-Niesrina Nadhifah-
…Tuhan, apa sebegitu terlarangnya, kami para manusia mengetahui hal-hal
berbau seksual seperti yang aku ingin tahu ini… “Pokoknya, Mama nggak mau kamu sampai main pacar-pacaran! Kamu tuh, baru kelas dua SMU, masih bau minyak kayu putih sudah berani pacarpacaran. Anak macam apa kamu? Pokoknya kamu jangan pernah sekalikali punya keinginan, apalagi sampai benar-benar punya pacar. Pacaran itu
BERBAHAYA!“
“ Tapi Ma, umur Lydia kan sudah 16 tahun. Dua bulan lagi 17. Lydia sudah gede, Ma! Lydia sudah pantas punya pacar seperti teman-teman sebaya Lydia yang lain. Ayolah, Ma. Lydia janji bakalan cari pacar yang baik, kok. Lydia juga janji nggak akan aneh-aneh gaya pacarannya kok “ “ Stop, Lydia! Mama nggak mau dengar apapun lagi dari mulut kamu tentang masalah nggak penting ini. Besok pagi Mama akan berangkat ke Bangkok dan berada di sana sekitar satu bulan. Kamu jangan berani macammacam ya di rumah! Pak Roni sudah Mama tugaskan untuk mengawasi semua gerak-gerik kamu, mengikuti ke manapun kamu pergi, dan melaporkannya pada Mama secara rinci. Jadi, jangan harap kamu bisa bandel-bandel selama Mama tinggalin ya! Dan yang paling penting, jangan PACARAN! JANGAN!“
“ Tapi, Ma… “
“ Masuk kamar sekarang, Lydia!“
“ Jadi anak-anak, di usia kalian yang masih sangat belia ini, kalian amat sangat rentan dan mudah untuk terjerumus ke dalam hal-hal buruk yang bisa membahayakan tubuh dan jiwa kalian. Salah satunya yang paling dekat dengan kalian, yaitu berpacaran!
Ya, Bu Guru tahu, sebagai remaja yang sudah memasuki masa puber, kalian pasti sudah punya perasaan suka terhadap sesama kalian. Tetapi, Ibu ingatkan, jika kalian berani berpacaran di usia yang belum matang ini, risiko dan segala macam marabahaya lebih mudah mengintai di mana-mana! Kalian lihat di televisi dan internet ‘kan? Berapa banyak remaja-remaja seusia kalian yang terserang HIV-AIDS akibat seks bebas yang mereka lakukan? Kalian mau menderita seumur hidup akibat penyakit laknat yang tidak ada obatnya itu?!
Tentu tidak ‘kan. Oleh karenanya, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Konsentrasilah hanya pada pelajaran! Jangan coba-coba untuk pacaran, karena nyawa bisa jadi taruhan. Baiklah, kita lanjutkan pelajaran Biologinya. Buka halaman tiga puluh delapan!“
Muak juga lama-lama menjalani hidup seperti burung dalam sangkar emas begini!
Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Ke sana jangan, ke sini jangan. Padahal, katanya di Undang-Undang Negara ada yang namanya hak asasi manusia. Salah satunya adalah mendapatkan hak untuk bebas berpendapat. Tapi mana?! Nggak di sekolah, nggak di rumah, mereka cuma bisa bilang, “ Jangan! Jangan pacaran nanti hamil! Jangan pacaran nanti kena AIDS! Jangan keluar malam, nanti diperkosa preman! Jangan pake rok mini, nanti mengundang nafsu orang lain! Jangan, jangan, jangan, jangaaaaaaaan terus!”
Kita ‘kan, seharusnya punya hak untuk memperoleh informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Yaa… paling tidak itu yang aku baca di buku-buku. Lalu, apakah kata “Jangan“, “Tidak Boleh“, dan “Berbahaya“ sudah cukup memberikan kita pengetahuan?! Aku rasa tidak!
