Cari Blog Ini

Senin, 21 Februari 2011

MULTIKULTURALISME DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

MULTIKULTURALISME
DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

Semboyan negara kita ialah Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang membawanya ke arah persatuan. Lagi pula sebagian besar etnik yang bhineka itu berasal dari rumpun yang sama yaitu Melayu Mongoloid, demikian juga berbagai bahasa dan dialek yang digunakan termasuk ke dalam rumpun yang sama yaitu rumpun bahasa-bahasa Austronesia. Ini berbeda misalnya dengan keragaman etnik yang terdapat di negeri-negeri seperti Amerika Utara, Australia, dan bahkan Malaysia yang tidak berasal dari satu rumpun ras dan tidak memiliki hubungan keagamaan satu dengan yang lain.
Walaupun dalam pelaksanaannya mengalami banyak rintangan dan tidak jarang pemerintah sendiri mengabaikan kenyataan-kenyataan tersebut, namun semangat yang lahir dari semboyan itu masih tetap hidup dan meresap dalam jiwa masyarakat kita. Sebagai cita-cita dan gagasan pula, tidak ada yang cacad dan cela dalam semboyan itu. Bahkan unik dalam sejarah negara modern, karena pada mulanya munculnya negara modern didasarkan atas ide monokultural, sebagaimana tampak pada negara-negara di Eropa dan Amerika Utara. Sebaliknya negara-negara modern di Asia dan Afrika yang didirikan pasca Perang Dunia II seperti India dan Indonesia kebanyakan bercorak multikultural. Oleh karena itu sangatlah mengherankan bahwa gagasan multikulturalisme yang dewasa ini banyak diperdebatkan di negara-negara Barat, muncul pula menjadi wacana yang ramai diperdebatkan di negara-negara yang pada dasarnya sudah multikultural seperti Indonesia.
Harus diakui bahwa asumsi dan argumensi yang diajukan oleh para penganjur gerakan ini sering mengejutkan dan menarik perhatian, akan tetapi jika dilihat dari perspektif sejarah Indonesia kehadiran multikulturalisme itu sebenarnya dapat dikatakan ahistoris atau memotong sejarah. Kecuali itu jika ia benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan politik seperti di Australia dan Canada, negeri asal gerakan ini, ia akan menimbulkan konsekwensi yang mungkin tidak terbayangkan oleh penganjurnya itu sendiri. Namun untuk dapat membayangkan dampak yang ditimbulkannya adalah tidak mungkin apabila kita tidak mengetahui apa yang dimaksud multikulturalisme oleh para penganjur dan pendukungnya, maupun tanggapan para penentangnya di negara-negara yang mulai melaksanakan kebijakan multikultural dan merasakan akibat-akibatnya.
Multikulturalisme lahir pada awal 1970an, bermula gerakan intelektual yang menamakan diri ‘gerakan multikultural’ di Australia, Canada dan Amerika Serikat. Meskipun pada mulanya merupakan gerakan kultural dan intelektual, dalam waktu yang tidak lama multikulturalisme berkembang menjadi gerakan politik yang salah satu agendanya ialah mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap kaum minoritas, khususnya kaum imigran yang terutama sekali berdatangan dari Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika. Kaum minoritas yang hadir sebagai muhajirin baru ini bukan saja multietnik dan multi-budaya, tetapi juga multi-ras dan multi-agama, yang dalam banyak hal tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa, agama dan budaya dominan yang telah sedia ada sejak lama di negara-negara tersebut.
Dalam dasawarsa 1980an gerakan multikultural berkembang di Eropa dan mulai mempengaruhi kebijakan politik pemerintah setempat. Di Perancis misalnya ia mengusung agenda politik yang sama dengan agenda yang diperjuangkan di Canada dan Amerika Serikat. Padahal, seperti banyak diketahui, Perancis merupakan negara Barat yang paling gigih mempertahankan gagasan unikultural dan nation-state, dan telah lama menolak gagasan multikultural. Begitu pula dengan di negara Eropa lain seperti Jerman, Inggris, Denmark dan Belanda.
