Cari Blog Ini

Senin, 28 Februari 2011

sang mentari senja








Renungan CInta

menatap Muhammad buhulan rindu
tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap kelipnya
merintih akulah geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,
duhai Muhammad …
Sajak Maulid Nabi, dimitri mahayana,
Wajah Asmara
dalam Nuansa
Nyala di dada
Buhulan Cinta !



Cinta menyuarakan gending-gending dan seruling
faqir merintih rindu sembari berkeliling
Cinta meniup lembut lembar-lembar mahkota bunga
faqir menjeritkan harapan ‘tuk bersua
Cinta menjanjikan kekasih yang dirindukan
faqir nanar menangis … menangis … dan menangis
Wahai Kekasih… Wahai Pupur dan Bedak Kesturi
Wahai Seribu Wajah Asmara!
Laksana semut, fawir merayapi gunung-gunung…
di kala angin musim dingin menerpa salju-salju
O…Ratih…kaki fawir membiru, kaku, tiada mampu bergerak
O…Ratih…di manakah dikau harus kucari
O…Ratih…telah kulewati Fuji nun jauh di timur dan ratusan selat-selat berakitkan bambu
O…Ratih…kau tiadalah ada di satu kota-kota cinta
O…Ratih…hanyalah aroma wewangian asli yang kudapat ataulah gambar-gambar berpigura di pasar-pasar burung
Labuan hatiku yang tersembunyi…Latifah Ratih
Harapan rasaku yang tiada terjangkau…’Aliyyah Ratih
Pujaan nurani yang maha agung…’Azhiimah Ratih
Piala-piala anggur cinta…Waduudah Ratih
Kecantikan tiada tara tiada terbayang…Jamiilah Ratih
Raup-raup kesempurnaan kasih mesra…Rahiimah Ratih
Rahmat tiada terbatas bagai samudra…Rahmaniyyah Ratih
Puja dan puji yang sempurna….

Senin, 21 Februari 2011

MULTIKULTURALISME DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

MULTIKULTURALISME
DAN BHINEKA TUNGGAL IKA

Semboyan negara kita ialah Bhineka Tunggal Ika. Ini merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang membawanya ke arah persatuan. Lagi pula sebagian besar etnik yang bhineka itu berasal dari rumpun yang sama yaitu Melayu Mongoloid, demikian juga berbagai bahasa dan dialek yang digunakan termasuk ke dalam rumpun yang sama yaitu rumpun bahasa-bahasa Austronesia. Ini berbeda misalnya dengan keragaman etnik yang terdapat di negeri-negeri seperti Amerika Utara, Australia, dan bahkan Malaysia yang tidak berasal dari satu rumpun ras dan tidak memiliki hubungan keagamaan satu dengan yang lain.
Walaupun dalam pelaksanaannya mengalami banyak rintangan dan tidak jarang pemerintah sendiri mengabaikan kenyataan-kenyataan tersebut, namun semangat yang lahir dari semboyan itu masih tetap hidup dan meresap dalam jiwa masyarakat kita. Sebagai cita-cita dan gagasan pula, tidak ada yang cacad dan cela dalam semboyan itu. Bahkan unik dalam sejarah negara modern, karena pada mulanya munculnya negara modern didasarkan atas ide monokultural, sebagaimana tampak pada negara-negara di Eropa dan Amerika Utara. Sebaliknya negara-negara modern di Asia dan Afrika yang didirikan pasca Perang Dunia II seperti India dan Indonesia kebanyakan bercorak multikultural. Oleh karena itu sangatlah mengherankan bahwa gagasan multikulturalisme yang dewasa ini banyak diperdebatkan di negara-negara Barat, muncul pula menjadi wacana yang ramai diperdebatkan di negara-negara yang pada dasarnya sudah multikultural seperti Indonesia.
Harus diakui bahwa asumsi dan argumensi yang diajukan oleh para penganjur gerakan ini sering mengejutkan dan menarik perhatian, akan tetapi jika dilihat dari perspektif sejarah Indonesia kehadiran multikulturalisme itu sebenarnya dapat dikatakan ahistoris atau memotong sejarah. Kecuali itu jika ia benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan politik seperti di Australia dan Canada, negeri asal gerakan ini, ia akan menimbulkan konsekwensi yang mungkin tidak terbayangkan oleh penganjurnya itu sendiri. Namun untuk dapat membayangkan dampak yang ditimbulkannya adalah tidak mungkin apabila kita tidak mengetahui apa yang dimaksud multikulturalisme oleh para penganjur dan pendukungnya, maupun tanggapan para penentangnya di negara-negara yang mulai melaksanakan kebijakan multikultural dan merasakan akibat-akibatnya.
Multikulturalisme lahir pada awal 1970an, bermula gerakan intelektual yang menamakan diri ‘gerakan multikultural’ di Australia, Canada dan Amerika Serikat. Meskipun pada mulanya merupakan gerakan kultural dan intelektual, dalam waktu yang tidak lama multikulturalisme berkembang menjadi gerakan politik yang salah satu agendanya ialah mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap kaum minoritas, khususnya kaum imigran yang terutama sekali berdatangan dari Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika. Kaum minoritas yang hadir sebagai muhajirin baru ini bukan saja multietnik dan multi-budaya, tetapi juga multi-ras dan multi-agama, yang dalam banyak hal tidak ada sangkut pautnya dengan bangsa, agama dan budaya dominan yang telah sedia ada sejak lama di negara-negara tersebut.
Dalam dasawarsa 1980an gerakan multikultural berkembang di Eropa dan mulai mempengaruhi kebijakan politik pemerintah setempat. Di Perancis misalnya ia mengusung agenda politik yang sama dengan agenda yang diperjuangkan di Canada dan Amerika Serikat. Padahal, seperti banyak diketahui, Perancis merupakan negara Barat yang paling gigih mempertahankan gagasan unikultural dan nation-state, dan telah lama menolak gagasan multikultural. Begitu pula dengan di negara Eropa lain seperti Jerman, Inggris, Denmark dan Belanda.
Faktor yang mendorong Perancis menerima multikulturalisme sesungguhnya sederhana, ekonomi. Yaitu hadirnya kaum imigran dalam jumlah besar dari Turki, dan negara-negara bekas jajahan Perancis seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pesatnya pertumbuhan ekonomi negeri itu pada permulaan era pasar bebas atau neo-liberalisme, banyaknya lapangan kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk negeri itu, mendorong hadirnya jumlah besar imigran dari negara-negara yang penduduknya beragama Islam itu. Selain faktor hadirnya jumlah besar imigran dari negara-negara Islam di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Barat, faktor lain ialah apa yang disebut gagasan Eurabia, gagasan membentuk pakta perdagangan Eropa dan Arab. Gagasan ini lahir pada awal 1970an dan bertujuan mengurangi ketergantungan Negara-negara Eropa kepada Amerika.
Tetapi dengan diberlakukannya neo-liberalisme sebagai dasar kebijakan baru kapitalisme, negara Eropa menjadi kian tergantung pada AS. Faktor ini membuat pemerintah Perancis mundur ke belakang, tetapi dengan dampak tidak terbayangkan pula. Di sisi lain, ini yang cukup mengejutkan, kebijakan multikultural lantas disamakan dengan strategi untuk mengislamkan Eropa. Gagasan Eurabia lantas dihujat habis-habisan, terutama oleh golongan kanan yang ingin mempertahankan budaya Pencerahan.
Sebenarnya apakah sebenarnya multikulturalisme itu? Mengapa pelaksanaannya berbeda di negeri yang satu dengan di negeri yang lain? Jika budaya-budaya yang beragam itu berasal atau dibawa dari luar, bagaimana menyikapi budaya nasional atau budaya-budaya lokal? Mana yang harus diistimewakan oleh suatu negara, jika budaya lokal dan budaya nasional mulai terancam punah atau terkikis oleh hantaman budaya dari luar akibat dahsyatnya gelombang globalisasi? Agar tidak bertele-tele, saya ingin mulai dengan di Amerika. 

