disi : 001.hima prodi pba-uyp.12/2010
- Mahasiswa: Agent of Change, Angent of Control
Pergerakan mahasiswa ternyata memiliki perbedaan yang cukup besar antara pada negara-negara maju dan negara dunia ketiga seperti di Indonesia ini. pada negara-negara maju peranan pergerakan mahasiswa sebagai agent of change kurang mendapatkan tempat bahkan kurang diakui. Hal tersebut karena negara-negara maju tersebut telah memiliki sistem politik yang telah terlembaga sedemikian rupa, disana telah dipisahkan secara ketat fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif, di sana, dinamisasi dan pembaharuan dapat terjadi secara terlembaga dan melalui sistem yang telah matang itu sendiri. Kekuatan di luar sistem untuk melakukan penekanan, salah satunya gerakan mahasiswa semakin tidak diperlukan, kontrol masyarakat terhadap pemerintah telah diperankandengan baik oleh pers swasta dan berbagai lembaga hak asasi ataupun organisasi-organisasi lingkungan.
Namun berbeda dengan negara-negara maju tersebut, negara-negara dunia ketiga termasuk negara kita, Indonesia, kekuatan mahasiswa barangkali masih sangat dibutuhkan dalam memajukan dan dinamisasi negara. Pada negara-negara dunia ketiga, sistem politiknya belumlah terlembaga secara kuat, sehingga seringkali terjadi banyak penyimpangan, misalnya kekuasaan birokrasi yang melampaui wewenang formal, serta wahana kontrol dan mekanisme internal sistem tersebut acapkali lumpuh. (Denny, 2006)
Nah, disinilah kemudian dibutuhkan gerakan dari luar sistem yang diharapkan akan mampu menimbulkan reformasi politik demi mencapai
kemajuan. Tekanan dari luar ini dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi rakyat dan tentu saja, pergerakan mahasiswa.
Pergerakan mahasiswa selayaknya menjadi kelompok penekan dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah (penguasa), sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tetap pada koridornya dan benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat. Inilah yang dimaksud dengan mahasiswa sebagai agent of control. Namun lebih dari itu mahasiswa tentu saja dengan pergerakannya juga harus bisa menjadi katalisator perubahan politik di negara ini, dengan kata lain sebagai dinamisator alias agent of change!
Mahasiswa semestinya dapat benar-benar memerankan dirinya sebagai agent of change dan agent of control, kebijakan-kebijakan pemerintah harus dilihat dan dikritisi, latar belakang, tujuan, serta sangat penting juga pendanaannya. Tidak cukup itu tetapi secara kontinyu juga harus diawasi dan dikontrol.
Dapat kita lihat bagaimana keberadaan kelompok penekan yang di dalamnya juga terdapat elemen mahasiswa, elemen ini kemudian dapat berinteraksi dengan rakyat, lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan dengan partai politik demi menghasilkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kemaslahatan rakyat.
Saudara, mahasiswa sampai sekarang masih dianggap yang paling idealis dan pikirannya masih jernih serta memiliki semangat yang tinggi sehingga pergerakan mahasiswa mendapatkan porsi yang cukup besar dalam rangka ikut menentukan masa depan bangsa, tinggal bagaimana mahasiswanya, MAU APA TIDAK ?!
Sebenarnya saya lebih tertarik untuk membahas hal ini kedalam sekup yang lebih khusus yaitu untuk UYP sendiri. Sebenarnya hampir tidak berbeda, dalam sekup UYP, mahasiswa juga memiliki dua peranan penting tersebut, kita sebagai mahasiswa juga memiliki hak untuk turut menentukan masa depan UYP, sebab mau-tidak mau kitalah yang akan merasakan akibat, baik-buruknya dari kebijakan yang telah dipu tuskan.
- Secuplik Sejarah Pergerakan Mahasiswa
Pada poin pertama sudah saya singgung tentang salah satu peran mahasiswa, berikut mari kita tengok secuplik sejarah tentang sepak terjang pergerakan mahasiswa dalam menjalankan fungsi-fungsinya tersebut.
Sedikit bernostalgia, saat saya masih kecil saya berfikir untuk sekolah lalu lulus trus melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi sampai akhirnya menjadi mahasiswa dan bekerja, saat itu tidak ada pikiran tentang peranan mahasiswa selain untuk belajar matakuliah, kemudian lulus dengan IP tinggi dan segera terjun kedunia kerja dan menekuni profesi. Pandangan saya yang begitu sempit tentang peran mahasiswa tersebut kemudian sedikit berubah setelah saya menjadi mahasiswa, ya, saya yang masih anak ingusanpun kemudian menjadi sedikit mengerti tentang adanya peranan lain mahasiswa.
Sesungguhnya peristiwa reformasi 1998 bukan satu-satunya hadiah dari mahasiswa untuk bangsa ini, di Indonesia, mahasiswa telah berpartisipasi dalam setiap perubahan penting dalam seajarah perkembangan politik di Indonesia. Pada masa kenaikan Soeharto menjadi presiden, banyak organisasi-organisasi mahasiswa yang ikut mendukung, namun sejak 1970-an pergerakan mahasiswa telah diarahkan untuk menentang rezim orde baru. Pada akhir 1980-an, sebuah gelombang baru demonstrasi mahasiswa dimulai. Saat itu demokrasi dan pemenuhan hak-hak asasi manusia menjadi tema yang lazim bagi gerakan E2 80 98 protes E2 80 99 mahasiswa tersebut. Aspinal dalam sidiq (2003) pada sebuah kajian tentang E2 80 98 pembangkangan E2 80 99 mahasiswa pada tahun 1980-an di Indonesia, mengumpulkan laporan tentang 155 demonstrasi mahasiswa dalam periode 1987-1990. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998 adalah yang paling menonjol menentang kekuasaan presiden Soeharto. Yah, kita tentunya masih ingat, saat itu bermula dari menuntut demo kratisasi, penegakan HAM, penerapan reformasi total hingga berakhir pada permintaan pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden. Saat itu dari akhir 1997 sampai sekitar mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang demonstrasi dari berbagai elemen mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Bukan hanya sekedar demonstrasi saja, tetapi para mahasiswa tersebut juga mengadakan mimbar bebas, dialog, audiensi, petisi, seminar, dan lain-lain.
Jika kita melihat lebih awal lagi, saat bangsa ini awal terbentuk, atau bahkan sebelum itu, rupanya mahasiswa telah memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan bangsa. Pada masa sebelum kemerdekaan dan awal-awal kemerdekaan, pergerakan mahasiswa/pelajar telah menjadi pemantik semangat kebangkitan bangsa. Daridahulu sampai sekarang mahasiswa telah menjadi salah satu komponen penting dalam sejararah perkembangan bangsa.
Namun ada perbedaan yang cukup signifikan antara gerakan mahasiswa jaman dahulu dengan sekarang, Denny J A dalam bukunya yang berjudul Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an menjelaskan perbedaan tersebut terlihat pada beberapa aspek, yaitu:
Orientasi gerakan, orientasi mahasiswa dulu adalah gugatan ke struktur kekuasaan, kini orientasinya adalah pembentukan opini politik masyarakat luas. Format dulu adalah kebanyakan aksi massa, sekarang tidak sekedar aksi massa tetapi juga aksi informasi.
Tipe gerakan , tipe gerakan mahasiswa dahulu adalah gerakan politik praktis, kini tipenya adalah gerakan penyadaran dibidang sosial politik. Kultur yang mendukung gerakan mahasiswa dulu adalah suhu politik yang tinggi yang ditandai dengan krisis sistem politik, kini kulturnya adalah suhu akademis yang tinggi yang ditopang dengan terintegrasinya sistem politik, sehingga untuk kepolitik-praktisannya berkurang.
Organisasi, organisasi yang menjadi wadah mahasiswa dulu adalah organisasi massa dengan metode mobilisasi massa, kini organisasinya adalah kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik. Bagus sekali bukan, uraian Denny JA ini menggambarkan suatu perubahan orientasi pergerakan mahasiswa, namun kita juga perlu melihat kondisinya sekarang, apakah benar demikian atau seperti apa? (terus baca tulisan ini, ok)
- Fenomena dikotomi peran mahasiswa dalam tinjauan normatif dan relevansinya dalam membangun kampus yang lebih kondusif terhadap gerakan mahasiswa
Ok Saudara, ada satu hal penting yang sengaja baru saya angkat pada topik yang ketiga ini, yaitu keputusan DIKTI tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus.
Kekuatan pergerakan mahasiswa sampai tahun 70-an telah menjelma menjadi suatu kekuatan politik yang kemudian memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal ini yang kemudian menjadi k= ekhawatiran tersendiri bagi pemerintah pada saat itu, sampai muncullah SK 028/U/1974 tentang NKK/BKK yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan, sebagai pembaharuan gerakan mahasiswa agar lebih sesuai dengan nama dan statusnya yaitu mahasiswa.
Namun ada satu catatan penting disini, yaitu tidak adanya evaluasi setelah penerapan NKK/BKK ini, hal ini memungkinkan adanya penyimpangan/disorientasi kebijakan tersebut terutama jika dihadapkan pada kondisi riil mahasiswa sekarang ini.
Saudara, ada 3 tahap yang harus dilewati dalam suatu proses perubahan yang disengaja, pertama, diterapkan orientasi nilai baru tetapi masih dipandang melalui kerangka orientasi nilai lama, pada tahap ini terjadi penghancuran infrastruktur orientasi nilai lama. Kedua, orientasi nilai lama sudah hancur, akan tetapi orientasi nilai baru belumkuat, atau bahkan masih dirasakan baru, inilah masa transisi yang kemudian harus dikawal secara ketat dan diawasi supaya tidak sampai menyimpang, sebab jika sampai menyimpang maka memungkinkan akan menghasilkan sesuatu yang baru yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketiga, orientasi nilai lama telah hancur, orientasi nilai baru diterima sehingga terjadilah integrasi dimana orientasi nilai baru mengakar dan dihayati.
Nah, kenyataan yang terjadi di pergerakan mahasiswa sekarang adalah tahap yang kedua. Infrastruktur orientasi nilai lama dalam hal ini politik praktis telah hancur dengan adanya NKK/BKK, akan tetapi orientasi nilai baru, yaitu tentang keilmuan/akademik yang sesungguhnya, belum bisa dihayati pada kalangan pergerakan mahasiswa, bahkan masih terasa asing. Iklim keilmuan yang ingin dibangun ditengah kehidupan mahasiswa secara normatif seharusnya bukanlah ilmiah sekadar ahli dalam bidang tertentu saja, tetapi juga harus cendekia (meminjam istilah dari denny JA) yaitu komitmen etika yang memberi kepekaan sosial dan perspektif manusia ke dalam pengetahuan. Kecendekiaan semacam ini hanya dapat dicapai dengan pengetahuan interdisipliner, sehingga pola spesialisasi ketat seperti sekarang ini jelas-jelas tidak cocok.
Persoalannya kondisi seperti sekarang ini tetap berlarut dan tidak tergarap. Indikatornya sebagai berikut, tata organisasi intra kampus masih dalam tujuan untuk menghancurkan orientasi lama (politik praktis) yaitu dengan adanya pengkotakan yang sangat tegas didalam mahasiswa, yaitu fakultas-fakultas. Badan eksekutif mahasiswa kemudian tidak berada dalam satu lingkup Universitas melainkan fakultas-fakultas, hal ini jugalah yang kemudian menjadikan BEM Universitas kurang mendapat akses kepada mahasiswa yang tinggal difakultas-fakultas tersebut. Parahnya lagi, sekat fakultas ini dipertegas dengan spesialisasi fakultas pada bidang studi di fakultas tersebut. Mahasiswa PAI,PBA, menjadi tabu ketika berbicara tentang politik, mahasiswa Pertania Dll menjadianeh ketika kemudian berbicara tentang hal yang tidak sesuai dengan jurusannya, etc. (Dengan demikian BEM U mau ngapain?= Ngurusi bidang tertentu udah ada fakultas, mau turun di politik dilarang, akhirnya ya diskusi-diskusi seperti ini, tapi jarang ce.. hampir g pernah malahan, hehehehehe.)
Satu hal lagi yang menurut saya perlu anda ketahui juga, yaitu masuknya PR III (PR: Pembantu Rektor) kedalam struktur organisasi mahasiswa, bahkan bapak/ibu PR/ III ini memegang posisi kunci, yaitu sebagai penentu akhir setiap program organisasi mahasiswa, dengan demikian para PR III ini menjadi penentu, pengarah dan pemutus seluruh kegiatan organisasi mahasiswa di dalam kampus. Semoga pendapat saya ini salah, hal inilah yang menyebabkan lesunya kreatifitas dan daya dobrak mahasiswa, dengan kalimat yang lebih ekstrim, merekalah ketua BEM yang sesungguhnya, bukan mahasiswa itu sendiri.
Berikut beberapa fenomena yang merupakan akibat dari terkotak dan terspesialisasinya pergerakan mahasiswa:
- Minat mahasiswa untuk bergabung dalam organisasi intra kampus rendah, mereka menganggap aktualisasi diri yang ditawarkan dalam organisasitersebut sudah cukup dengan pelajaran di fakultasnya masing-masing.
- Semakin meluasnya apatisme dan kelesuan partisipasi dan aktifitas ekstrakurikuler kampus, kecuali aktivitas resmi yang bersifat hiburan, misalnya tanding olahraga dan pagelaran musik.
- Tidak adanya koordinasi yang kontinyu antar lembaga mahasiswa dimasing-masing fakultas, sehingga terkesan fakultas bergerak sendiri-sendiri.
- Dan banyak contoh lainnya.
Yang diperlukan sekarang ini adalah pengaktifan kembali tulang punggung pergerakan mahasiswa di intra kampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa dalam arti aktif yang sebenarnya yaitu benar-benar dikelola oleh mahasiswa, adanya PR III hanyalah sebagai fasilitator dalam pelaksanaan organisasi pergerakan mahasiswa, bukan sebagai penentu akhir. Saatnya mahasiswa diberi ruang yang lebar untuk berkreasi dan kembali memberikan kontribusi yang nyata bukan hanya dalam disiplin ilmu masing-masing tetapi juga dalam ikut serta mematangkan bangsa menjadi bangsa yang besar.
- Membangun sinergisitas menuju UYP lebih baik
Pemaparan singkat diatas setidaknya menyadarkan kita tentang bagaimana kondisi pergerakan kita (mahasiswa) dan apa yang semestinya kita lakukan. Dalam hal ini saya akan berbicara dalam sekup UYP saja, yaitu untuk memajukan UYP kita ini perlu adanya sinergisitas baik dalam tataran wacana, pemahaman dan aksi diantara elemen-elemen pergerakan mahasiswa serta pihak birokrat kampus dan seluruh civitas akademika di kampus ini.
Demi membangun sinergisitas pergerakan mahasiswa maka yang pertama kali diutamakan adalah kerjasama dan kekompakan elemen-elemen mahasiswa itu sendiri. Saat ini, aktivis-aktivis mahasiswa sendiri telah terkelompokkan dalam berbagai organisasi mahasiswa, baik organisasi intra kampus yang bergerak sesuai bidang dan fakultasnya serta organisasi ekstra kampus yang mengusung ideologinya masing-masing. Semua elemen ini harus bersatu, karena pada dasarnya tujuan kita adalah sama yaitu untuk memajukan UYP kedepnnya, khususnya dalam gerakan kemahasiswaannya. Walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam mencapai tujuan tersebut masing-masing dari elemen memiliki visi dan jalan/rumusan sendiri, dan bahkan terkadang jalan-jalan kita masing-masing ini saling bersebrangan, sehingga perlu sesuatu yang disebut E2 80 98 kedewasaan E2 80 99, ya kedewasaan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, jangan sampai membuat kita lupa akan tujuan utama untuk memajukan Universitas kita ini. Kedewasaan harus kita tanamkan dan kita bina di dalam diri kita baik sebagai individu maupun sebagai suatu organisasi mahasiswa, juga perlu kita tekankan dalam sistem kaderisasi yang diterapkan dalam masing-masing elemen. Jangan sampai kita dilenakan kepentingan pribadi/kelompok sehingga menafikan kepentingan bersama untuk kemajuan UYP. Yang berikutnya adalah komunikasi, barangkali di mindset kita sudah tertanam konsep kedewasaan tadi, tetapi karena tidak adanya komunikasi antara elemen membuat hal tersebut sia-sia. Komunikasi menjadi sangat penting dalam membangun sinergisitas ini, terutama ketika sudah dalam tahap action atau penerapan di lapangan dari apa yang telah kita (masing-masing elemen) rumuskan di internal masing-masing, komunikasi ini menjadi alat yang akan menyatukan gerak sehingga gerakan mahasiswa menjadi gerakan yang benar-benar diperhitungkan dan secara efektif menjadi agent of control ataupun agent of change, demi kemajuan bersama.
Secara konkrit seharusnya ada forum bersama yang menyatukan seluruh komponen pergerakan mahasiswa untuk kemudian membahas bersama permasalahan di UYP ataupun didaerah maupun nasional, dan kemudian diupayakan dihasilkan keputusan bersama, setidaknya komitmen bersama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Berikutnya membangun komunikasi timbal balik dengan pihak penyelenggara universitas, memposisikan pergerakan mahasiswa sebagai bagian yang secara aktif ikut membangun UYP dan mengawasi pengembangan dan pembangunan yang diselenggarakan lebih khusus pada ranah pengorganisasian mahasiswa.
insyaALLAH cukup demikian sedikit uraian tentang sinergisitas pergerakan mahasiswa, semoga coretan ini dapat menambah ilmu dan wawasan kita dan menjadi bahan renungan yang menggugah setiap jiwa untuk bergerak, karena tak bergerak itu adalah mati.
Ditulis Oleh :
Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Yudharta Pasuruan
Penasehat : Kaprodi PBA UYP
Penanggung Jawab : A. Dhofir
Ketua Redaksi : Nuzulia Rahmawati
Editor : Abyan Kamaludin
: Abdul Kholib
: Mutmainnah
Edisi : 002.himaprodi pba-uyp.12/2010
Mengembalikan Jati Diri Mahasiswa
Kebelakangan ini, peranan mahasiswa yang dianggap sebagai agen arus perubahan yang diinginkan masyarakat bergema semula. Pandangan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan sebagai agen gerakan pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa) sebagai kelompok intelektual muda.
Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperanan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendukung dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang membelenggu demokrasi, menuntut peranan yang lebih dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai mekanisme kawalan.
Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisme kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.
Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.
Gerakan Mahasiswa
Kalau kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah jauh berbeda. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung kepada masyarakat marhaen yang memerlukan pembelaan.
Semangat juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu, dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini.
Bandingkan hal tersebut dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan.
Ada dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya Barat yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan mudah meniru budaya asing tanpa menyadari risikonya, seperti berpesta pora, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang langsung tidak bermanfaat.
Kedua, adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi yang cenderung konsumtif. Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam pendidikan, yang berteraskan lulus pemeriksaan membentuk pola pikir serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai kuli.
Mulai dari sekolah rendah, kita di ajar dengan ilmu yang bersifat dogma, serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima sebagai dogma. Dalam sistem pendidikan menengah pun, pada saat ini sama saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut.
Sistem yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan kos pendidikan yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus menuntut di perguruan tinggi.
Kondisi seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu mendara gading dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan.
Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah.
Jarang sekali mahasiswa coba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan kegiatan ilmiah).
Melihat fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban untuk mengubah mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada persoalan-persoalan kerakyatan.
Di samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi perguruan tinggi sebagai fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam aplikasinya. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan dapat dibangunkan kembali.
Integritas Kunci Membangun Kredibilitas Ilmuwan Muda
‘’Integritas adalah kualitas mahasiswa yang akan mengantarkan mereka pada kesiapan moral-individual dan menumbuhkan elan vital yang tinggi untuk menghadapi persaingan global yang ketat,’’ ujar Menristek Suharna Surapranata saat memberi kuliah umum di depan tak kurang dari 4.000 mahasiswa baru Universitas Indonesia, pada Rabu, 18 Agustus 2010.
Menurut menristek, integritas didorong oleh dua faktor utama, yaitu moralitas dan nasionalitas. Moralitas atau nilai-nilai spiritual akan memunculkan visi, nilai dan komitmen yang kuat bagi pencapaian prestasi tinggi. ‘’Hal itu akan menghasilkan kualitas kesabaran, daya tahan, ketekunan, konsisten, dan mampu menghadapi godaan jangka pendek serta sikap pantang menyerah. Moralitas juga mendorong sifat keterbukaan, kejujuran, anti-plagiat, dialogis, fleksibilitas, penghargaan atas prestasi dan pendapat orang lain,’’ papar menristek.
Sementara, nasionalitas merujuk kepada pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat pilar utama tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan memahami keempat pilar tersebut, semangat nasionalisme akan selalu mengiringi setiap aktivitas mahasiswa sebagai anak bangsa Indonesia.
Lebih lanjut menristek menjelaskan, integritas yang menjadi kata kunci dalam membangun kredibilitas mahasiswa secara nyata mendorong para mahasiswa untuk memiliki akseptabilitas atau penerimaan dalam membangun kepedulian kepada sesama. Sifat kedermawanan maupun empati terhadap orang lain, mendorong mereka untuk memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat secara luas. Di sinilah lahir hubungan yang kuat antara mahasiswa selaku ilmuwan muda dengan masyarakat yang akan menjadi tempatnya berkiprah kelak.
Di kampus, menurut menristek, para mahasiswa mulai membangun profesionalitasnya. Proses tersebut secara pasti berjalan secara bertahap, mulai dari pematangan diri, pematangan kemampuan, pematangan peran dan kearifan filosofis. Pematangan diri meliputi kematangan dalam aspek teknis di bidangnya, kematangan dalam pilihan profesionalismenya sehingga menemukan jati diri dan dikenal di kalangan profesinya.
Sementara, pematangan kemampuan ditunjukkan dengan pemahaman filosofis atas bidang profesinya, pemahaman multi aspek pengembangan ilmunya, kemampuan lobby, dan lahirnya pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi kebijakan nasional. ‘’Di kampus pula, para mahasiswa mulai mematangkan peran-perannya sehingga tak hanya dikenal dan berperan di tingkat nasional tapi juga dikenal di tingkat internasional. Pada akhirnya, kearifan filosofis menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa sebagai ilmuwan muda lewat kekayaan pengalaman baik di tingkat nasional dan internasional, mampu menjadi rujukan, bahkan mengambil peran-peran secara internasional,’’ papar menristek.
Bila semua itu sudah terjalani, menurut menristek, para mahasiswa telah mewujud sebagai ilmuwan-ilmuwan muda yang kredibel. ‘’Mereka memiliki kredibilitas yang kuat sehingga mampu mengantarkan diri pada kesiapan professional yang tinggi untuk menghadapi persaingan global yang ketat,’’ jelas menristek.
Kendati demikian, menristek mengingatkan akan pentingnya memahami medan berat yang ada di era globalisasi seperti panggung global yang terus berubah, bumi yang menciut dan semakin terhubung, perkembangan teknologi yang semakin dinamis, modal perusahaan bukan lagi bersifat fiscal tetapi SDM dan pengetahuan, serta peran sentral universitas dalam pembangunan ekonomi dan industri.
‘’Harus dipahami, mahasiswa Indonesia tidak sendirian. Pesaing mereka ada di Bangalore, India; Palo Alto, USA; Tokyo, Jepang; hingga Ichong, Korsel. Pentas global sarat dengan pesaing dan medan kontes yang sengit, lingkungan industri, budaya kreatif, hingga permintaan pasar. Karenanya, dituntut persyaratan kualitas untuk bisa berperan di level global,’’ tegas menristek.
Di akhir paparannya, menristek menjelaskan pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya pemenuhan atas kepentingan nasional, yakni kepentingan keamanan dan kepentingan kesejahteraan, yang sekaligus merupakan aspirasi masyarakat Indonesia, baik individual need dan social need.
‘’Dari sudut pandang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah sebuah instrumen atau tool yang membantu agar proses pembangunan nasional berjalan lancar, untuk kemudian terwujud stabilitas nasional yang mantap,’’ jelas menristek.
HAKEKAT SEBUAH PILIHAN
Menjalani kehidupan dan bertemu dengan pilihan-pilihan hidup adalah suatu keniscayaan, tetapi mengambil pilihan terbaik diantara beragam pilihan tersebut adalah sesuatu yang harus diupayakan. Setiap harinya pilihan-pilihan tersebut akan terus bersafari di panggung kehidupan kita. Kemanapun kaki ini dilangkahkan, sejauh apapun tubuh ini dilarikan, di balik apapun wajah ini disembunyikan, niscaya tidak akan mampu terhindar dari pilihan-pilihan tersebut.
Khiaroh atau pilihan sudah menjadi Sunnatullah, dimana setiap manusia yang tersebar dari berbagai keturunan dan peradaban memang harus menentukan pilihan yang terbaik.
“Mereka adalah himpunan dari orang-orang pilihan dari berbagai kabilah. Berhimpun dalam Dzikrullah. Mereka memilih kalimat-kalimat terbaik sebagaimana orang-orang memilih kurma terbaik” (HR Thabrani)
Kisah-kisah terdahulu telah menceritakan pilihan-pilihan terbaik yang dipilih oleh generasi Rasulullah saw. Sebelum kota Mekah dibuka, banyak orang-orang yang menunda-nunda bahkan berpikir penuh keraguan tentang Dienul Islam.
agama samawi ini telah disampaikan secara terang-terangan, hanya sedikit orang yang memilih beriman pada waktu itu. Sedikit orang itu, adalah orang-orang yang meneguhkan hatinya untuk memilih berjuang menegakkan kebenaran. Walaupun mereka terasing, dihina dan dicampakkan, namun itulah pilihan yang terbaik yang harus dipilih.
Merekalah orang-orang yang tak pernah padam semangatnya untuk berjuang menegakkan Kalimatullah, bersama Rasulullah saw memerangi kekafiran dan kejahiliyahan. Dan janji Allah swt adalah janji yang benar. Orang-orang yang telah memilih lebih dulu itu mendapatkan kemuliaan pada akhirnya.
Allah telah menjanjikan bahwa tidaklah sama antara mereka yang beriman sebelum dibukanya kota Mekah, dengan mereka yang beriman sesudahnya. Yang pertama menjadi lebih utama. Betapa tidak, orang yang lebih dulu itu telah memilih dengan susah payah, berjuang untuk menjadi muslim sejati hingga berdarah-darah pada saat yang lain ragu dan menunda-nunda pilihannya.
Sebuah pilihan adalah awal dari cita-cita. Pilihan hidup laksana bibit dari sebatang pohon yang suatu hari akan kita petik buahnya, dimana akan lahir sebuah kebanggaan karena pilihan yang benar telah kita tetapkan, atau sebaliknya akan muncul pula sebuah penyesalan karena sesuatu yang kita pilih itu adalah sebuah kesalahan.
Maka apapun pilihanmya, itu adalah jalan hidup kita selanjutnya. Setiap orang akan menemukan pilihan hidupnya. Pilihan itu mungkin antara dua perkara yang besar, namun saat-saat memilih itu mungkin hanya ditemukan dalam sekejap saja, sepanjang masa.
Sungguh, sesaat itu begitu berarti, karena segalanya dapat berubah hanya karena hadirnya momentum yang singkat itu. Saat itu adalah ketika hati manusia telah menemukan hidayah-Nya. Saat dimana pintu hati terbuka hingga dapat merasakan manisnya iman. Saat dimana impian untuk berjumpa dengan Allah swt menjadi sebuah pilihan, apakah ia akan bertemu dengan Tuhannya dengan senyuman penuh rasa syukur, ataukah dengan ratap tangis penuh penyesalan.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata..
“Seorang hamba punya dua tempat pemberhentian di hadapan Allah swt. Tempat pemberhentian pertama, ketika ia shalat di hadapan-Nya, dan tempat pemberhentian kedua, ketika ia berdiri di hadapan-Nya di hari Kiamat. Barangsiapa menunaikan hak tempat pemberhentian yang pertama, maka ia akan diringankan pada tempat pemberhentian yang kedua. Dan barangsiapa yang meremehkan tempet pemberhentian ini dan tidak menunaikan haknya, maka Allah akan mempersulitnya di tempat pemberhentian yang kedua.”
Smoga bermanfaat Teman…
“Mengapa sebuah ujian harus menghimpit dada, padahal di sisi Allah telah tertulis jalan keluarnya, La Tahzan !! ”
0 komentar:
Posting Komentar