Faktor yang mendorong Perancis menerima multikulturalisme sesungguhnya sederhana, ekonomi. Yaitu hadirnya kaum imigran dalam jumlah besar dari Turki, dan negara-negara bekas jajahan Perancis seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pesatnya pertumbuhan ekonomi negeri itu pada permulaan era pasar bebas atau neo-liberalisme, banyaknya lapangan kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk negeri itu, mendorong hadirnya jumlah besar imigran dari negara-negara yang penduduknya beragama Islam itu. Selain faktor hadirnya jumlah besar imigran dari negara-negara Islam di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Barat, faktor lain ialah apa yang disebut gagasan Eurabia, gagasan membentuk pakta perdagangan Eropa dan Arab. Gagasan ini lahir pada awal 1970an dan bertujuan mengurangi ketergantungan Negara-negara Eropa kepada Amerika.
Tetapi dengan diberlakukannya neo-liberalisme sebagai dasar kebijakan baru kapitalisme, negara Eropa menjadi kian tergantung pada AS. Faktor ini membuat pemerintah Perancis mundur ke belakang, tetapi dengan dampak tidak terbayangkan pula. Di sisi lain, ini yang cukup mengejutkan, kebijakan multikultural lantas disamakan dengan strategi untuk mengislamkan Eropa. Gagasan Eurabia lantas dihujat habis-habisan, terutama oleh golongan kanan yang ingin mempertahankan budaya Pencerahan.
Sebenarnya apakah sebenarnya multikulturalisme itu? Mengapa pelaksanaannya berbeda di negeri yang satu dengan di negeri yang lain? Jika budaya-budaya yang beragam itu berasal atau dibawa dari luar, bagaimana menyikapi budaya nasional atau budaya-budaya lokal? Mana yang harus diistimewakan oleh suatu negara, jika budaya lokal dan budaya nasional mulai terancam punah atau terkikis oleh hantaman budaya dari luar akibat dahsyatnya gelombang globalisasi? Agar tidak bertele-tele, saya ingin mulai dengan di Amerika. 












Multikulturalisme di Amerika
Menurut Peter L. Wilson (1998) di Amerika gerakan ini berawal dari kegagalan pemerintah AS untuk mengintegrasikan dan memadukan kebudayaan orang Negro dan Indian, juga kaum imigran lain yang banyak berdatangan di AS pasca Perang Arab-Israel 1973, Perag Vietnam 1975, Perang Teluk 1991, Perang Dingin 1990, dan peristiwa-peristiwa lain di dunia baik di Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Sampai akhir tahun 1960an, apalagi pada 1970an, gelombang penolakan terhadap budaya non-kulit putih yang aneka ragam itu menemui kenyataan getir. Kebijakan memadukan budaya yang bhinneka itu dengan budaya mainstream sepenuhnya gagal. Assimilasi dan integrasi ternyata tidak mungkin disebabkan faktor-faktor internal dalam budaya Anglo-Saxon yang didasarkan atas Protestanisme. Malahan upaya tersebut menghadapi perlawanan yang sengit. Upaya untuk menjadikan Amerika Serikat sebagai melting pot hanya merupakan sebuah utopia. Kebudayaan Orang Hitam dan pendatang Muslim dari Timur Tengah tidak akan sepenuhnya terpadukan dengan kebudayaan Orang Putih. Selain persoalan bias ras dan budaya di kalangan penduduk kulit putih, persoalan agama juga menjadi hambatan besar. Dengan demikian konsensus berada di ambang bahaya.
Golongan kanan dengan sikap schizoperenia-nya terhadap ras dan budaya lain, mengalami frustasi. Serupa dengan sekelompok orang di Indonesia yang antipati dan fobi terhadap orang Islam, dan kebudayaan masyarakat penganutnya. Kegagalan tersebut mendorong lahirnya konsensus baru, yang dinamakan ‘konsensus neo-liberal’. Jadi hampir bersamaan waktunya dengan dicetuskan neo-liberalisme di bidang ekonomi ketika AS dan Inggeris berada di bawah pemerintahan Ronald Reagan dan Margaret Tatcher (1979). Konsensus baru inilah yang kemudian yang dikenal sebagai Multikulturalisme. Ini merupakan strategi baru untuk melindungi kepentingan global dua Negara adidaya terrsebut. Dengan konsensus baru tersebut, dan kebijakan neoliberalisme dalam bidang ekonomi, keduanya dapat tetap mempertahankan hegemoninya secara ideologis dalam bidang ekonomi, politik dan budaya.