Kalau begini terus, kapan kita bisa tahu bagaimana cara berpacaran yang sehat? Bagaimana kita bisa paham cara-cara mencegah HIV-AIDS dengan tepat? Bagaimana kita bisa menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan? Bagaimana kita bisa menjadi orang “pintar“ yang paham, dari A sampai Z mengenai persoalan tubuh kita sendiri? Masa yang kita bisa lakukan adalah, tidak melakukan apa yang sudah dilarang saja?!
“Fan, besok kita ke puskesmas yang di sebelah minimarket itu, yuk!“
“Memang kamu sakit apa, Lydia?“
“Aku nggak sakit, Fan… Puskesmas itu ’kan Pusat Kesehatan Masyarakat, berarti yang boleh ke sana itu bukan cuma yang sakit aja. Yang nggak sakit juga bisa, hmm misalnya… kalau mau mendapatkan informasi kesehatan.“
“Lho? Memang kamu butuh informasi kesehatan apa lagi? Bukannya semua sudah ada di buku?“
“Informasi soal kesehatan reproduksi dan seksual. Cara menjaganya agar tetap sehat. Terus… aku juga mau tanya-tanya soal penyakit HIV&AIDS. Mau memastikan aja, apa iya kalau berenang di kolam renang yang sama dengan
penderita HIV&AIDS itu bisa nular. Apa iya kalau memakai alat makanminum yang sama dengan ODHA itu bisa nular, terus… apa iya kalau pelukan dengan penderita AIDS kita juga bisa ikut ketularan. Pokoknya aku mau tanya
soal semua mitos-mitos itu deh, Fan!“
“Apa?! Aduh Lydiaa… itu namanya sama aja nyari mati. Ngapain coba kamu tiba-tiba jadi mau tahu soal begituan?! Yang ada, begitu kamu nanya sama petugas di Puskesmas, kamu langsung dikira yang nggak-nggak deh…Pasti, kamu langsung dicap sebagai remaja bandel yang abis ngapa-ngapain deh! Hmm… apa jangan-jangan, kamu memang abis melakukan hal yang nggak nggak ya?!“
“Iho, kok kamu ngomongnya gitu sih? Justru… Supaya kita nggak terjerumus ke dalam hal-hal yang nggak-nggak itu tadi, kita harus tahu dulu segala sesuatunya. Jangan main percaya aja sama semua mitos yang beredar.
‘Kan belum tentu benar semua… Gimana? Kamu mau kan nemenin aku besok ke Puskesmas? Hitung-hitung nuntut ilmulah, Fan… “
“Hahahahaha, makasih banyak ya, Lydia Sisterina, temanku yang aneh.Biar kamu ngomong sampai mulut berubusa pun, aku nggak mau nemenin kamu ke sana, apalagi buat nanya soal hal-hal begituan! Nanti yang ada, aku malah ikut-ikutan disangka yang aneh-aneh lagi… Kamu cari teman lain aja ya! Itu puun… kalau ada yang mau nemenin kamu! Hahahahaha“
***
“Jadi, begini suster, saya datang kesini bukan karena sakit kok. Saya Cuma mau tanya-tanya soal kesehatan… Jadi nggak perlu bertemu dokter. Suster saja pasti bisa kok menjawab pertanyaan saya“
“Oh iya, silahkan… Mau tanya apa ‘dik?“
“Apa sih gunanya kondom, Sus? Seberapa ampuhnya benda itu dalam mencegah penularan virus HIV?“
“APA?! Kamu anak bau kencur berani bertanya-tanya soal kondom?! Nah, saya tahu. Pasti kamu abis melakukan hubungan intim dengan sembarangan laki-laki ‘kan? Aduh, adik keciiiiil… Mau jadi apa kamu ini? Kasihanlah sedikit sama orangtua kamu, yang sudah susah payah banting tulang mencari nafkah untuk kamu. Menyekolahkan kamu di sekolah mahal yang bagus, supaya kamu nanti bisa jadi dokter. Bisa jadi presiden. Bisa jadi insinyur atau ilmuwan. Eh, ini malah kamu datang ke puskesmas untuk konsultasi masalah berbau seks seperti itu! Mau jadi apa kamu, kalau sudah lulus sekolah nanti? Penjaja Seks Komersial?! Jangan coba-coba deh ‘dik. Seks itu berbahaya. Apalagi kamu itu masih kecil… Nanti kalau hamil gimana? Kalau laki-laki yang menghamili kamu nggak mau bertanggung jawab, gimana? Beban hidup kamu jadi berat, ‘dik… Jangan ya!“
Lalu, apa gunanya hidup ini? Jika semua orang hanya bisa berkata jangan dan menutup semua jalanku yang hanya ingin tahu.