MARHAENIS DI ERA IMPERIALISME


MARHAENIS
DI ERA IMPERIALISME
Catatan untuk Budiman Sudjatmiko
Coen Husain Pontoh


Artikel panjang Budiman Sudjatmiko, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, artikel itu coba melihat bagaimana kondisi negara-bangsa Indonesia di era kapitalisme-neoliberal saat ini; kedua, bagaimana posisi Marhaenis di tengah-tengah pergulatan itu; dan ketiga, bagaimana seharusnya Marhaenis bersikap.
Untuk memudahkan catatan saya terhadap artikel Budiman itu, saya ingin menempatkan artikel tersebut dalam bingkai Republik dan bingkai Imperialisme (saya tidak menggunakan istilah neoliberal, karena istilah ini lebih berbicara soal masalah ekonomi internasional). Republik di sini saya maksudkan, sebagai upaya bersama sebuah bangsa untuk meninggikan derajat kesejahteraan rakyat, harkat kemanusiaannya, dan independensinya dalam pergaulan antar bangsa. Dengan demikian, Republik bermakna pembangunan ke dalam di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Sementara Imperialisme, adalah sebuah upaya pembangunan kekaisaran global (empire) melalui proses penaklukan, pendudukan, dan atau pengontrolan sumber-sumber daya alam di luar negeri. Pada masa sekarang ini, kalangan ilmuwan sosial progresif meyakini, Imperialisme merupakan motor penggerak sejarah yang sebenarnya. Dengan demikian, ada jurang lebar antara pengertian Republik dan Imperialisme. Jika keberhasilan Republik dinilai berdasarkan hubungan yang setara, tumbuh suburnya solidaritas sosial di kalangan anak-bangsa, maka kesuksesan imperialisme dihasilkan dari hubungan yang timpang dan dominatif.
Dari pemaknaan ini, ingin saya katakan, sejak peristiwa G30S 1965, negara-bangsa Indonesia sebagai sebuah Republik, praktis telah gagal, hancur berkeping-keping. Martabat manusia diluluh-lantakkan, hubungan antar sesama berlangsung penuh kecurigaan dan serba tegang, rasa solidaritas dan kebersamaan musnah. Yang tinggal adalah laku bunuh-bunuhan, jegal-jegalan, korupsi, kebodohan, kemiskinan, penghianatan intelektual, hingga ketergantungan yang parah terhadap dinamika ekonomi internasional.

METODE BERPIKIR DIALEKTIK


A.  METODE BERPIKIR DIALEKTIK
1. Latar belakang sejarah Materialisme Dialektik 
Sebagaimana kita telah ketahui, bahwa Materialisme Dialektik bersumber pada filsafat klasik Jerman abad ke 19, atau dengan kata lain, Materialisme Dialektik (MD) adalah pengembangan lebih lanjut dari filsafat klasik Jerman. Pada masa itu, Fisafat klasik Jerman merupakan filsafat yang paling maju di Eropa. Mengapa tidak di Inggris atau Perancis yang tingkat perkembangan masyarakatnya jauh lebih maju dari pada di Jerman, tentunya bukan hal yang kebetulan.
Pada abad ke 19, kapitalisme mulai berkembang di Jerman, kaum borjuis Jerman berada di telapak kaki kekuasaan feodal Kaum Jongker. Sementara di Inggris dan Perancis, kapitalisme berkembang lebih maju dibandingkan Jerman. Borjuasi kedua negeri itu sudah berhasil menumbangkan kekuasaan feodal sementara borjuis Jerman membutuhkan sebuah filsafat sebagai sebuah senjata ideologis yang mampu memberikan bimbingan dan pimpinan dalam perjuangan melepaskan dekapan Kaum Jonger. Begitulah dapat dikatakan bahwa Filsafat klasik Jerman di abad ke 19 justru merupakan proses perkembangan dari perjuangannya untuk mendapatkan  senjata ideologi itu.
Pada batas-batas tertentu perjuangan klas antara kaum feodal dan kaum borjuis lebih berat daripada apa yang terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis. Alasannya, baik kaum feodal maupun kaum borjuis yang berkuasa di Jerman, masing-masing telah dapat menarik pelajaran dari pengalaman sejarah perjuangan klas dari negeri-negeri tersebut (Inggris dan Perancis). Sementara itu perkembangan kapitalisme yang tak mungkin terhindarkan, telah melahirkan suatu klas baru, yaitu klas pekerja. Kelas pekerja ini semakin tumbuh membesar dan kuat dan menjadi musuh utama klas borjuis dalam masyarakat kapitalis di Jerman. Ditambah lagi dengan Gerakan kaum buruh yang sudah mulai bangkit di negri-negeri lain seperti Inggris, Perancis dsb., mempengaruhi alam pikiran kaum borjuis Jerman.
Sudah tentu disamping itu semua, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berkembang pesat. Hal itu tidak lain berkat kemajuan kapitalisme di capai. Kemajuan tersebut  yang kemudian menentukan perkembangan dunia pikiran dan filsafat. Dalam situasi demikian, pada satu pihak kaum borjuis Jerman berkepentingan menumbangkan kekuasaan feodal untuk mengembangkan kapitalisme, sedang di pihak lain mereka juga mengkuatirkan ancaman kebangkitan gerakan klas proletar. Situasi demikian menimbulkan keraguan dalam diri mereka. Hal ini jelas tercermin dalam filsafat klasik Jerman yang muncul.Gambaran yang konkrit misalnya dari filsafat dualisme Kant yang kompromis, filsafat Hegel yang Dialektik tapi idealis, sampai ke filsafat Feuerbach yang materialis tapi mekanis dan tak konsekwen.
Sebagaimana kita ketahui, tokoh-tokoh yang berhubungan erat dengan kelahiran Materialisme Dialektik adalah Hegel dan Feuerbach. Hegel berjasa dalam mensistimatisir fikiran-fikiran dialektis yang terdapat sepanjang sejarah filsafat, ini yang menunjukkan bagian progresip dari filsafatnya, namun Dialektikanya Hegel lebih  berdasarkan idealisme dimana filsafatnya menunjukkan segi yang reaksioner. Menurut Hegel, gejala alam dan sosial adalah perwujudan dari ‘ide absolut yang senantiasa bergerak dan berkembang. Marx berpendapat bahwa Dialektika Hegel itu berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
Filsafat Feuerbach adalah filsafat materialis mekanis yang pernah menjadi senjata ideologis kaum borjuis Perancis dalam revolusi abad 18. Sungguh pun demikian, adalah juga Feuerbach, yang berani menghidupkan kembali Materialisme dan mengibarkannya tinggi-tinggi di tengah lautan idealisme yng menguasai seluruh Eropah pada abad itu. Dengan pemikiran Materialisme yang terbatas, Feuerbach mengkritik agama Katholik yang berkuasa pada saat itu, karena mereka tak lebih dari kuroptor dan alat negara kerajaan pada saat itu. Dari pemikirannya itu pula muncul ide untuk mendirikan sebuah agama baru diatas bumi yang nyata, bukan di awang-awang. Ini justru menunjukkan ketidak konskwenan pandangan Materialisme Feuerbach.
Marx secara kritis mengubah Dialektika Hegel yang idealis menjadi Materialis, dan Materialisme Feuerbach yang mekanis (non-dialektis) menjadi dialektis. Dengan demikian terciptalah suatu sistim filsafat Materialisme Dialektik.
Berdasarkan sistim filsafat Materialisme Dialektik, Marx mengadakan penyelidikan dalam bidang sejarah, menelaah sejarah perkembangan masyarakat manusia sehingga lahirlah apa yang dikenal Materialime Historis atau pandangan tentang sejarah secara materialis. Menurut Materialisme Historisnya, Marx menggambarkan bahwa masyarakat berkembang menurut hukum-hukumnya dan tidak dapat ditentukan oleh ide atau kehendak seseorang atau golongan. Dan menurut hukum-hukum perkembangan masyarakat yang objektip ini, terutama hukum yang menguasai masyarakat kapitalis, Marx berkesimpulan bahwa masyarakat kapitalis pasti akan tumbang dan akan diganti oleh masyarakat yang lebih maju. Ini adalah suatu keharusan sejarah. Dan keharusan sejarah ini akan diwujudkan dan hanya dapat diwujudkan oleh klas pekerja, ksum proletar. Klas pekerja sebagai kelompok mayoritas dan paling tertindas itu telah mendapatkan filsafatnya sebagai senjata ideologis yaitu Materialisme Dialektika. Dan Materialisme Dialektika mendapatkan kekuatan realnya pada Klas pekerja.


Bhinneka Tunggal Ika Dan Passing Over Spiritualitas Bung Karno

Bhinneka Tunggal Ika Dan Passing Over Spiritualitas Bung Karno


S
etelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma dalam berbagai raja-raja di dunia, kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Kala. Sebagaimana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa.Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi Raja Hastina. Sementara itu, Porusada yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan dari
Bathara Kala. Tetapi, Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala, bahkan Porusada pun menjadi terharu. Dewa Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri. mangka jinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama).

Suatu malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah bermandikan cahaya purnama. “Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi,” kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I Nyoman Granyam, seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk melakonkan Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan lakon Sutasoma itu.

Lalu Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud, “Nanging hana pamintaku uripana sahananing ratu kabeh” (Tetapi permohonanku, hidupkanlah raja-raja itu semua). Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini. Pertama, dari karya Tantular ini berasal dari istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata merdeka), “Pancasila” dan seloka “Bhinneka Tunggal Ika” ungkapan yang menurut Dr Soewito dalam tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975) “is a magic one of great significance and it embraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community”.

Kedua, perhatian yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesejahteraan umat manusia. Yang kedua ini juga tidak kurang penting, sebab ternyata jalan yang sama akhirnya ditempuh oleh Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya “perang saudara” pasca-Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. Jadi, yang pertama terkait erat dengan pandangan religi Bung Karno, khususnya dalam melacak pandangan-pandangan dasar keagamaannya, sedangkan yang kedua menyangkut religiusitas atau penghayatan keagamaannya.

Memang, kini ungkapan Bhinneka Tunggal Ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks. Akan tetapi, makna semula ungkapan ini penting kita kedepankan kembali, justru karena secara khusus kita kaitkan dengan wacana religi dan religiusitas Bung Karno di atas. Begitu juga, istilah Pancasila yang juga tercantum dalam karya Tantular ini, aslinya berasal dari kelima hukum moral Buddhis: “pancasila ya gegen den teki away lupa” (Pancasila harus dipegang teguh jangan sampai dilupakan). Salah satu sila dari Pancasila Buddhis adalah larangan untuk membunuh sesama makhluk hidup (panapati vermanai sikkapadam samadiyami) yang kiranya menjiwai kisah Sutasoma dan mengilhami pilihan moral Bung Karno untuk lebih baik dirinya sendiri tenggelam demi keutuhan bangsa dan Negara yang sangat dicintainya.