Ini dapat ditelurusi dalam tulisan-tulisan penentang multikulturalisme. Salah satunya ialah tulisan Kenan Malik “Against Multiculturalism” (1998). Kenan Malik mengatakan bahwa multikulturalisme sebenarnya merupakan buah dari kegagalan politik beruntun yang dialami negara-negara Barat seperti AS dan Eropa. Berakhirnya Perang Dingin, ambruknya gerakan-gerakan kiri (Neo-Marxist, New Leftist, dll), gagalnya berbagai gerakan pembebasan termasuk Teologi Pembebasan, dan redupnya berbagai gerakan sosial di Eropa, telah menciptakan kesadaran baru yang ditransformasikan ke dalam bentuk yang disebut Multikulturalisme. Sementara itu tuntutan akan penyetaraan dan perlakuan yang sama terhadap masyarakat yang budayanya berbeda di negaranegara Barat semakin meningkat dan meluas. Dalam kampanyenya gerekan ini mengibarkan bendera equalitas dan menentang kebijakan monocultural yang berlaku di negara-negara seperti AS dan Eropa.
Di antara slogan yang disuarakan secara lantang, ialah “We live in diverse world, enjoy it”. Nancy Fraser, seorang tokoh gerakan multikultural, mengatakan lebih kurang, “The remedy required to redress injustice will be cultural ecognition as opposed to political economic dredistribution”. (Jalan keluarnya dalam menghapus ketidakadilan itu ialah dengan mengakui kebinnekaan budaya”.
Tariq Modood, seorang penulis asal Pakistan di Inggris pada tahun 1990an, membedakan antara ‘equality of individualism’ dan ‘equality encompassing public ethnicity’. Menurutnya keadilan dalam pelaksanaannya, penyetaraab dan persamaan tidak boleh mengabaikan asal-usul etnik, komunitas dan budaya seseorang. Semua itu harus dihargai dan dihormati. Ia harus koeksis dalam kehidupan masyarakat.
ASAS-ASAS MULTIKULTURALISME
Sebagai konsensus baru yang lahir dari kebijakan neo-liberal, menurut penganjurnya, multikulturalisme hendaknya tidak dipahami sebagai doktrin politik atau aliran falsafah yang di dalamnya terdapat teori tersendiri tentang kodrat manusia dan tempatnya di dunia. Di dalamnya tidak ada pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (Weltanschaung) serta sistem nilai tertentu sebagai pegangan pokok. Padahal justru ketiga hal ini yang membedakan kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lain. Menurut pendukung gerakan ini, terutama di Amerika Serikat, multikulturalisme mengandung tiga asas penting yang mempengaruhi arah pandang gerakan multikultural:
Pertama, manusia tumbuh dan besar dalam masyarakat yang memiliki tatanan adab dan budaya tertentu. Berdasarkan itu masyarakat mengorganisasikan kehidupan dan hubungan sosial dalam suatu tatanan tertentu di mana sistem nilai dan makna diterapkan dalam berbagai ungkapan dan simbol budaya. Ini tidak berarti manusia ditentukan semata-mata oleh budaya masyarakatnya di mana ia tumbuh dan besar, yaitu dalam arti tidak melampaui kategori-kategori pemikiran yang tumbuh dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya. Juga tidak berarti bahwa ia tidak mampu bersikap kritis dan mengevaluasi nilai-nilai dan sistem makna yang ada dalam kebudayaannya. Sekalipun bisa mengatasi kategori-kategori pemikiran dalam masyarakatnya dan mengevalusasi nilai serta sistem makna yang berlaku dalam budaya masyarakatnya, setiap orang pada dasarnya dibentuk oleh kebudayaan tertentu dan dipengaruhi olehnya.
(Catatan: Ini merupakan hal biasa dalam sejarah kebudayaan dan kemanusiaan. Hanya saja di negara-negara berkembang seperti Asia dan Afrika, khususnya di negara-negara bekas jajahan Eropa, hal tersebut banyak berlaku. Terutama sejak proses modernisasi berjalan semasa diperkenalkannya pendidikan ala Barat oleh pemerintah kolonial. Sejak itu lahir sekelompok elite terpelajar yang kritis terhadap budaya dan tradisi masyarakatnya, dan berusaha mengimplementasikan nilai-nilai budaya Barat ke dalam kebudayaan tradisional. Pasca kemerdekaan proses itu berlangsung terus dan kian intensif karena kelompok elite terpelajar ini tampil sebagai penguasa. Pengalaman Indonesia menunjukkan hal ini. Budaya daerah atau tradisional, yang dilapisi nilai-nilai dan pandangan hidup agama-agama besar seperti Hindu dan Islam, dari waktu ke waktu mengalami pengikisan dan pendangkalan. Tentu terdapat reaksi dan respon dari pendukung budaya-budaya tradisional dan budayabudaya berdasarkan agama ini. Polemik Kebudayaan 1935-1941 adalah contoh paling awal dari perdebatan tentang arah kebudayaan itu. Begitu pula perdebatan tentang dimasukkannya kembali kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila).
Kedua, kebudayaan yang aneka ragam dan berbeda-beda itu memperlihatkan adanya visi dan sistem makna yang berbeda-beda tentang kehidupan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang elok dan yang tidak elok. Masing-masing mewujudkan kemampuan tertentu dalam menanggapi kondisi kehidupan dan memberikan perasaan tertentu dalam berhadapan dengan berbagai peristiwa dalam sejarah kemanusiaan. Tetapi menurut pendukung Multikulturalisme, masing-masing kebudayaan itu memiliki keterbatasan, kelemahan dan kekurangan. Untuk itu diperlukakan kebudayaan lain untuk memahami kehidupan dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Dengan memahami kebudayaan lain, cakrawala pengenalan makna hidup bisa diperluas.
Suatu masyarakat perlu bantuan tradisi budaya lain dalam rangka memperluas cakrawala intelektual, mengembangkan ethos kerja atau budaya politiknya. Dengan demikian ia akan mampu menyelamatkan diri dari bahaya narkistis budaya. Apalagi dalam dunia seperti sekarang di mana saling ketergantungan budaya tambah besar.
(Catatan: Asas ini yang paling banyak mendapat reaksi, terutama di Eropa, Cina, dan di kalangan masyarakat Muslim. Bangsa Eropa merasa bahwa kebudayaannya sangat unggul, tidak perlu mempelajari kebudayaan lain. Orang Islam telah lama mempelajari kebudayaan lain untuk memperkaya kebudayaannya, tidak merasa memerlukan multikulturalisme. Sejauh nilai-nilai dan pandangan hidup tidak mengalami perusakan sebagai dampak dari kebudayaan lain, umat Islam akan terus belajar dari kebudayaan lain untuk memperkaya budaya bangsanya)
Ketiga, setiap kebudayaan secara internal itu majemuk dan mencerminkan selalu terjadinya dialog berkelanjutan antara berbagai tradisi yang berbeda-beda. (Catatan: Inipun sudah dialami orang Kristen, Hindu, Islam, dan lain-lain, sebagaimana juga dialami bangsa Eropa. Tetapi pada fase puncak kemantapan perkembangannya dialog itu harus dihentikan sementara untuk memperkuat proses internalisasi nilai-nilai yang tengah dikembangkan.) Terjadinya dialog antar-budaya sepanjang sejarah itu tidak mengingkari kebenaran universal dan identitas suatu kebudayaan atau sub-budaya. Suatu kebudayaan tidak dapat menghargai kebudayaan lain tanpa menghargai kebinnekaan dalam dirinya sendiri dan dalam tradisi budaya lain. Dialog antartradisi dan budaya diperlukan, antara lain melalui pemikiran, perenungan, penelitian, penyebar luasan dialog antar-budaya dan antar-agama. Dilihat dari sudut pandang multikulturalisme, tidak ada doktrin politik dan ideologi yang secara penuh merepresentasikan kebenaran tentang kehidupan manusia. Liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme masing-masing merepresentasikan pandangan khusus tentang kehidupan. Pandanganpandangan tersebut bersifat parsial dan sempit. Karena itu fundamentalisme keagamaan , dalam Islam, Hindu, Kristen, dan lain-lain ditentang keras, walaupun pendukung apa yang disebut ‘fundamentalisme’ tidak akan pernah mengakui pandangannya sempit dan parsial. Menurut penganjur multikulturalisme pula, agar manusia kreatif ia harus melakukan dalam diri dan dalam masyarakatnya dialog berkelanjutan antarbudaya. Pandangan ini semu dan dibuat-buat. Tidak hanya dialog seperti itu yang membuat masyarakat kreatif. Arnold Toynbee mengatakan bahwa suatu masyarakat atau bangsa tergerak untuk kreatif bila ada kehendak kuat untuk menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya. Iqbal mengatakan bahwa suatu bangsa atau kaum akan kreatif jika memiliki tenaga pendorong dalam dirinya untuk mencapai cita-cita tinggi. Daya pendorong itu ialah cinta kepada kebenaran dan keuniversalan ajaran agama. Apa yang dikemukakan Toynbee dan Iqbal didasarkan atas pengalaman sejarah kemanusiaan di Barat maupun di Timur. Dialog atau interaksi budaya yang satu dengan lain, yang mengikuti penyebaran agama, adalah hal yang tidak bisa dielakkan, namun tidak selamanya membuahkan kreativitas. Penentang Multikulturalisme Para penentang multikulturalisme mempunyai argumentasi lain, terlebih setelah melihat pelaksanaannya. Bagi mereka, seperti dikatakan Peter Lamborn di Amerika, multikulturalisme merupakan “Strategi yang dirancang untuk menyelamatkan negara Barat, khususnya gagasan nation-state.” Multikulturalisme juga merupakan sistem pengawasan terhadap masyarakat yang terdiri dari berbagai komunitas budaya dan pemeluk kepercayaan agama yang binneka. Di AS dan Eropa, nation-state harus diselamatkan dari munculnya kaum pendatang yang membawa aneka budaya dan kepercayaan agama berbeda, telah mengancam eksistensi kebudayaan nasional dan nasionalisme. Ancaman konflik sosial dan disintegrasi mendorong negara-negara tertentu di Barat mengambil kebijakan multikulturalisme, walaupun harus mendapatkan reaksi dari masyarakat luas. Ancaman lain yang mendorong lahirnya multikulturalisme ialah ancaman terhadap liberalisme dan demokrasi, dan dengan sendirinya terhadap kebijakan ekonomi neo-liberalism. Untuk itu diperlukan system pengawasan terhadap masyarakat multi-budaya, multi-etnik, multi-agama, dan multi-ras. Sebagai sistem pengawasan masyarakat dijabarkan menjadi kebijakan sebagai berikut: Masing-masing kebudayaan yang binneka itu diperbolehkan berkembang dan hidup, tetapi dengan keharusan memangkas unsur-unsur identitas dan takaran kemandiriannya. Salah satu di antaranya melalui pendidikan. Karena itu sejak kebijakan multukultural dilaksanakan, beberapa universitas membuka Departemen Multikulturalisme. Setiap budaya minoritas mendapat tempat dalam kurikulum untuk dipelajari. Tetapi sayangnya di Indonesia pengajaran dan penelitian kebudayaan Islam, sejak lama telah dipangkas. Khususnya sebagai dampak politik etis. Di AS anak-anak kulit putih dipaksa mempelajari sejarah orang berkulit hitam dan budayanya. Tetapi di Indonesia orang Islam mempelajari sejarah Eropa dan bangsa lain, tetapi dijauhkan dari pengajaran sejarah peradaban dan kebudayaan Islam, serta tradisi intelektualnya seperti kesusastraan dan seni Islam. Multikulturalisme di sini tampak sebagai bentuk konsensus dan kompromi baru. Kompromi dijadikan norma dan menjelma sebagai seperangkat norma yang bertujuan mempertahankan gagasan nation-state dan pengawasan sosial. Sebagai sistem norma, anekaragam budaya dilebur dan dibaurkan dengan budaya mainstream, yaitu budaya sekular yang didasarkan atas norma neoliberal yang dipandang paling unversal. Konsekwensinya dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Sebagai sebuah konsensus neo-liberal, norma-normanya juga harus didasarkan atas norma-norma neo-liberal yang meliputi hal-hal seperti berikut: Pertama, prinsip-prinsipnya didasarkan atas aksioma-aksioma rasionalistik Eropa; kedua, penilaian didasarkan atas scientisme dan neo-positivisme; ketiga, kebijakan budaya ditentukan oleh ‘the ruling class’ atau kelompok yang dekat serta dapat mempengaruhi ‘the ruling class’.
2. Multikulturalisme menempatkan diri sebagai sumbu peradaban, sedangkan budaya-budaya lain yang anekaragam diletakkan di pinggiran membentuk lingkaran yang mengitari sang sumbu, yaitu multikulturalisme. Dengan demikian budaya-budaya non-Barat yang tidak dilandasi asas-asas scientisme dan neo-positivisme, atau kesadaran ‘Budaya Pencerahan’, diberi ruang yang kecil untuk menghidupkan eksistensinya. Catatan: Dalam pandangan neo-liberal dan neo-positivisme, kebebasan
adalah ketundukan masyarakat terhadap aturan-aturan masyarakat liberal. Agama memberi petunjuk melalui wahyu, tetapi yang diutamakan bagaimana memberi kemungkinan lebih luas terhadap kebudayaan yang tidak didasarkan pada wahyu, melainkan dicapai melalui ikhtiar akal budi manusia. Dipengaruhi oleh konsep ini kebudayaan atau culture didefinisikan sebagai ‘tingkah laku yang dipelajari dari masyarakat liberal dan individualistik. Neo-positivisme, yang pandangan-pandangannya ditanamkan dalam ilmu-ilmu sosial, anthropologi, sejarah, dan lain-lain memandang kebudayaan sebagai bersifat mekanistis murni. Kebudayaan adalah produk dari tingkah laku manusia. Dengan kata lain, kebudayaan tidak perlu dipelajari dari sejarah kebudayaan dan agama, tetapi melalui ilmu sosial, politik, anthropologi, sejarah politik, dan lain-lain. Ini pandangan yang sangat reduksionis terhadap kebudayaan. Lantas timbul anggapan dalam masyarakat neo-liberal bahwa kebudayaan sebenarnya bebeas nilai dan berada di luar kode etik dan moral apa pun. Karena itu, kebudayaan harus dikosongkan dari nilai-nilai agama dan moral. Begitulah kebudayaan ditakrif sebagai himpunan tindakan, reaksi dan tingkah laku, atau sebuah kompleks dari berbagai kegiatan manusia seperti seni, sastra, ilmu, falsafah, politik, dls, bahkan gaya dan pola hidup serta bentuk-bentuk aktivitas manusia secara keseluruhan. Dalam Islam, pengertian kebudayaan bukan itu. Semua itu hanya produk akhir dari kebudayaan yang juga disebut peradaban. Kebudayaan adalah bangunan batin peradaban yang terdiri dari pandangan hidup (way of life), kerangka nilai, dan gambaran dunia (Weltanschauung) yang hidup dalam pikiran atau jiwa masyarakat. Atau disebut juga sebagai cara berpikir, sikap mental dan falsafah hidup yang dihayati oleh suatu masyarakat dan mempersatukan gerak serta cita-cita masyarakat tersebut. Karena asumsi dasarnya yang lemah itu maka dewasa ini wacana multikulturalisme, sebagaimana wacana pluralisme, lebih merupakan monlog dibanding dialog. Tidak jarang ia dipaksakan sebagai kebijakan yang paling benar dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang majemuk. Akibatnya multikulturalisme tampil seolah-olah sebagai faham ‘universalisme baru’ (neo-universalism) yang cenderung ‘totaliter’. Ia terkait langsung dengan gagasan Pasar Global, Neo-Liberalism, the End of History, dn Post-Modernism. Bahkan dengan Post-Milleniarism, yang didasarkan pada Apokaliptisisme Yahudi-Kristen. Perspektif Lain Dilihat dari sudut pandang lain multikulturalisme juga merupakan bentuk kompromi antara rasionalisme atau modernisme kanan dengan postmodernisme yang semula ditentangnya. Seperti halnya neo-liberalisme, postmodernisme dijadikan kendaraan untuk mempertahankan norma-norma universal rasionalis (rasionalisme Pencerahan) menghadapi serangan dari fundamentalisme keagamaan dan kebudayaan non-Barat yang juga mulai berkembang. Belakangan juga melawan bangkitnya kembali gerakan kiri di Amerika Latin. Postmodernisme dan neo-liberalisme berdampak besar dalam kehidupan kita. Cita-cita menyeragamkan pola dan gaya hidup manusia mulai tercapainya, setidak-tidaknya di kota-kota besar. Postmodernisme memperderas arus relativisasi nilai-nilai dan despiritualisasi manusia. Neo-liberalisme, yang berusaha menarik umat manusia ke pasar bebas menjadi pencandu barangbarang konsumsi, memperparah pendangkalan budaya dan membuat kian
seragamnya pola dan gaya hidup manusia. Sejak 1960an manusia di Barat dan kota-kota besar lain di dunia dipandang telah meninggalkan alam modern. Ditandai dengan redupnya redupnya ideologi dan beberapa paham yang lahir dari rasionalisme, neopositivisme dan ideologi seperti sosialisme, idealisme, patriotisme, dan lain-lain. Cirinya: (1) Manusia sebagai subyek telah mati, seperti dikatakan Fucoult. Individu tak memiliki kesadaran utuh, tidak memiliki tuntutan akan kebenaran. Kehidupannya dikuasai retorika mental dan sandiwara kata-kata. Manusia hanya berwacana, tanpa tanggung jawab terhadap apa yang dilakukan; (2) Penafian terhadap realitas. Realitas adalah fiksi yang diciptakan oleh imaginasi manusia. Boudrillard (1983): Realitas hanya simulacra yaitu citraan-citraan tanpa hakikat asasi. Citraan-citraan ini dihamburkan kepada manusia di seluruh dunia melalui media informasi. Jika realitas tidak ada, maka yang ada hanya timbulan citraan atau simulasi yang tidak bermakna. (3) Nihilisme menguasai jiwa manusia, perasaan bahwa segalanya tidak bermakna. Nilai-nilai mengalami keruntuhan. Manusia hanya benda yang digerakkan oleh kesadaran yang tidak utuh, berserak-serak. Apa yang dilakukan tidak merupakan kehendaknya. Satu-satunya makna ialah makna yang diberikan setiap orang dengan cara berbeda-beda sesuai tuntutan keadaan. (4) Penolakan naratif besar dan penafian kebenaran universal. Di antara naratif besar yang ditolak ialah ‘pembebasan manusia dari mitos’ dengan mengerahkan seluruh daya akalnya dalam meraih kebenaran. MK dan Nation-state Kita telah tahu bahwa multikulturalisme bertentangan dengan ‘monokulturalisme’ yang secara historis berarti norma-norma yang berlaku dalam sebuah Negara bangsa. Dalam monokulturalisme terdapat kesatuan kultural yang normatif dan menjamin homogenitas budaya tersebut. Kebudayaan identik dengan bangsa, dibebaskan dari kepentingan politik praktis dan pencemaran komersialisasi. Sepanjang sejarah monokulturalisme menjamin keutuhan nation-state, khususnya di Eropa. Karena multikulturalisme dalam pelaksanaannya mengancam gagasan nation-state, beberapa negara Eropa seperti Denmark, Belanda, Inggeris, Jerman, dan Perancis mulai mengubah kebijakan multikultural mereka. Penentang multikulturalisme beranggapan bahwa kebijakan itu bisa mendorong timbulnya ‘ghetto-ghetto budaya’ dan merusak identitas nasional, dan bangsa itu sendiri. Di Eropa bahkan sering dipandang sebagai konspirasi untuk mempercepat proses islamisasi Eropa. Di antara kebijakan multikultural yang ditentang ialah: (1) Pengakuan kewarganegaraan ganda, yang sering merupakan akibat dari hukum yang berlaku di negeri tempat asal imigran; (2) Dukungan pemerintah terhadap penerbitan suratkabar menggunakan bahasa minoritas, begitu terhadap siaran televisi dan radio; (3) Dukungan terhadap festival, perayaan dan hari libur kaum minoritas; (4) Diperbolehkannya pelajar atau mahasiswa menggunakan pakaian tradisional dan keagamaan tertentu di sekolah, dalam masyarakat dan organisasi militer; (5) Dukungan untuk menghidupkan seni dan musik dari budaya minoritas; (6) Dihidupkannya program yang memberi kaum minoritas berperan aktif dalam lapangan politik, pendidikan, dan kemasyarakatan yang lain. Bagaimana dengan di Indonesia? Jika yang dimaksudkan dengan kebijakan multikultural adalah seperti yang dilakukan di Eropa, di Indonesia kita sudah melaksanakannya. Masalahya, sejak lama masyarakat kita telah tercerabut dari akarnya dan keanekaragaman yang dimilikinya telah tersisihkan setidak-tidaknya oleh dua hal: (1) Kebijakan penyeragaman yang dilakukan Orde Baru; (2) Globalisasi dan ekspansi pasar bebas, dengan dukungan efektif media massa atau media elektronik serta pelaku pasar, proses penyeragaman itu semakin menjadi-jadi. Kebhinnekaan budaya kita tinggal sebagai puing-puing di tengah maraknya tayangan film Hollywood, Bollywood dan Mandarin. Jangankan bahasa-bahasa daerah, bahasa Indonesia memiliki kedudukan politik yang lebih kuat saja sudah berantakan dan tidak berdaya menghadapi status terhormat bahasa Inggeris, bahkan bahasa Mandarin. Sebagai dampak dari globalisasi dan ekspansi pasar bebas, yang berkembang adalah budaya populer dan hedonistis. Di mana-mana sebagai dampaknya terjadi pendangkalan budaya, penghayatan agama, dan menurunnya kecerdasan bangsa kita dalam merespon perkembangan mutakhir dunia. Kita terpuruk dalam ekonomi. Politik carut marut. Budaya kita tenggelam oleh hiruk pikuk komersialisme dan konsumerisme. Apa artinya kita bicara pluralisme dan multikulturalisme? Bukankah nation-state kita sedang terpuruk dan telah mulai retak? Apa arti multikulturalisme jika mendorong menguatnya etnisitas dan politik etnis? Jika yang diusung sebenarnya hanya kepentingan suatu komunitas politik dan ekonomi? Apakah dengan multikulturalisme kita harus mengakui hak-hak kaum homo dan lesbian untuk menikah sesama jenis? Apakah demi minoritas kita harus membuat sengsara mayoritas? Toleransi agama dan budaya memang penting. Tetapi di mana batas-batas toleransi itu? Apakah selama ini memang tidak ada toleransi agama di negeri kita? Bagaimana jika semua komunitas sama-sama bebal dan keras kepala? Dimana tempat hak-hak individual dan di mana pula tempat hak-hak sosial atau kelompok? Multikulturalisme dan pluralisme bukan harga mati. Begitu pula dengan demokrasi. Di luar itu masih terbentang masalah lain, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai. Dan ternyata hanya sebagian kecil saja darinya yang terjangkau oleh penggerak-penggerak multikulturalisme dan demokrasi. Akhirnya penduduk negeri ini memang bhinneka. Tetapi bagaimana menentukan ‘tunggal’ nya dan bagaimana mencapai ‘ika’, hingga tidak berhenti hanya pada ‘bhinneka’ semata-mata? Itulah soal yang mesti dipecahkan secara arif dan bijak.
(Makalah ini baru draft sementara. Tidak untuk disiarkan) Jakarta 1 Mei 2007

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
ADIFAH 2220 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute