Cari Blog Ini

Senin, 21 Februari 2011

Pentingkah Pancasila


PEN(TINGKAH) PANCASILA
SEBAGAI IDeOLOGI DAN PEMERSATU BANGSA


Ada lima pertanyaan yang acapkali menggoda penulis:
1.    Mengapa Garuda menoleh kesebelah kanan, karena berkaitan dengan otak kanan simbolnya love, Garuda dibuat menoleh kekanan. Artinya: “Kepala harus dituntun oleh Cinta”.
2.    Mengapa Garuda memakai Perisai: Perisai adalah pelindung, pelindung dari hal-hal negatif yang menjadi kontra dari kelima sila. Mengapa simbol sila kerakyatan adalah Kepala Banteng? Namanya Rakyat biasanya tidak berpikir panjang sama seperti banteng mudah diprovokasi, karena itu Banteng di Garuda memejamkan mata, agar tidak mudah diprovokasi (banteng yang Meditatif).
3.    Mengapa Bintang ditengah? Bintang di tengah dengan sudut-sudut menunjuk ke empat sila, karena setiap sila-sila dalam Pancasila harus selalu dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
4.    Kelima-lima Sila dalam Pancasila saling berhubungan. Jika muncul pertanyaan dalam masyarakat, mengapa rakyat belum sejahtera (sila ke-5) Karena rakyat belum dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila ke-4).
5.    Mengapa Rakyat belum dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Karena belum ada persatuan (sila ke-3)? Mengapa belum ada persatuaan? Karena belum ada kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2). Mengapa belum ada kemanusiaan? Karena belum ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Melihat simbol yang ada di Burung Garuda, kita menjadi mengetahui Jiwa Indonesia sebenarnya adalah Ketuhanan. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah bagaimana cara agar bisa mengawal penafsiran kita tentang Pancasila supaya tidak menyimpang atau tidak salah tafsir, dan jika kita ingin menghindari multi tafsir, maka kita harus melihat keseluruhan secara komprehensif, dari semua simbol yang ada di Burung Garuda Pancasila yang ditafsir, Jangan kita melupakan nilai di bawah Garuda yang merupakan seuntai pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" Itu adalah keseluruhan Roh dari bangsa Indonesia. Apapun penafsiran harus selalu kembali kepada rohnya yaitu, Berbeda tetapi tetap satu.
Sudah 63 Tahun Pancasila menjadi Weltanschauung dan philosophische grondslag NKRI, tapi bertepatan dengan itu, esensi dari eksistensi Pancasila lambat laun semakin pudar dan hambar rasanya, apakah demikian ini bisa dijadikan sebagai rujukan pandangan hidup bangsa, jika keterasingan makna dan esensi didalamnya semakin pudar, apalagi Pancasila selama ini hanya mendiami ranah politik kemapanan dan berjibaku dengan kepentingan birokrasi pemerintah serta oknum-oknum politik yang sudah tidak menjiwai gerakannya dengan entitas Pancasila itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi kehadiran Pancasila hanya dipandang sebagai pelengkap saja dalam pembentukan Negara, hal ini berjalan terus menerus dari tahun ke tahun sepanjang genre dan tingkat pendidikan serta penangkapan indera masyarakat selama ini. Sampai-sampai paradigma agamawan pun semakin hari bertolak dari arah kiblat yang diharapkan, terlebih malah menjadi batu ganjal dalam mewujudkan keharmonisan sesuai dengan falsafah bangsa. Hal ini juga semakin mengaburkan ranah sistemik Pancasila itu sendiri. Sehingga kebanyakan masyarakat jatuh dalam dampak globalisasi dan ekspansi pasar bebas, yang terus mengembangkan budaya populer dan hedonistis. Di mana-mana sebagai dampaknya terjadi pendangkalan budaya, penghayatan agama, dan menurunnya kecerdasan bangsa dalam merespon perkembangan mutakhir dunia inilah dampak sesungguhnya dari ketidakmampuan diri dalam mengolah sebuah perubahan. Bangsa semakin terpuruk dalam ekonomi, politik carut marut. Sedangkan kebudayaan negeri ini tenggelam oleh hiruk pikuk komersialisme dan konsumerisme.