Pentingkah Pancasila


PEN(TINGKAH) PANCASILA
SEBAGAI IDeOLOGI DAN PEMERSATU BANGSA


Ada lima pertanyaan yang acapkali menggoda penulis:
1.    Mengapa Garuda menoleh kesebelah kanan, karena berkaitan dengan otak kanan simbolnya love, Garuda dibuat menoleh kekanan. Artinya: “Kepala harus dituntun oleh Cinta”.
2.    Mengapa Garuda memakai Perisai: Perisai adalah pelindung, pelindung dari hal-hal negatif yang menjadi kontra dari kelima sila. Mengapa simbol sila kerakyatan adalah Kepala Banteng? Namanya Rakyat biasanya tidak berpikir panjang sama seperti banteng mudah diprovokasi, karena itu Banteng di Garuda memejamkan mata, agar tidak mudah diprovokasi (banteng yang Meditatif).
3.    Mengapa Bintang ditengah? Bintang di tengah dengan sudut-sudut menunjuk ke empat sila, karena setiap sila-sila dalam Pancasila harus selalu dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
4.    Kelima-lima Sila dalam Pancasila saling berhubungan. Jika muncul pertanyaan dalam masyarakat, mengapa rakyat belum sejahtera (sila ke-5) Karena rakyat belum dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila ke-4).
5.    Mengapa Rakyat belum dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Karena belum ada persatuan (sila ke-3)? Mengapa belum ada persatuaan? Karena belum ada kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2). Mengapa belum ada kemanusiaan? Karena belum ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Melihat simbol yang ada di Burung Garuda, kita menjadi mengetahui Jiwa Indonesia sebenarnya adalah Ketuhanan. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah bagaimana cara agar bisa mengawal penafsiran kita tentang Pancasila supaya tidak menyimpang atau tidak salah tafsir, dan jika kita ingin menghindari multi tafsir, maka kita harus melihat keseluruhan secara komprehensif, dari semua simbol yang ada di Burung Garuda Pancasila yang ditafsir, Jangan kita melupakan nilai di bawah Garuda yang merupakan seuntai pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" Itu adalah keseluruhan Roh dari bangsa Indonesia. Apapun penafsiran harus selalu kembali kepada rohnya yaitu, Berbeda tetapi tetap satu.
Sudah 63 Tahun Pancasila menjadi Weltanschauung dan philosophische grondslag NKRI, tapi bertepatan dengan itu, esensi dari eksistensi Pancasila lambat laun semakin pudar dan hambar rasanya, apakah demikian ini bisa dijadikan sebagai rujukan pandangan hidup bangsa, jika keterasingan makna dan esensi didalamnya semakin pudar, apalagi Pancasila selama ini hanya mendiami ranah politik kemapanan dan berjibaku dengan kepentingan birokrasi pemerintah serta oknum-oknum politik yang sudah tidak menjiwai gerakannya dengan entitas Pancasila itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi kehadiran Pancasila hanya dipandang sebagai pelengkap saja dalam pembentukan Negara, hal ini berjalan terus menerus dari tahun ke tahun sepanjang genre dan tingkat pendidikan serta penangkapan indera masyarakat selama ini. Sampai-sampai paradigma agamawan pun semakin hari bertolak dari arah kiblat yang diharapkan, terlebih malah menjadi batu ganjal dalam mewujudkan keharmonisan sesuai dengan falsafah bangsa. Hal ini juga semakin mengaburkan ranah sistemik Pancasila itu sendiri. Sehingga kebanyakan masyarakat jatuh dalam dampak globalisasi dan ekspansi pasar bebas, yang terus mengembangkan budaya populer dan hedonistis. Di mana-mana sebagai dampaknya terjadi pendangkalan budaya, penghayatan agama, dan menurunnya kecerdasan bangsa dalam merespon perkembangan mutakhir dunia inilah dampak sesungguhnya dari ketidakmampuan diri dalam mengolah sebuah perubahan. Bangsa semakin terpuruk dalam ekonomi, politik carut marut. Sedangkan kebudayaan negeri ini tenggelam oleh hiruk pikuk komersialisme dan konsumerisme.
Dan jika kita tengok pada roh suci Pancasila “Bhineka Tunggal Ika”. Maka yang kita dapati merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial anthropologis penduduk negeri ini yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama. Dan juga merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial historisnya bahwa meskipun penduduk negeri ini bhineka, dalam perjalanan sejarahnya telah sejak lama saling berinteraksi dan mempengaruhi, bahkan memiliki ikatan disebabkan faktor-faktor politik dan keagamaan, serta persamaan nasib selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, yang membawanya ke arah persatuan. Namun akhirnya penduduk negeri ini memang bhinneka. Tetapi bagaimana menentukan “tunggal” nya dan bagaimana mencapai “ika”, hingga tidak berhenti hanya pada “bhinneka” semata-mata? Itulah soal yang mesti dipecahkan secara arif dan bijak.
Untuk meminimalisasi kondisi seperti itu, maka dibutuhkan keterlibatan secara aktif dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, guna mencari sekaligus memberikan jalan keluar bagi “kebuntuan strategi” yang tengah melanda realitas tersebut. Di samping hal fundamen yang berkenaan dengan relatifitas dan penggalian Pancasila didalamnya, sehingga mampu melahirkan generasi bangsa sekaligus pewaris-pewaris sah negeri ini  yang paham terhadap interior dunianya sendiri. Lagi-lagi ini perkara yang nisbi tentunya, apabila dari fenomena yang sedang berlangsung, justru penjaga, pewaris sah, serta pelestari ideologi yang selama ini bertahan dalam komunal dilemanya hanya mampu berpangku tangan semata. Apabila membiarkan wilayah tanggung jawab moral itu hampa dari I’tikad untuk merujuk pada tatanan perubahan yang produktif dan referentatif. Terlebih jika kita dibenturkan pada suatu kenyataan di abad mutakhir ini, di mana segala ukuran yang menjadi urgen, tak lain hanyalah perihal pemenuhan terhadap material belaka.
Di samping membuka wilayah epistimologi dari ranah sistemik dalam dimensi kesadaran eksklusif yang kita miliki terhadap keanekaragaman ideologi bangsa lain. Di mana hal itu acapkali kita serap dan luput kita filter keberadaanya. Apalagi Ideologi Pancasila cenderung dijadikan sebagai transfusi kegamangan dialektik, sehingga memunculkan transvaluasi yang kerapkali berujung pada keberpihakan sepihak. Sehingga Di mana yang seharusnya terjadi adalah Pancasila menjadi sumber inspirasi sekaligus entitas moral yang sungguh membuat instink dan alunan batin kita semakin tentram, lebih harmonis demi terciptanya negara yang berdasarkan Ketuhanan yang berkebudayaan seperti verdraagzaamheid yang telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul di agamanya masing-masing demi terciptanya azas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bukan sebaliknya.
Kita masih ingat, bahwa keagungan sebuah bangsa dan hakikatnya terletak pada penghargaan kita terhadap perilaku sejarah, yang sekaligus merupakan cerminan kreatifitas intuitif yang selanjutnya menjadi tolak ukur bagi empati kejiwaan bangsa itu sendiri. Demikian halnya dengan eksistensi Pancasila yang kurang mendapatkan tempat sebagaimana mestinya, bahkan justru dalam lingkungan pandidikan yang sejelas-jelasnya merupakan bagian disiplin ilmu lainnya, yang semestinya mendapat porsi lebih dalam proses pembelajarannya. Sebab suatu landasan idiil yang sudah disepakati sebagai konsensus politik negara, haruslah dimengerti oleh masyarakatnya. Sehingga ruang inspirasi dan kedewasaan berpikir masyarakat akan terwujud sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh para founding fathers negeri ini.
Lantaran itulah maka harus segera kita pertegas kembali bahwa sesepele apa pun pandangan kita terhadap Pancasila, tentu saja tak bisa diabaikan begitu saja, dengan catatan jika kita tidak ingin kehilangan karakter insani yang nyaris menjadi inti dari muatan ideologi secara global. Sehingga kaum intelektual dan masyarakat luas juga mampu meminimalisasi kerancuan epistimologi ideologi lain yang diagung-agungkan negara-negara adidaya dalam mentransformasi pengetahuan dan melekatkan label “liyan” bagi Negara lain. Dari filosofi temperamen seperti ini bukan satu-satunya bentuk kepedulian dalam tahap suksesi bagi keutuhan dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang (dalam tanda petik) Merdeka. Akan tetapi lebih dari itu, bahwa pertanyaan klise yang meski kita pentaskan adalah: Apa kata dunia, jika Pancasila tiba-tiba lenyap dari hadapan manusia dan bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa
A No Badrah Karatawo Yantu Wiswatah…
…om

http://www.pakdenono.com/home.htm

http://www.pakdenono.com/home.htm

Faham Wahabi

Sejarah awal mula faham Wahabi

 

Tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha menulis dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I'tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha'i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama' besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa'iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi'i, menulis surat berisi nasehat: "Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A'dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : "Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama'ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, "Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan" Lelaki itu bertanya lagi "Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.
Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar'iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama? besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.

Mossad Badan Inteligen Israel

Mossad Badan Inteligen Israel pimpinan Meir Dagan
Mohammed badie Pimpinan Ikhwanul Muslimin

Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim (Ibrani: המוסד למודיעין ולתפקידים מיוחדים, "Institut Intelijen dan Operasi Khusus") adalah dinas rahasia Israel dan sering disingkat sebagai Mossad. Operasinya terutama mengawasi bangsa-bangsa dan organisasi Arab di seluruh dunia.
Mossad merupakan dinas intelijen yang dianggap momok bagi dunia Arab. Sepak terjangnya dalam mengacak-acak sejumlah negeri membuatnya diakui sebagai salah satu dinas intelijen terbaik dan tersukses di dunia. Lembaga ini bertanggung jawab untuk intelijen, misi penyamaran, dan kontra teroris. Mossad juga bertanggung jawab atas pemindahan warga Yahudi keluar dari Suriah, Iran, dan Ethiopia. Agen-agennya aktif dalam pembentukan sejumlah negara komunis di Barat dan PBB.
Mossad dibentuk Perdana Menteri Israel David ben Gurion pada 1 April 1951, selain intelijen militer dan kontra intelijen (Shin Bet). Pada pembetukannya, ia berkata bahwa tujuan Mossad ialah, "Untuk negara kita yang sejak berdirinya telah berada di bawah ancaman musuh-musuhnya. Konstitusi intelijen ialah garis terdepan pertahanan...Kita harus belajar dengan baik cara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sekeliling kita."
Mossad berkantor pusat di Tel Aviv. Pada 1980-an, personilnya diperkirakan berjumlah 1500-2000 orang. Secara tradisional, direkturnya dirahasiakan, namun pada Maret 1996, pemerintah Israel mengumumkan pada publik MayJen Danny Yatom sebagai direktur menggantikan Shabtai Shavit yang dipecat awal 1996.
Diduga Mossad bertanggung jawab atas sejumlah operasi intelijen di dunia, khususnya yang terjadi di seputar konflik TimTeng. Mereka telah menempatkan umat bangsa Arab sebagai ancaman utama Israel. Mereka memiliki klab malam di Libanon, the Star, yang kerap menjadi ajang pertemuan para agennya.
Sepanjang 1970-an, Mossad membunuh pejuang PLO yang terlibat peristiwa September Hitam yang menewaskan sejumlah atlet Israel pada Olimpiade di Munich, Jerman. Mossad juga yang menghancurkan kantor PLO di Tunis, Tunisia pada April 1988, dan membunuh salah satu pejabat pentingnya Abu Jihad.
Pada Maret 1990 agen Mossad kembali beraksi. Kini korbannya ialah ilmuwan Kanada Gerald Bull yang merancang senjata super untuk Irak. Ia dibunuh di apartemennya di Brussel, Belgia. Pembunuhan ini sukses menghentikan proyek pembuatan senjata itu.
Mossad dianggap salah satu dinas intelijen yang paling sukses di dunia. Namun dinas rahasia ini pernah pula beberapa kali melakukan kesalahan-kesalan besar. Antara lain mereka pernah membunuh orang secara tidak sengaja yaitu, Ahmed Bouchiki di Lillehammer Norwegia pada tahun 1973 yang dikira Ali Hassan Salameh, salah seorang aktivis Palestina yang memimpin Gerakan September Hitam dan menyulik serta membunuh kontingen Olimpis Israel di München pada tahun 1972. Yang paling fatal dan memalukan ialah kegagalannya mencegah pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin. Para agennya kecolongan saat warga Yahudi Ortodoks, Yigal Amir membawa senjata dan menembak Rabin. Hal ini memaksa pemerintahan Israel memecat direktur Mossad Shabtai Shavit dan digantikan MayJen Danny Yatom.

Jumat, 18 Februari 2011

Teokrasi Iran v Demokrasi Liberal Barat


Pergolakan Timur Tengah
Teokrasi Iran v Demokrasi Liberal Barat

Oleh Herdi Sahrasad*

Tatkala Barat (AS dan Uni Eropa) memilih berhati-hati dalam menyikapi demonstrasi di Tunisia, Mesir, Aljazair, Jordania, dan Yaman serta terpukau oleh orde baru di Beirut (Lebanon), Iran justru bersikap tegas. Teheran dengan mantap mendukung perubahan di dunia Arab tersebut

Hampir seluruh pergolakan rakyat di dunia Arab itu anti-Amerika (anti-Barat). Hal tersebut ditandai dengan seruan ‘’Enyahlah antek Amerika’’. Sebagaimana publikasi media, di mata kaum demonstran Arab, begitu kuat persepsi bahwa Hosni Mubarak di Mesir dan Ben Ali di Tunisia adalah antek Amerika. Artinya, di kalangan demonstran revolusioner Arab itu, semangat anti-Barat sangatlah kuat dan ada kehendak kuat agar negeri mereka berdaulat, mandiri, serta bermartabat.

Masuk akal jika para pembuat kebijakan Amerika dan Eropa khawatir atas kekacauan di Tunisia, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya. Kawasan Arab, tampaknya, bakal melewati masa transisi yang panjang dan sulit, mengingat berurat-akarnya korupsi serta kediktatoran. Di mana-mana muncul kerusuhan, ketidakpastian, dan rasa sakit. Perekonomian memburuk dan terpuruk.
 
Ada kekhawatiran Barat bahwa protes anti pemerintah di Timur Tengah tersebut dibajak Islamis radikal. Namun, jelas tidak adil menyatakan bahwa wilayah itu tidak ’’siap untuk demokrasi’’ . Tidak adil juga hanya menyalahkan masyarakat Arab dan menganggap kekacauan akan merusak serta bertahan lama.

Dalam kaitan ini, Barat amat waspada dan curiga bahwa Iran, tampaknya, paling antusias menyambut tumbangnya rezim-rezim diktator di Timur Tengah. Bahkan, kepada masyarakat Arab, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan elite penguasa lainnya di Teheran merasa telah membuktikan diri sebagai kekuatan revolusioner Islam yang pro perubahan dan memberikan contoh bagaimana menegakkan teokrasi di dunia Islam.
Kini kebangkitan dan perlawanan rakyat Arab yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter pro-Barat di Mesir dan Tunisia menandai babak awal bagi perjuangan baru antara ’’demokrasi liberal (sekuler) dan teokrasi Iran’’. Mana yang akan dipilih rakyat Tunisia dan Mesir, juga mungkin Yaman, Jordania, Maroko, serta Aljazair: demokrasi atau teokrasi?

Barat terus berada di posisi defensif sebagai pendukung rezim-rezim korup serta otoriter yang sudah jatuh di Mesir dan Tunisia. Sementara itu, pada saat yang sama, Barat menghadapi jalan kasar dan terjal dalam membangun relasi di dunia Arab ke depan yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Mengingat, arah perubahan di dunia Arab masih tidak pasti: apakah menganut demokrasi sekuler atau justru teokrasi ala Iran pada masa dekat ini. 

Minggu, 13 Februari 2011

GAGASAN AL-QUR’AN TENTANG PLURALISME:


GAGASAN AL-QUR’AN TENTANG PLURALISME:
Merajut Kasih menggapai Toleransi Kehidupan Beragama

I. Pendahuluan
Memasuki abad 21, masyarakat telah mencapai kemegahan dunia material dan kecanggihan teknologi. Pemikiran berbagai persoalan muncul dan terus menggelinding seiring dengan dinamika masyarakat, termasuk pemikiran yang bersifat keagamaan. Salah satu  wacana yang laris dan mendapat respons adalah pemikiran tentang pluralisme, bahkan setiap waktu selalu mencuat ke permukaan lalu gencar diperbincangkan orang, baik itu melalui media tulisan, reportase, forum seminar, dialog interaktif secara formal maupun informal, tidak saja oleh para akademisi dan pakar semata, tetapi para politisi, negarawan maupun rohaniawan tak urung ketinggalan. Menurut hemat saya, pluralisme sebagai sebuah diskursus mungkin tidak ada persoalan, tetapi pada ranah empirik-sosiologis mungkin sekali masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, artinya teks yang bersifat interpretable itu masih membelenggu umat pemeluk masing-masing agama, sementara pada dataran konteks  berhadapan dengan ragam persoalan sosial-budaya, politik dan ekonomi. Salah satu gagasan besar pluralisme yang mendapat respon cukup besar adalah “Toleransi Hubungan antar Agama” di samping gagasan-gagasan lain yang tak kalah pentingnya.
Dalam kenyataannya, tidak seluruh masyarakat beragama kenal betul term pluralisme baik secara literal-etimologis maupun secara konseptual-terminologis. Di berbagai literatur terdapat ragam istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian pluralisme, misalnya, misalnya istilah “kemajemukan yang didasari oleh keunikan atau kekhasan” ,  “kemajemukan” , “keragaman” , “kebhinnekaan”,  lintas agama dan budaya” , dan istilah verbal lainnya yang tak terdokumentasikan. Dalam tulisan ini, akan dicoba ditelusuri teks-teks kitab suci Islam yang dipandang terkait – al-Qur’an dan al-Hadis – dengan

gagasan di atas, baik yang telah dikaji dan ditafsirkan secara tematis (maud}u>’i>) maupun bersifat analitis (tahli>li>) dengan berbagai pendekatan dan perspektif. Pembicaraan masalah toleransi, yang menjadi salah satu agenda penting pluralisme, berangkat dari sebuah realitas dalam masyarakat - secara mikro maupun makro – di mana terjadi benturan teologis agama-agama, yang pada gilirannya telah menimbulkan benturan kultural maupun teologis, karena masing-masing pemeluk agama berusaha memperluas eksklusivitasnya sendiri, dengan mengibarkan bendera identitas untuk membuktikan dirinya yang terkuat, paling kredibel, dalam kerangka mempertahankan eksistensinya. Hal ini secara cepat memicu timbulnya klaim-klaim kebenaran monolitik, yang secara lambat laun turut memicu munculnya pertikaian dan konflik di antara agama-agama, sehingga timbul perpecahan di antara pemeluk agama-agama itu sendiri, baik dalam skala kecil regional maupun besar, nasional bahkan internasional.

Sekalipun iklim pluralisme telah berhembus memenuhi horizon dunia, mendobrak benteng-benteng teologi, tampaknya paham ini belum sepenuhnya bisa diterima, baik di tingkat diskursus maupun realitas faktual oleh karena hambatan-hambatan tertentu. Pemersatuan antara yang ideal (das sein) dengan kenyataan-kenyataan sosial-religius (das sollen) di lapangan belum menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Keprihatinan inilah barangkali dapat menjadi daya dorong mendeskripsikan gagasan al-Qur’an tentang pluralisme dengan jalan menangkap landasan teologis, filosofis dan etisnya. Ada 4 tema pokok pandangan al-Qur’an tentang pluralisme, yaitu: 1) kebebasan beragama, 2) pengakuan atas eksistensi agama-agama, 3) kesatuan kenabian, dan 4) kesatuan pesan ketuhanan.
Tulisan kecil ini mencoba memberikan secercah kontribusi pemikiran keagamaan – pluralisme – dalam upaya memahami konsep al-Qur’an dengan merujuk literatur tafsir al-Qur’an dan karya-karya publikatif lainnya dengan melihat aspek eksternalitas, tanpa memasuki relung-relung internalitas kedalaman keberagamaan manusia. Diharapkan dapat menambah khazanah tulisan-tulisan yang telah ada, meski hanya sebatas pemekaran pemikiran.

Otentisitas Al-Qur’an


Otentisitas Al-Qur'an
Kembali ke masalah otentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan.

Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.

Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Qur'an adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin; to recite from memory).”

Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.

Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.

Al-Qur'an, Orientalisme

Belum lama ini aqidah Umat Islam diserang lagi. Kali ini sasarannya, (lagi-lagi) kitab suci Al-Qur'an. Tidak mengherankan, sebab di antara kitab-kitab suci, Al-Qur'an merupakan satu-satunya yang dengan tegas menyatakan dirinya bersih dari keraguan (laa rayba fiihi), dijamin keseluruhannya (wa innaa lahuu la-haafizhuun), dan tiada tandingannya. Lebih dari itu, Al-Qur'an ibarat kompas pedoman arah dan penunjuk jalan, laksana obor penerang dalam kegelapan.

Yang membuat kalangan non-Muslim (khususnya "orientalis-missionaris" Yahudi dan Kristen) geram sekaligus hasad (dengki) adalah fakta bahwa dalam soal yang satu ini pun--yakni tentang keaslian, kebenaran dan kemukjizatan Al-Qur'an sebagai Kalaamullah-seluruh Umat Islam sepakat dan sependapat dari dulu sampai sekarang, dari Maroko sampai Merauke. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, orang Yahudi dan Kristen memang tak akan pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi Umat Islam agar mengikuti langkah mereka.

Mereka ingin Umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan : menggugat, mempersoalkan ataupun mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sah dan benar.

Untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya "berkedok" sebagai pakar (scholars/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang 'jauh' (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang 'dekat' (Near Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).

Selasa, 08 Februari 2011

Cara Menulis Profil

Profil dan Cara Menulis Profil

Menulis profil seseorang dimaksudkan untuk mempublikasikan sisi yang istimewa atau pencapaian seseorang kepada publik. Seringkali tulisan mengenai profil seseorang akan membawa dampak sosial dan ekonomi yang nyata bagi orang yang bersangkutan. Seberapa jauh dampaknya pada orang yang bersangkutan biasanya tergantung pada daya jangkau media yang mempublikasikan orang yang bersangkutan.
Tujuan menulis profil yang positip adalah membantu membangun reputasi baik seseorang. Sebaliknya penulisan profil yang negatif mengenai seseorang akan berdampak sebaliknya yaitu terciptanya kesan buruk terhadap orang tersebut. Kita semua tahu bahwa ada perbedaan antara karakter dengan reputasi. Karakter adalah sifat seseorang yang biasanya berhubungan dengan bawaan sejak lahir (genetik) sedangkan reputasi adalah lebih banyak sebagai fungsi perbuatan seseorang dan publikasi. Idealnya memang karakter itu sejajar dengan reputasi. Tetapi dengan pengaruh industri media masa saat ini seringkali reputasi tidak selalu beriringan dengan karakter.
Profil adalah bentuk singkat dari biografi, jadi tulisan mengenai profil hanya mencakup sebagian kecil dari sisi kehidupan seseorang: misalnya ketika orang tersebut baru merebut suatu gelar, memenangi perlombaan, di wisuda sarja, magister, doktor atau mendapat penghargaan. Sedangkan biografi meliputi rentang kehidupan seseorang sejak lahir hingga saat biografi ditulis. Namun dalam tulisan profil sebaiknya disebutkan juga secara singkat usia, tempat lahir, nama orang tua dan nama saudara-saudara kandungnya dan tentu saja hal-hal istimewa yang ingin ditonjolkan dari diri orang tersebut.
Berikut ini adalah contoH bagaimana sebuah kerangka tulisan mengenai profil dapat dibuat:

Skripsi BAB III


BAB III

STRUKTUR DAN I’RAB SIFAT MAUSUF


A.    Pengartian Sifat dan Mausuf Sebagai Analisis Fungsi Bahasa Dalam Bahasa Arab
Sifat dan Mausuf meupakan persamaan dari Na’at dan Man’ut, dan untuk lebih memudahkan kajian, maka dalam Skripsi ini, pengkaji akan memakai Qaidah Sifat dan Mausuf. Namun untuk sampai kepada pengertian yang sebenarnya, ternyata jarang ada batasan yang sama antara ahli (Ulama’) Nahwu yang satu dengan Ulama’ Nahwu yang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut akan dikemukakan batasan-batasan pengertian Sifat dari berbagai ahli Nawu seperti di bawah ini :
Di dalam kitab Taswik Al-Khallan, dijelaskan menurut bahasa bahwa “Sifat adalah menSifati sesuatu dengan apa yang ada padanya, baik atau buruk“. (Ma’sum, : -:163).
Contoh :
ﺠﺎﺀﺰﻳﺪﺍﻠﻌﺎﻗﻞ
Sedangkan didalam Kitab Syarah Ibnu Aqil, Juzu’ At-Sani dijelaskan bahwa, ”Sifat adalah kata yang menyempurnakan kata sebelumnya dengan bentuknya sendiri atau dengan isim (kalimat yang berhubungan dengannya)“. (Abdullah, - :163 ).
Contoh :
ﻤﺭﺭﺖ ﺒﺭﺠﻞ ﻜﺭﻴﻡ
ﻤﺭﺭﺖ ﺒﺭﺠﻞ ﻜﺭﻴﻡﺍﺒﻮﻩ
Sementara di dalam Kitab Jami’uddurus dijelaskan bahwa, “Sifat adalah Kata Sifat yang disebut setelah Kata Benda (ﺍﺴﻢ) untuk menjelaskan sebagian keadaannya (ﺍﺴﻢ) atau keadaan apa yang berhubungan dengannya (ﺍﺴﻢ) “.  (Al-Galyani : 1987 : 221 ).
Contoh :
ﺟﺎﺀﺍﻟﺗﻟﻣﻳﺬﺍﻟﻣﺟﺗﻬﺪ
ﺟﺎﺀ ﺍﻠﺗﻟﻣﻳﺬ ﺍﻟﻣﺟﺗﻬﺪﺍﺧﻭﻩ
Berdasarkan batasan-batasan pengertian di atas maka, yang dimaksud dengan Sifat dalam kajian ini adalah Kata Sifat yang mengikuti yang disifatinya (Mausuf) untuk menjelaskan dan menyempurnakan sebagian keadaan Mausufnya, baik pada I’rab, Ma’rifat, Nakirah, maupun pada Mufrad, Jumlah dan Syibhul Jumlah.
Dan di dalam Kitab Jami’uddurus dijelaskan bahwa , ”Mausuf adalah isim yang menunjukkan atas zat sesuatu dan hakekatnya. Dan dia ditempatkan untuk dibebani atasnya Sifat “. (Al-Galyani, 1987 : 97).
Berdasarkan batasan pengertian di atas, yang dimaksud dengan mausuf dalam Skripsi ini adalah Isim yang menunjukkan atas zat sesuatu dan hakekatnya, dan diikuti oleh kalimat yang menunjukkan makna Sifat kepada isim tersebut baik pada I’rab, Ma’rifat, Nakirah, maupun pada Mufrad, jumah dan Sibhul Jumlah.

Skripsi BAB II


BAB II
HUBUNGAN SINTAKSIS BAHASA ARAB

Hubungan Sintaksis memiliki pertalian yang sangat erat dengan Bahasa Arab, karena dalam hubungan Sintaksis membicarakan mengenai pengetahuan tentang susunan kata dan kalimat. Jadi Bahasa Arab tidak akan bisa kita susun kata demi kata, sehingga menjadi kalimat yang dimengerti tanpa pengetahuan tentang susunan kata dan kalimat ( Sintaksis / ﻧﺣﻮ ).
Pada bab ini yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.       Klausa (ﺠﻤﻠﺔ ), meliputi :
a.       Pengertian Klausa
b.       Tipelogi Struktur Klausa
2.       Fra            sa (ﻋﺒﺎﺮﺓ ), meliputi :
a.       Pengertian Frasa
b.       Tipologi Struktur Frasa

Skripsi BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Sebagai manusia kita tidak akan pernah berhenti saling berinteraksi dengan manusia yang lainnya karena antara manusia yang satu dengan yang lainnya sangat saling membutuhkan dan sebagian cara berinteraksi manusia dengan manusia yang lainnya adalah dengan cara komunikasi antara sesama, baik itu dengan bahasa lisan atau bahasa tulisan. Sebagai media komunikasi berbagai Bahasa mengalami kemajuan sejalan dengan perkembangan budaya-masing-masing termasuk Bahasa Arab. Bahkan Bahasa Inggris dan Bahasa Arab sudah dijadikan Bahasa Internasional dan kedua bahasa ini dijadikan sebagai mata pelajaran yang penting di Lembaga Pendidikan yang berciri khas Agama Islam. Dalam mempelajari bahasa-bahasa tersebut para siswa tidak akan luput dari kesulitan-kesulitan, karena bahasa-bahasa tersebut sangat variatif dan mempunyai aturan-aturan yang sangat banyak terutama Bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki tingkat kemajuan yang sangat pesat, sehingga Bahasa Arab sangat potensial untuk dijadikan sebagai Bahasa Internasional, karena Bahasa Arab dijadikan sebagai  pelajaran yang sangat mendasar di lembaga-lembaga pendidikan terutama Lembaga Pendidikan yang bernaung di bawah Depertemen Agama.
Mempelajari Bahasa Arab, tidak akan pernah sempurna hanya dengan mempelajari Bahasa Arab itu sendiri, karena siswa akan menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, sehingga memperlambat siswa dalam memahami Bahasa Arab tersebut. Membicarakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para siswa dalam mempelajari Bahasa, terutama Bahasa Arab, maka kita akan membicarakan pelajaran-pelajaran yang sangat mendukung para siswa untuk lebih cepat memahami Bahasa Arab terutama pelajaran Nahwu, karena dengan pelajaran Nahwulah para siswa bisa berbahasa Arab dengan baik dan benar, bahkan dalam sebuah syair Bahasa Arab telah di sebutkan “ﻢﻬﻓﻴﻦﻠﻪﻧﻭﺩﻢﻼﻜﻠﺍﺬﺍ” (Muhammad, ibnu Aqil) yang artinya “Perkataan tanpa Ilmu Nahwu maka perkataan tersebut sulit dipahami”. Dengan demikian pelajaran Nahwu merupakan pelajaran dasar bagi para siswa untuk bisa berbahasa dengan baik dan benar. Tapi sering kita jumpai banyak para siswa yang mengeluh dengan pelajaran Nahwu, karena siswa  sering salah dalam menggunakan atau  menerapkan kaidah atau aturan  yang ada dalam pelajaran Nahwu tersebut. Terutama mengenai sifat dan mausuf (Na’at dan Man’ut) padahal Sifat dan Mausuf merupakan hubungan sintaksis frasiologis yang tidak mencapai makna klausa yang banyak digunakan dalam berbahasa, baik bahasa lisan atau tulisan. Kemudian dalam penerapan hubungan sintaksis sifat dan mausuf sering kali terjadi kesalahan di kalangan pengguna Bahasa Arab, baik di Madrasah, Pondok pesantren, dan di Perguruan Tinggi khususnya di kalangan Mahasiswa STAIN sendiri.
Dengan adanya fenomena seperti inilah yang menarik minat pengkaji untuk mengadakan kajian dengan judul “PRILAKU SIFAT DAN MAUSUF DALAM HUBUNGAN SINTAKSIS BAHASA ARAB “ .  

Senin, 07 Februari 2011

MAHASISWA MASIH BELUM PEDULI TERHADAP ORGANISASI

Mahasiswa tidak dapat dipungkiri merupakan garda terdepan bangsa dalam kemajuan bangsa. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sejarah bangsa-bangsa di dunia juga tidak pernah menisbikan peran para mahasiswa. Namun pada dewasa ini seringkali terjadi bentuk persepsi yang salah pada masyarakat awam ketika melihat bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan oleh mahasiswa, inipun terjadi seringkali karena kurang imbangnya pemberitaan yang dilakukan oleh media massa. Hal ini kemudian memberikan pandangan negatif terhadap orang tua yang memiliki anak yang akan masuk kuliah atau yang sedang kuliah. Seringkali mereka mewanti-wanti agar anaknya tidak ikut-ikutan organisasi di kampus yang nanti malah mengganggu kegiatan kuliahnya. Cerita-cerita seperti ini sering saya dengar dari pengakuan teman-teman yang dilarang oleh orang tuanya agar tidak ikut organisasi di kampus. Bahkan ada juga yang diancam orang tuanya tidak boleh mengikuti organisasi di kampus jika nilai akademis sang anak menurun. Pola pikir yang dimiliki orang tua tersebut memang sangat beralasan. Sebab mereka ingin melihat anaknya dapat lulus dengan nilai yang memuaskan selain itu, juga karena biaya pendidikan yang ada sekarang juga semakin mahal ditambah biaya hidup bagi mahasiswa yang indekos, sangat membebani bagi keluarga yang pendapatannya pas-pasan. Oleh karena itu dapat dimaklumi jika keinginan orang tua melarang anaknya untuk berorganisasi di kampus, supaya anaknya dapat segera lulus kuliah dan memperoleh masa depan yang lebih baik.

Minggu, 06 Februari 2011

J-A-N-G-A-N !



-Niesrina Nadhifah-
…Tuhan, apa sebegitu terlarangnya, kami para manusia mengetahui hal-hal
berbau seksual seperti yang aku ingin tahu ini… “Pokoknya, Mama nggak mau kamu sampai main pacar-pacaran! Kamu tuh, baru kelas dua SMU, masih bau minyak kayu putih sudah berani pacarpacaran. Anak macam apa kamu? Pokoknya kamu jangan pernah sekalikali punya keinginan, apalagi sampai benar-benar punya pacar. Pacaran itu
BERBAHAYA!“
“ Tapi Ma, umur Lydia kan sudah 16 tahun. Dua bulan lagi 17. Lydia sudah gede, Ma! Lydia sudah pantas punya pacar seperti teman-teman sebaya Lydia yang lain. Ayolah, Ma. Lydia janji bakalan cari pacar yang baik, kok. Lydia juga janji nggak akan aneh-aneh gaya pacarannya kok “ “ Stop, Lydia! Mama nggak mau dengar apapun lagi dari mulut kamu tentang masalah nggak penting ini. Besok pagi Mama akan berangkat ke Bangkok dan berada di sana sekitar satu bulan. Kamu jangan berani macammacam ya di rumah! Pak Roni sudah Mama tugaskan untuk mengawasi semua gerak-gerik kamu, mengikuti ke manapun kamu pergi, dan melaporkannya pada Mama secara rinci. Jadi, jangan harap kamu bisa bandel-bandel selama Mama tinggalin ya! Dan yang paling penting, jangan PACARAN! JANGAN!“
“ Tapi, Ma… “
“ Masuk kamar sekarang, Lydia!“

“ Jadi anak-anak, di usia kalian yang masih sangat belia ini, kalian amat sangat rentan dan mudah untuk terjerumus ke dalam hal-hal buruk yang bisa membahayakan tubuh dan jiwa kalian. Salah satunya yang paling dekat dengan kalian, yaitu berpacaran!
Ya, Bu Guru tahu, sebagai remaja yang sudah memasuki masa puber, kalian pasti sudah punya perasaan suka terhadap sesama kalian. Tetapi, Ibu ingatkan, jika kalian berani berpacaran di usia yang belum matang ini, risiko dan segala macam marabahaya lebih mudah mengintai di mana-mana! Kalian lihat di televisi dan internet ‘kan? Berapa banyak remaja-remaja seusia kalian yang terserang HIV-AIDS akibat seks bebas yang mereka lakukan? Kalian mau menderita seumur hidup akibat penyakit laknat yang tidak ada obatnya itu?!
Tentu tidak ‘kan. Oleh karenanya, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Konsentrasilah hanya pada pelajaran! Jangan coba-coba untuk pacaran, karena nyawa bisa jadi taruhan. Baiklah, kita lanjutkan pelajaran Biologinya. Buka halaman tiga puluh delapan!“

Sabtu, 05 Februari 2011

Teater


PENDAHULUAN

BEBERAPA PENGERTIAN
Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan.

ARTI DRAMA
Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, actiom (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axciting), dan ketegangan pada para pendengar.
Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action).
Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan  kehendak dengan action.
Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak.
Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience).

ARTI TEATER
Ada yang mengartikan sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai “panggung” (stage). Secara Etimologi (asal kata), Teater Adalah Gedung Pertunjukan (auditorium).
Dalam arti luas Teater adalah kisah hidup dah kehidupan manusia yang dipertunjukan di depan orang banyak. Misalnya Wayang Orang, Ludruk, Lenong, Reog, Sulapan.
Dalam arti sempit Teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dalam pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, gerak, percakapan dan laku, dengan atau tanpa dekor (layer); Didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik.

APA PERBEDAAN DRAMA DENGAN TEATER
Teater dan drama, memiliki arti yang sama, tapi berbeda uangkapannya.Teater berasal dari kata yunanikuno "theatron" yang secara harfiah berarti gedung/tempat pertunjukan. Dengan demikian maka kata teater selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Drama juga dari kata yunanai 'dran' yang berarti berbuat, berlaku atau beracting. Drama cenderung memiliki pengertian ke seni sastra. Didalam seni sastra, drama setaraf denagn jenis puisi, prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang manusia. Apalagi peristiwa atau cerita tentang manusia kemudian diangkat kesuatu pentas sebagai suatau bentuk pertunjukan maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulan teater tercipta karena adanya drama.


Diberdayakan oleh Blogger.
ADIFAH 2220 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute