Pergolakan Timur Tengah
Teokrasi Iran v Demokrasi Liberal Barat
Oleh Herdi Sahrasad*
Tatkala Barat (AS dan Uni Eropa) memilih berhati-hati dalam menyikapi demonstrasi di Tunisia, Mesir, Aljazair, Jordania, dan Yaman serta terpukau oleh orde baru di Beirut (Lebanon), Iran justru bersikap tegas. Teheran dengan mantap mendukung perubahan di dunia Arab tersebut
Hampir seluruh pergolakan rakyat di dunia Arab itu anti-Amerika (anti-Barat). Hal tersebut ditandai dengan seruan ‘’Enyahlah antek Amerika’’. Sebagaimana publikasi media, di mata kaum demonstran Arab, begitu kuat persepsi bahwa Hosni Mubarak di Mesir dan Ben Ali di Tunisia adalah antek Amerika. Artinya, di kalangan demonstran revolusioner Arab itu, semangat anti-Barat sangatlah kuat dan ada kehendak kuat agar negeri mereka berdaulat, mandiri, serta bermartabat.
Masuk akal jika para pembuat kebijakan Amerika dan Eropa khawatir atas kekacauan di Tunisia, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya. Kawasan Arab, tampaknya, bakal melewati masa transisi yang panjang dan sulit, mengingat berurat-akarnya korupsi serta kediktatoran. Di mana-mana muncul kerusuhan, ketidakpastian, dan rasa sakit. Perekonomian memburuk dan terpuruk.
Ada kekhawatiran Barat bahwa protes anti pemerintah di Timur Tengah tersebut dibajak Islamis radikal. Namun, jelas tidak adil menyatakan bahwa wilayah itu tidak ’’siap untuk demokrasi’’ . Tidak adil juga hanya menyalahkan masyarakat Arab dan menganggap kekacauan akan merusak serta bertahan lama.
Dalam kaitan ini, Barat amat waspada dan curiga bahwa Iran, tampaknya, paling antusias menyambut tumbangnya rezim-rezim diktator di Timur Tengah. Bahkan, kepada masyarakat Arab, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan elite penguasa lainnya di Teheran merasa telah membuktikan diri sebagai kekuatan revolusioner Islam yang pro perubahan dan memberikan contoh bagaimana menegakkan teokrasi di dunia Islam.
Kini kebangkitan dan perlawanan rakyat Arab yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter pro-Barat di Mesir dan Tunisia menandai babak awal bagi perjuangan baru antara ’’demokrasi liberal (sekuler) dan teokrasi Iran’’. Mana yang akan dipilih rakyat Tunisia dan Mesir, juga mungkin Yaman, Jordania, Maroko, serta Aljazair: demokrasi atau teokrasi?
Barat terus berada di posisi defensif sebagai pendukung rezim-rezim korup serta otoriter yang sudah jatuh di Mesir dan Tunisia. Sementara itu, pada saat yang sama, Barat menghadapi jalan kasar dan terjal dalam membangun relasi di dunia Arab ke depan yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Mengingat, arah perubahan di dunia Arab masih tidak pasti: apakah menganut demokrasi sekuler atau justru teokrasi ala Iran pada masa dekat ini.
Di sini, terjadi pergumulan serta persaingan antara Barat dan Iran dengan skala yang intensif dan masif. Belum jelas siapa yang bakal menang atau menjadi pecundang.
Bagi Amerika dan Uni Eropa, tentu saja betapa penting mengelola aspirasi orang-orang Arab dan membimbingnya ke arah demokrasi. Sebab, jika tidak, kecemasan Barat bisa terbukti dan terjadi karena sangat mungkin dunia Arab jatuh ke dalam pengaruh teokrasi Iran ala Iran. Tentu, itu merupakan tantangan bagi AS/Barat. Perubahan sosial-politik di dunia Arab kini menjadi faktor penting dalam menentukan masa depan seluruh Timur Tengah.
Israel saat ini juga khawatir serta cemas atas bahaya yang muncul menyusul kemungkinan naiknya kekuatan Islam radikal di Mesir, Tunisia, dan dunia Arab lainnya.
Bila Barat dan Israel waswas, Iran justru menyambut pemberontakan rakyat di beberapa negeri tersebut. Teheran berharap bisa memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan menjadikan ’’Revolusi Islam’’ sebagai pemerintahan teokrasi di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan para mullah. Tentu saja ada kendala yang cukup besar bagi Iran untuk meyakinkan orang-orang Arab agar merangkul muslim radikal atau militan Islam.
Sebagian demonstran di Mesir dan Tunisia terinspirasi revolusi Iran untuk memompa semangat perjuangan. Para pemimpin Iran, termasuk Ayatullah Ali Khamenei, Ahmad Khatami, dan Mohammad Taqi Mesbah Yazdi, mengklaim bahwa Revolusi Islam yang berlangsung lebih dari 30 tahun di negerinya merupakan model yang tepat untuk gerakan populisme Arab. Bahkan, para tokoh garis keras Teheran telah menyerukan ke dunia Arab bahwa teokrasi harus membimbing perubahan politik dari Tunisia sampai Sana'a (Yaman). Para mullah Teheran menganggap Ikhwanul Muslimin di Mesir, dengan cabang-cabangnya Al-jama'ah al-Islamiyya dan Al-Jihad di seluruh jazirah Arab dan Afrika Utara ditambah Front Aksi Islam Jordania, sebagai ahli waris revolusioner mereka.
Iran menyatakan, insiden yang terjadi di dunia Arab menunjukkan bahwa struktur Timur Tengah sedang dibentuk kembali berdasar Islam. Teheran boleh jadi berilusi dan membayangkan pemerintah Tunisia pasca-Ben Ali dan Mesir pasca-Mubarak akan dipimpin ulama Muslim –seperti model velayat-e faqih di Teheran, suatu pemerintahan dengan kekuasaan di tangan pemimpin tertinggi mullah Syiah
.
Iran berusaha membangun pengaruh. Secara diam-diam, mereka menyediakan dana bagi Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan jutaan dolar sebagai upaya memperkuat gerakan politik dan agama. Dana Iran telah memfasilitasi peran Ikhwanul Muslimin yang menumbuhkan protes jalanan Mesir di Tahrir Square.
Iran berusaha membangun pengaruh. Secara diam-diam, mereka menyediakan dana bagi Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan jutaan dolar sebagai upaya memperkuat gerakan politik dan agama. Dana Iran telah memfasilitasi peran Ikhwanul Muslimin yang menumbuhkan protes jalanan Mesir di Tahrir Square.
Diplomat Iran dan media Teheran menggembor-gemborkan kembalinya pengkhotbah Islam sejati Rached Ghannouchi dari pengasingan ke Tunisia. Pada dasarnya, Teheran mengupayakan kepulangan Ghannouchi (yang dicap Barat sebagai fundamentalis) seperti ketika Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali ke Iran dari Paris. Yakni, mengambil alih kekuasaan oleh para Islamis militan Tunisia.
Pengaruh Iran di Tunisia tentu tidak sekuat di Lebanon. Dalam konteks politik Lebanon, Sekretaris Jenderal Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah tidak hanya dilatih di Qum (Iran), tapi juga memiliki perwakilan organisasi di Teheran. Transformasi Hizbullah dari milisi anti-Israel ke sebuah partai, dipandu Iran, memungkinkan politik Syiah itu menjadi ’’kingmaker’’ dalam politik Lebanon. Seakan, itulah terompet aliansi Iran-Hizbullah sebagai kekuatan Islamis Syiah, sebagai serangan balasan terhadap Arab Kristen Maronit dan Arab Sunni yang moderat.
Iran juga semakin erat bekerja sama dengan pemberontak Syiah yang merebut wilayah sepanjang perbatasan Yaman dengan Arab Saudi. Seperti halnya juga dengan Al Qaidah di Semenanjung Arab.
Dalam media Iran, Menteri Luar Negeri Ali Akbar Salehi menegaskan keinginan Iran bahwa perubahan di Tunisia dan Mesir –juga tuntutan nasional– serta kebangkitan kemuliaan Arab dapat dicapai dalam waktu dekat. Iran mendukung dan memuji ’’Perlawanan Rakyat’’ di Timur Tengah sebagai gerakan pembaruan yang Islami. Dengan respons Iran yang masif itu, bisa dipahami jika rivalitas Barat versus Iran makin kuat di Timur Tengah.
Barat selalu ingin menancapkan dominasi dan hegemoni, sedangkan Iran menjadi kekuatan kontra atau oposisi. Keduanya saling berebut pengaruh. Sudah tentu idealnya negara-negara Timur Tengah bisa membangun kedaulatan politik dan ekonomi sendiri sehingga tidak mudah didikte atau dipengaruhi negara lain.
Gejolak revolusi di Mesir, Tunisia, Yaman, Aljazair, Jordania, dan negara Arab lainnya akhir-akhir ini boleh jadi (hanya soal waktu) akan mengakhiri (walau tak sepenuhnya) hegemoni serta dominasi Barat di Timur Tengah. Pintunya adalah dengan mengikis rezim-rezim otoriter.
0 komentar:
Posting Komentar