Dan jika kita tengok pada roh suci Pancasila “Bhineka Tunggal Ika”. Maka yang kita dapati merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang membawanya ke arah persatuan. Namun akhirnya penduduk negeri ini memang bhinneka. Tetapi bagaimana menentukan “tunggal” nya dan bagaimana mencapai “ika”, hingga tidak berhenti hanya pada “bhinneka” semata-mata? Itulah soal yang mesti dipecahkan secara arif dan bijak.
Untuk meminimalisasi kondisi seperti itu, maka dibutuhkan keterlibatan secara aktif dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, guna mencari sekaligus memberikan jalan keluar bagi “kebuntuan strategi” yang tengah melanda realitas tersebut. Di samping hal fundamen yang berkenaan dengan relatifitas dan penggalian Pancasila didalamnya, sehingga mampu melahirkan generasi bangsa sekaligus pewaris-pewaris sah negeri ini  yang paham terhadap interior dunianya sendiri. Lagi-lagi ini perkara yang nisbi tentunya, apabila dari fenomena yang sedang berlangsung, justru penjaga, pewaris sah, serta pelestari ideologi yang selama ini bertahan dalam komunal dilemanya hanya mampu berpangku tangan semata. Apabila membiarkan wilayah tanggung jawab moral itu hampa dari I’tikad untuk merujuk pada tatanan perubahan yang produktif dan referentatif. Terlebih jika kita dibenturkan pada suatu kenyataan di abad mutakhir ini, di mana segala ukuran yang menjadi urgen, tak lain hanyalah perihal pemenuhan terhadap material belaka.
Di samping membuka wilayah epistimologi dari ranah sistemik dalam dimensi kesadaran eksklusif yang kita miliki terhadap keanekaragaman ideologi bangsa lain. Di mana hal itu acapkali kita serap dan luput kita filter keberadaanya. Apalagi Ideologi Pancasila cenderung dijadikan sebagai transfusi kegamangan dialektik, sehingga memunculkan transvaluasi yang kerapkali berujung pada keberpihakan sepihak. Sehingga Di mana yang seharusnya terjadi adalah Pancasila menjadi sumber inspirasi sekaligus entitas moral yang sungguh membuat instink dan alunan batin kita semakin tentram, lebih harmonis demi terciptanya negara yang berdasarkan Ketuhanan yang berkebudayaan seperti verdraagzaamheid yang telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul di agamanya masing-masing demi terciptanya azas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bukan sebaliknya.
Kita masih ingat, bahwa keagungan sebuah bangsa dan hakikatnya terletak pada penghargaan kita terhadap perilaku sejarah, yang sekaligus merupakan cerminan kreatifitas intuitif yang selanjutnya menjadi tolak ukur bagi empati kejiwaan bangsa itu sendiri. Demikian halnya dengan eksistensi Pancasila yang kurang mendapatkan tempat sebagaimana mestinya, bahkan justru dalam lingkungan pandidikan yang sejelas-jelasnya merupakan bagian disiplin ilmu lainnya, yang semestinya mendapat porsi lebih dalam proses pembelajarannya. Sebab suatu landasan idiil yang sudah disepakati sebagai konsensus politik negara, haruslah dimengerti oleh masyarakatnya. Sehingga ruang inspirasi dan kedewasaan berpikir masyarakat akan terwujud sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para founding fathers negeri ini.
Lantaran itulah maka harus segera kita pertegas kembali bahwa sesepele apa pun pandangan kita terhadap Pancasila, tentu saja tak bisa diabaikan begitu saja, dengan catatan jika kita tidak ingin kehilangan karakter insani yang nyaris menjadi inti dari muatan ideologi secara global. Sehingga kaum intelektual dan masyarakat luas juga mampu meminimalisasi kerancuan epistimologi ideologi lain yang diagung-agungkan negara-negara adidaya dalam mentransformasi pengetahuan dan melekatkan label “liyan” bagi Negara lain. Dari filosofi temperamen seperti ini bukan satu-satunya bentuk kepedulian dalam tahap suksesi bagi keutuhan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang (dalam tanda petik) Merdeka. Akan tetapi lebih dari itu, bahwa pertanyaan klise yang meski kita pentaskan adalah: Apa kata dunia, jika Pancasila tiba-tiba lenyap dari hadapan manusia dan bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa
A No Badrah Karatawo Yantu Wiswatah…
…om

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
ADIFAH 2220 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute