dari literatur yang miskin, seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama wahyu.
Untuk menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif. Oleh karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar (reason) harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pemikir, penulis, seniman, sarjana, politisi dan produsen ekonomi.
Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang dianggap memiliki otoritas, karena hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam.
Dalam bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.25Ada enam garis pemikiran (six heuristic lines of thinking) yang diajukan Arkoun untuk merekapitulasikan ilmu pengetahuan Islam dan mengkonfrontasikannya dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Enam garis pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Di dalam masyarakat, manusia menggunakan berbagai cara yang berubah-ubah, yang dialihbentukkan menjadi sebuah tanda, di mana sistem tanda itu ditampilkan melalui bahasa. Tanda-tanda tersebut merupakan persoalan yang radikal bagi ilmu pengetahuan yang kritis dan terkendali. Persoalan ini muncul mendahului berbagai usaha untuk menafsirkan wahyu. Kitab-kitab suci itu sendiri dikomunikasikan melalui bahasa-bahasa alami yang digunakan sebagai sistem tanda dan telah diketahui bahwa setiap tanda merupakan locus dari tindakan-tindakan convergent yang berlaku di semua hubungan antara bahasa dan pemikiran.26 Persoalan tanda dalam bahasa merupakan isu di dalam pendekatan strukturalis-semiotik dari metodologi linguistik yang antropologis. Menurut Greimas, J. Courtes, agama merupakan lahan subur bagi analisis semiotis, sebab tanda akan memainkan peran penting di dalamnya, semiotik dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan signifikasi yang hanya menekankan aspek tertentu dari jangkauan ilmu pengetahuan tanda.27 Semiotik, secara radikal juga dianggap sebagai ilmu yang membahas segala gejala budaya sebagai proses komunikasi.28
2. Semua hasil semiotik manusia dalam proses penampakan sejarah dan budaya merupakan sasaran dari perubahan sosial yang oleh Arkoun disebut sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity. Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita. Penampakan-penampakan yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan kebenaran yang pertama) dan transendensi milik nalar teologis dan nalar metafisis tentu telah meniadakan historisitas sebagai dimensi kebenaran. Hal ini terjadi karena, karena alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat-postulat yang terus berubah digunakan untuk mengetahui kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua pemikiran abad pertengahan yang didasarkan pada esensi-esensi dan substansi-substansi yang telah mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut sistem semiotik yang menjadi sasaran historisitas. Definisi aristitelian tentang logika formal dan kategori abstrak, harus direvisi dalam konteks teori semiotik tentang makna dan historisitas nalar.29 Garis pemikiran kedua ini merupakan pendekatan post-strukturalis dekonstruksionis dari linguistik kritis. Di dalamnya ada demistifikasi dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan interpretasi yang dilahirkan oleh nalar teologis.30
3. Terdapat berbagai tingkatan dan bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah Islam. Imagination dan imaginaire dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu pengetahuan dan tindakan. Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam kerangka agama maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut sangat menentukan di dalam masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah, karena budaya rasional hanya mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda dengan masyarakat Barat yang meski juga masih memiliki imaginaire.31 Garis pemikiran seperti ini merupakan pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.32
4. Discours sebagai artikulasi ideologis tentang realitas sebagaimana yang dipersepsikan dan digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berkompetisi itu, dating mendahului iman yang diekspresikan, ditemukan dan diaktualisasikan di dalam dan melalui discours. Sebaliknya, setelah mengambil bentuk dan akar dari discourse keagamaan, politik dan keilmuan, iman kemudian memberikan arah dan postulat-postulat bagi dicsours dan perilaku-perilaku yang mengikutinya (baik individu maupun kolektif). Dengan demikian, iman merupakan kristalisasi dari angan-angan, penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh tiap kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah.33 Dari garis keempat ini, dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah post-strukturalis semiotis sosiokritis dengan metodologi linguistik kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata discours menuntut adanya pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima pesan yang bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi (konteks) pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan cara pandang dan cara pikir para enuturnya.34
5. Pada saat ini kita sedang mengalami krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah tidak memiliki relevansi historis lagi. Belum ada suatu sistem legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat di kalangan umat. Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang untuk dapat mengajukan sebuah system legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis. Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis dari sebuah teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada lembaga-lembaga politik, namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal dari tiga agama wahyu (Islam, Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini bertentangan dengan jaminan teologis dari pewahyuan atau ontologi klasik mengenai keberadaan awal dari neo-platonik yang didasarkan pada legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu, sehingga Arkoun menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok orang.35 Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan kritik epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang digunakan dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali terinspirasi dari istilah “kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant, sekalipun bisa jadi memang karena budaya kritik yang pernah hidup subur di kalangan umat Islam. Kritik epistemologis ini ditujukan pada bangunan keilmuan agama secara keseluruhan, yang dilihat Arkoun sebagai produk sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu.36
6. Pencarian terhadap makna tertinggi bergantung kepada pertanyaan yang radikal mengenai relevansi dan eksistensi sebuah makna tertinggi tersebut. Kita tidak berhak menyangkal adanya kemungkinan munculnya makna tertinggi. Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah berkenaan dengan cara untuk mendasarkan seluruh pemikiran kita di atas postulat mengenai adanya makna tertinggi tersebut. Menurut Arkoun, kita mempunyai tanggung jawab terhadap terwujudnya nalar kritis dan oleh karena itu, kita bertanggung jawab untuk mencari pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara makna dan realitas. Pertama-tama, kita harus meningkatkan peralatan intelektual, yaitu yang menyangkut mengenai kosa kata, metodologi, strategi prosedur, definisi dan wawasan penelitian.37 Dengan begitu, berarti Arkoun mengakui adanya “petanda transendental” sebagai petanda terakhir yang merupakan pendekatan yang melampaui batas semiotika dalam metodologi struktural linguistik.38 Dengan memperhatikan enam garis pemikiran Arkoun tersebut, maka dapat ditarik sebuah garis lurus bahwa pendekatan dan metodologi pemikiran Arkoun adalah multi disiplin yang bersifat antropologis.
Pemikiran-Pemikiran Arkoun Yang Penting
Berikut ini akan disampaikan dua buah pemikiran Arkoun yang menarik untuk dijadikan sebagai diskusi, berdasarkan metodologi dan pendekatan yang dia pakai.
1. Wahyu dan Teks Alqur’an
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).39
Pencatatan Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.
Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bias dipikirkannya kembali persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani. Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik. 40
Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia.41 Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:42
Firman Allah (Umm al-Kitab) Sejarah Penyelamatan Manusia Wacana Alqur’an KRT KT Sejarah Dunia (Peristiwa sejarah pewahyuan) Masyarakat Penafsir al-Qur’an, al-Kitab, al-Dzikr, al-Furqan tradisi, ingatan kolektif, seleksi, eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, imaginaire social dan munculnya rasionalisme kritis Ket: KRT : Korpus Resmi Tertutup KT : Korpus Tafsir
2. Pembacaan al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.43
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saatsaat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”.
Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga, cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia.44
Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai sebuah qira’ah).45
Pemikiran-pemikiran Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum Muslim lainnya.
Arkoun berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”.46 Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka keagamaan dari massa.47
Namun demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.48
Karena karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat, pengikut berbagai agama.49 Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami, meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan para pembacanya.
Penutup
Hampir seluruh pemikiran Arkoun tentang kajian ulang pemikiran Islam, ternyata merupakan pemikiran epistemologis yang tidak praktis dan belum tuntas. Hal tersebut merupakan nilai tambah dan sekaligus merupakan nilai kurang dalam pemikiran Arkoun.
Arkoun banyak menemukan hambatan psikologis dari pembaca Muslim yang menolak “diganggunya” wilayahwilayah sakral. Hal ini terjadi karena Arkoun berusaha membongkar “kekeramatan” yang dilekatkan pada berbagai sumber dan wilayah bangunan pemikiran Islam yang telah ada dan memberikan alternatif pemikiran yang bercorak historis empiris.
0 komentar:
Posting Komentar