Tuhan, apa sebegitu terlarangnya, kami para manusia mengetahui hal-hal berbau seksual seperti yang aku ingin tahu ini? Apakah sebegitu haramnya, maka kita dilarang sekali untuk tahu serba-serbi soal alat seksual dan reproduksi kita sendiri? Apa sehina itukah? Orang-orang penasaran seperti aku yang hanya sedang berusaha belajar, yang hanya sedang berjuang memperoleh hakku untuk mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan?
Tuhan, jika aku berdiri di sebelah-Mu nanti. Apakah Kau akan memarahmarahi aku juga ketika aku bertanya soal hubungan pacaran? Apakah Kau akan menutup telinga juga, seperti teman-temanku yang tak mau mendengar ocehanku perihal hak-hak seksual remaja? Apakah Kau juga akan menutup segala informasi seperti yang mama, guru, teman, dan pemerintah lakukan terhadap remaja?
Aku harap tidak, ya Tuhan…
Aku harap di surga nanti, aku tak perlu lagi mendengar kata “jangan“ yang selama di dunia selalu diucapkan dengan suara lantang, mata melotot, dan muka merah padam sambil mengacungkan jari telunjuk. Aku harap di surga nanti, hak-hakku sebagai makhluk ciptaan-Mu bisa terpenuhi. Semoga Kau bisa menjawab semua pertanyaanku yang tidak bisa dijawab oleh para manusia di dunia.
Cerita Aisyah
-Denty Piawai Nastitie-
...Tak perlu lagi kuratapi apa yang pernah terjadi padaku: kebodohan karenaperbincangan seksualitas masih dianggap tabu oleh keluargaku, sekolah, dan lingkungan, kebijakan pendidikan yang sama sekali tak berpihak padaku, siswi yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan...
“Adakah penyesalan yang tak bermakna negatif? Jika ada, maka rasa itu yang kini kunikmati.”
Sore menjelang dengan warna langit yang selalu terlukis dengan perpaduan warna merah dan jingga, dihiasi dengan bingkai mentari keemasan. Aku mengayuh sepeda lusuhku, meniti rambu-rambu sawah. Oh, sungguh, saat itu aku merasa bagaikan sedang menari ringan dalam langkah-langkah riang.
Senyum sumringah tak sengaja turut bermekaran menandakan suasana hati yang begitu bersuka. Ingin rasanya segera sampai dan memandang langit-langit kamar yang merupakan satu-satunya ruang pribadi yang kumiliki. Di sana, akan kutemukan keindahan yang membuat sore ini begitu berbeda.
Ceplasssshhh.
“Awwwww… !” Aku menjerit sambil mengusap-ngusap kepalaku. “Sialan, siapa nih ngelempar batu!” umpatku dalam hati.
“Hehehehe…” Ada suara cengengesan dari balik jendela.
“Putroooo!!” Spontan aku berlari ke luar kamar mengejar adikku yang langsung lompat ke arah kubangan lumpur di samping rumah. “Sini kamuuuuu!!!!” jeritku dalam bahasa Jawa Ngoko sambil mengambil batu, kayu, ranting pohon, atau apa saja yang bisa digunakan untuk membalasnya.
“Berani ya kamuuuuu!” Aku masih belum puas membalas dendam. Sore sudah hampir beranjak pergi dan Putro mulai bermandi lumpur.
“Hahahhahaha.” Awalnya, aku memang kesal gara-gara sebongkah batu hasil kejahilannya yang mampir di kepalaku. Tetapi, begitu melihat wajahnya clemongan terkena lumpur, aku jadi geli dan menertawakan penampilannya.
Ibu dan bapak sedang memandangi kami dari beranda rumah. Mereka tersenyum. Masa kanak yang ceria, begitu pasti pikirnya sebelum mereka purapura memarahi kami karena sudah hampir maghrib, kami belum juga mandi dan berganti baju. Dalam kesederhanaan keluarga kami, aku memiliki masa tumbuh kembang yang ceria dan bahagia ala anak desa.
“Mbak, maaf yo… Loro yo? Sakit yo? Hihihi…” sergah Putro sedikit berbisik.
Kami baru saja selesai makan malam: nasi, tahu, tempe, dan sambal terasi. Ibu sedang menganyam tikar dari daun pandan di beranda depan, suatu aktivitas selingan yang dilakukan untuk membantu perekonomian keluarga. Di sebelahnya, Bapak sedang tidur-tiduran sambil sesekali menembang lagu Jawa.
Jangkrik dan tokek menjadi latar suara yang menemani kami setiap malam. Aku mengangguk, lalu mengelus kepala Putro, “Ndak papa.”
Putro tersenyum. Kami kembali mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan penerangan lampu minyak seadanya.
Belum puas, Putro kembali berbisik kepadaku, “Koe kenapa toh Mbak, tadi sore tiduran di kamar sambil senyam-senyum sendiri. Koyo wong edan!”
Putro kembali ngekek. Aku sedikit cemberut diejek seperti orang gila.
“Katresnan yooo…” kata Putro selanjutnya disusul dengan tawa kerasnya.
Aku memasang wajah penuh rahasia, “Mau tauuuu ajaaahhhh…”
Sejak malam itu, sejak aku mengenal kata katresnan alias jatuh cinta, hatiku semakin berbunga-bunga. Puluhan kilometer yang kutempuh untuk bisa sampai di sekolah tak pernah lagi terasa berat. Semua begitu ringan, begitu riang, dan begitu santai.
Cemooh teman-teman yang suka menghina keberadaanku pun tak pernah lagi terasa pahit. Semua sudah jelas: aku ingin menuntut ilmu setinggitingginya, sekalipun aku hanyalah anak desa dengan tubuh penuh peluh. Puluhan kilometer yang kutempuh dengan bersepeda demi mimpi mengangkat harkat martabat keluarga kini terasa semakin pasti. Belum lagi, oh… la… la…senyum si dia—kakak kelasku itu—berhasil menjadi amunisi penyemangatku di pagi hari.
Namanya Pras, dan dia menjadi cinta pertamaku. Cinta yang membuat penyesalan tak lagi bermakna negatif karena aku yakin, hidup memang harus berjalan terus dan keterpurukan hanyalah bobot yang akan membawa kita pada penyesalan selanjutnya yang semakin berkepanjangan.
Seperti biasa, siang itu aku duduk di bawah pohon jambu. Membuka buku pelajaran sambil membayangkan wajah Pras. Aku memang memiliki kebiasaan membaca buku agar ilmu tak menguap terbakar hari, membayangkan Pras, sambil menunggu siang tak terlalu terik untuk kembali menempuh puluhan kilometer pulang ke rumah.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Sekolah sudah sepi. Pak Mun, petugas kebersihan membakar sampah daun kering. Tak lama, dia akan hilang di balik tembok ujung kelas. Api dari daun kering akan mati dengan sendirinya begitu abu-abu putih mulai berterbangan. Setelah ini, lagi-lagi seperti biasa, suara angin akan berbaur dengan dengkuran Pak Mun berperut buncit yang terlelap di tumpukan kardus gudang belakang sekolah.
Aku sedang membuka lembaran LKS IPS ketika seseorang menyapaku sambil memegang pundakku dari belakang, “Aisyah...”
Aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba dadaku menjadi sesak. Dugdug…Dugdug… Aku bahkan tak mampu merasakan detak jantungku yang terpompa semakin cepat. Juga, telapak tanganku yang tiba-tiba berkeringat.
“Aisyah,” Sekali lagi namaku disebut. Oh Gusti, tak pernah sekalipun aku membayangkan dia akan berada di dekatku sambil memanggil namaku lembut.
Dia tersenyum. Kakak kelas berwajah tirus kecoklatan itu tersenyum. “Kok belum pulang?” tanya Pras.
Kujawab dengan gelengan, lalu anggukan, lalu gelengan kepala lagi.
“Hmm… iya… ini…Hmm… nunggu sebentar lagi biar enggak terlalu terik,” Aku menjawab tergagap.
Pras melirik ke sepeda lusuh yang kusandarkan di dekat pohon jambu, “Rumahmu jauh ya?” tanyanya dengan mimik “… ya ampun… dia tampansekaliii…”
“Iya… rumahku jauh… dua puluh sembilan kilometer,” jawabku masih tergagap-gagap. Tidak biasanya aku menjadi begini.
Pras menyentuhkan jemarinya di wajahku. “Kasihan… Cantik-cantik selalu naik sepeda. Sampai keringetan begini…” Pras menghapus peluh yang mengalir di pipiku, seakan peluh itu benar-benar ada di sana.
Ah sial, aku menjadi tidak konsentrasi akibat getaran dahsyat di tubuhku ini.
“Aisyah…” katanya lagi. Gusti, dari mana dia tahu namaku?
“Daripada menunggu di sini, lebih baik aku temani kamu di kelas. Kamu bisa melanjutkan baca-baca LKS-nya di kelas,” kata Pras sambil menghentikan tanganku yang dari tadi sibuk membolak-balik lembar LKS karena gugup.
Aku menggeleng, tapi terlambat karena Pras sudah menarik tanganku masuk ke salah satu kelas yang pintunya kebetulan setengah terbuka. Aku duduk dengan dada yang masih berdegup kencang. Pras menarik kursi sedekat mungkin dengan tubuhku.
Dag...dig...dug… Dadaku masih bergetar.
“Mas Pras…”, kataku meronta ketika Pras membuka kancing paling atas kemeja sekolahku.
“Psssttt… Ini supaya kamu tidak gerah kepanasan… tidak apa terbuka sedikit…”
Sedikit demi sedikit itulah yang akhirnya membuatku semakin pasrah dengan gerakan tangannya menyusuri tiap senti tubuhku. Saat itu, aku hanyalah Aisyah yang lugu dari desa. Mimpiku bisa berpendidikan tinggi dan bekerja kantoran memang setinggi langit. Aku bersyukur memiliki ayah dan ibu pekerja keras. Bakat ulet, nrimo ing pandum, itulah yang menetas ke dalam tubuhku. Puluhan kilometer kutempuh demi beasiswa di sekolah menengah atas yang terletak di tengah kota kelahiranku yang jauh dari rumahku di tengah sawah. Tak pernah sekalipun aku mengeluh, biarpun cemooh dan pandangan menyepelekan dari teman-teman yang kebanyakan bersepeda motor menghujaniku.
Saat itu, aku hanyalah Aisyah yang lugu dari desa. Setiap pagi dadaku berdetak ketika melihat Pras memasuki gerbang sekolah. Lelah dan keringat hasil kayuhanku pada pagi terbayar begitu Pras melintas. Aku pun akan senyumsenyum sendiri sepanjang hari, membayangkan bentuk wajah, dan tubuhnya yang seakan tak pernah pergi dari benakku.
Saat itu, aku hanyalah Aisyah yang lugu dari desa. Membicarakan Pras adalah hal tabu bagiku, setabu ketika aku memberitahu Ibu tentang darah pertama yang keluar dari bibir vaginaku. Darah yang keluar setiap bulannya ini, kelak yang kuketahui dengan nama menstruasi, sebuah siklus kesuburan perempuan. Sayangnya, saat itu aku hanya tahu bahwa aku telah dewasa, ditandai dengan munculnya darah itu untuk pertama kalinya.
“Nduk, mulai sekarang koe hati-hati yo karo cah lanang. Jangan terlalu dekat dengan lelaki.” Hanya itu pesan Ibu, yang kuartikan tak boleh terlalu menyukai lelaki, terutama Pras. Membayangkannya saja sudah salah, apalagi memilikinya.
Gerakan Pras semakin cepat dan tubuhku berkeringat. Aku hanyalah Aisyah yang lugu dari desa. Saat itu, aku tak mengetahui akibat dari persetubuhan antara lelaki dan perempuan ini. Aku tahu organ-organ tubuh pria dan wanita, namun itu hanya sebatas gambar pada LKS IPA yang akan buru-buru kubalik halamannya, entah karena perasaan apa yang tiba-tiba muncul. Entahlah, guruguru di sekolahku pun akan mengajari materi itu dengan wajah penuh rahasia.
Mereka biasanya menjelaskan organ-organ seksual dan reproduksi tanpa ada kesempatan tanya-jawab. Pemberian materi ini akan dibalas pandangan malumalu seluruh isi kelas, termasuk aku. Saat itu aku hanyalah Aisyah yang lugu dari desa.
Hari semakin panas. Kurasakan tubuhku semakin basah karena keringat. Nafas Pras terengah-engah di dekat wajahku. Gusti… , kataku menyebut nama Tuhanku dengan linangan air mata. Ada penyesalan di sana, ada rasa sakit yang teramat-sangat juga. Saat itu aku merasa ada getaran dosa yang pada diri ini, seusai menyelesaikan hubungan
intim bersama Pras.
Aku buru-buru memakai baju sekolahku ketika Pak Mun muncul di depan pintu kelas, “Aisyah! Prassssssss!”
Melihat Pak Mun berdiri di sana sambil berkacak pinggang, saat itu pula aku baru tersadar bahwa hidupku akan tamat setelah kejadian ini. Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak keruan.
Sekarang, aku menjadi seorang pemurung dan tidak lagi bersemangat sekolah. Melihat Pras di pagi hari justru membawa aura asing di mataku. Bisikbisik teman sekelas pun semakin parah. Sepertinya mereka semua sudah tahu kejadian yang menimpaku tempo hari. Aku dan Pras, kami tetaplah sepasang asing yang hampir tak pernah bersinggungan. Pras seolah-olah telah melupakan apa yang dilakukannya bersamaku tempo hari. Gusti… Tiba-tiba aku menjadi sangat kuatir pada tubuh ini karena aku terlambat datang bulan. Beberapa minggu kemudian sejak kejadian waktu itu, ibuku dipanggil secara khusus datang ke kantor kepala sekolah untuk pertama kalinya. Di sana, juga ternyata ada Pras dan ibunya.
Dengan wajah angkuhnya, kepala sekolah berhasil membuatku tak lagi respek pada pendidikan yang selama ini menjadi mimpiku. Kepala sekolah berbicara padaku seolah-olah aku bukanlah murid nomor satunya lagi, yang selalu juara kelas, yang selalu memenangi kompetisi sekolah.
Dia membenciku tanpa melihat pengabdianku yang besar kepada sekolah ini. Ibu menutupi air mata yang hampir menetes dengan ujung jarinya sambil memandangku dengan tatapan penuh rasa kasih. Aku menunduk malu. Auraku kelabu seperti abu pada rok yang basah karena air mataku.
“Kalian berdua, dikeluarkan!” Kepala sekolah menunding wajahku dan Pras yang sedari tadi menunduk lesu.
Oh Gusti … Aku terus saja menangis. Dikeluarkan dari sekolah berarti aku telah memupuskan harapan orangtua yang ingin melihatku sukses dan berpendidikan tinggi.
Ibu menarik nafas. Dia tahu mimpiku. Dia tahu cita-citaku.
“Pak, biarkan Aisyah melanjutkan pendidikannya.” Kudengar Ibu berbicara dengan suara tegar, sekuat keteguhan hatinya. “Setidaknya setelah dia melahirkan bayinya…”
Kepala sekolah menghentak meja kerjanya. “Memalukan! Anak ibu sungguh telah mempermalukan nama baik sekolah ini. Berani-beraninya masih minta masuk sekolah?!”
Ibu langsung tergagap diam.
“Bagaimana dengan Pras?” Ibu Pras yang berambut kemerahan bertanya sambil melipat-lipat sapu tangannya. Pak Kepala sekolah memandangnya sekilas, “Anak yang dikandung Aisyah belum tentu benih dari anak saya.”
Oh Gusti… cobaan apa lagi ini…Kata-kata Ibu Pras semakin membuat luka dan perih di hatiku.
Pras tetap menunduk. Asu! umpatku dalam hati. Ketika kemarin dia membuka kancing-kancing bajuku, Pras terlihat begitu berani dengan nafas memburu. Tapi sekarang, lihatlah wajah pengecut dan tak tahu malunya. Pras yang selama ini kuidolakan berubah menjadi manusia yang paling kubenci.
Surat keputusan pemberhentian beasiswaku keluar tak lama setelah persidangan di ruang kepala sekolah waktu itu berakhir. Aku menangis, terus saja menangis. Bersama Ibu, kami pulang ke desa. Hingga sekarang, saat anak yang kukandung telah lahir, aku masih suka meneteskan air mata. Air mata perempuan, air mata kehidupan.
Kami sudah sampai rumah. Di beranda ada Bapak dan Putro yang duduk berdua sambil menunggu. Kepulangan kami menjadi detik-detik mengharukan bagiku. Bapak memelukku dan mengelus perutku, “Kita lahirkan dan besarkan dia,” katanya seolah memohon maaf karena telah menamparku beberapa kali saat tahu aku hamil di usia beliaku. Aku mengangguk berusaha setegar Ibu. Aku ingin anakku lahir dan berjumpa dengan bapaknya suatu hari nanti, meski hal itu akan meninggalkan rasa pahit dalam hatiku.
Putro, adikku yang jahil itu memelukku. Sejak saat itu, Putro berubah menjadi sosok adik yang begitu dewasa. “Mbak, sebentar lagi aku punya kanca yo? Teman main…” Aku menangguk dengan linangan air mata
***
Sasti—diambil dari kata Prasasti, nama lengkap ayahnya—telah berumur lima tahun. Anakku ini cantik dengan warna kulit terbakar matahari seperti milik ayahnya. Aku bertekad membesarkannya dengan aura ketegaran seorang ibu, seperti ibuku. Tak perlu lagi kuratapi apa yang pernah terjadi padaku: kebodohan karena perbincangan seksualitas masih dianggap tabu oleh keluargaku, sekolah, dan lingkungan, kebijakan pendidikan yang sama sekali tak berpihak padaku, siswi yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dan yang paling parah adalah kesewenang-wenangan Pras dalam memperlakukanku.
Dia pernah menjumpaiku sekali, ketika kandunganku telah berumur lima bulan. Dia membelai perutku, saat itu aku seperti memiliki harapan luar biasa besar padanya. Namun, apa yang dia katakan justru makin menamparku untuk kesekian kalinya.
“Ini bantuan untukmu. Besok aku ke Jakarta untuk kuliah.” katanya sambil menyodorkan amplop coklat berisi lembaran uang seratus ribu. Sejenak aku menarik napas.
“Aku tidak butuh bantuanmu! Aku hanya perlu pengakuanmu!” kataku sambil mengembalikan uang itu. Sekarang Sasti sudah berumur lima tahun. Aku merawatnya dengan bantuan kasih sayang dari orangtua dan adikku. Lengkaplah cinta kasih yangdimilikinya seperti cinta kasih yang kudapat ketika masih kecil dulu. Aku pun melanjutkan pendidikanku. Kali ini di bidang kebidanan. Aku ingin menjadi bidan yang baik, membantu persalinan ibu melahirkan, dan memberikan pernyuluhan kepada perempuan muda sebayaku agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Kesalahan yang akan membawa kita pada penyesalan seumur hidup.
0 komentar:
Posting Komentar