Otentisitas Al-Qur'an
Kembali ke masalah otentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan.
Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.
Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Qur'an adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin; to recite from memory).”
Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.
Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.
Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.
Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur'an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka lantas mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
Syamsuddin Arief, PhD, lulusan ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, peneliti INSISTS, dan tengah mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya. Tulisan ini diambil dari Jurnal Kajian Pemikiran Islam AL-INSAN Vol. 1 Tahun I, Jakarta
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg (bag.2)
Kalangan orientalis sering mengutak-atik Al-Qur'an. improvisasi liar seperti yang direka-reka oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Para orieentalis juga sering menyamakan Al-Qur'an dengan Bibel. Diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, dalam "Neue Wege der Koranforschung" (Saarbruecken: Universitaet des Saarlandes, 1999) mengatakan;
"Ein Blick darauf, wie in den vierzig Jahren bis zur Entstehung des Markusevangeliums Predigt und Leben Jesu kerygmatisch umgeformt und durch Gemeindetradition angereichnet wurden, so dass der historische Jesus kaum noch zu erkennen ist, mag zeigen, wie auch die Mohammedueberlieferung variiert worden sein koennte." (Bercermin dari [sejarah Kristen], di mana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Yesus sejarah [yang sesungguhnya] nyaris mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam pun [yakni Al-Qur'an dan Hadits] melalui proses serupa).
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur'an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan.
Hingga wafatnya Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa-sallam, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.
Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela-sela ayat yang mereka tulis.
Baru kemudian, menyusul susutnya jumlah penghafal Al-Qur'an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khaliifah Abuu Bakr as-Siddiiq r.a hingga Al-Qur'an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam.
Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khaliifah Utsman r.a.
Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'aat yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan.
Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qiraa'aat mutawaatirah yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam.
Jadi sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.
Para orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Qur'an biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M.
Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, "That he [i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful." Ia juga mengklaim bahwa "…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text."
Di sini kelihatan Jeffery tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur'an tidak sama dengan Bibel; Al-Qur'an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya : manuskrip lahir dari Al-Qur'an.
Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat{ mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur'an ditulis 'gundul', tanpa tanda-baca sedikitpun.
Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmaani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur'an langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Jadi orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings-sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel-serta keliru menyamakan qira'aat dengan 'readings', padahal qira'aat adalah 'recitation from memory' dan bukan 'reading the text'.
Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam ("ar-rasmu taab'iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya.
Orientalis juga salah-faham mengenai rasm Al-Qur'an. Dalam bayangan keliru mereka, munculnya bermacam-macam qira'aat disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca "sesuka-hatinya".
Padahal ragam qira'aat telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur'an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung perbagai qira'aat yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut :
1. "m-l-k" (QS. 1:4) demi mengakomodasi qira'at 'Aasim, al-Kisa'i, Ya'qub dan Khalaf ("maaliki"-panjang), sekaligus qira'ast Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir ("maliki"---pendek).
2- "y-kh-d-'-w-n" (QS. 2:9) sehingga memungkinkan dibaca "yukhaadi'uuna" (berdasarkan qira'at Nafi', Ibnu Katsir dan Abu 'Amr) dan "yakhda'uuna" (mengikut qira'at 'Ashim, al-Kisa'i, Ibnu 'Amir dan Abu Ja'far)
3. "w-'-d-n-' " (QS. 2:51) ditulis demikian untuk menampung qira'at Abu 'Amr, Abu Ja'far, Ya'qub ("wa'adnaa"--pendek, tanpa alif setelah waw) dan qira'aat Ibnu Katsir, 'As{im, Al-Kisaa'i serta Ibnu 'Amir ("waa'adnaa"-waw panjang, dengan alif).
Mungkin ada yang bertanya : Apakah semua qira'aat yang ada telah tertampung oleh rasm Uthmani? Adakah qira'aat mutawaatirah yang tidak terwakili oleh rasm Utsmaani?
Apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah Uthman r.a ke berbagai kota (Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira'at yang dominan di kota tersebut?
Perlu ditegaskan bahwa pada prinsipnya, tidak ada qira'aat mutawaatir yang tidak terwakili, semuanya telah ditampung oleh rasm Utsmaani, sebab para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira'aat yaitu : (1) Diriwayatkan secara mutawaatir, (2) Sesuai dengan rasm mushaf Utsmaani atau-lebih tepatnya-sesuai dengan salah satu dari 6 masaahif rasm Utsmaani (yakni yang dikirim ke Mekkah, Basrah, Kuufah, Damaskus, Madiinah, dan yang disimpan oleh Khaliifah Utsmaan r.a sendiri). (3) Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
Di sini, yang dimaksud dengan syarat "sesuai dengan salah satu masaahif rasm Utsmaani" adalah "sesuai dengan qira'aat yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun tidak pada yang lain" (Contohnya, QS 26:217).
Dalam mushaf yang dikirim ke Madiinah dan Syaam (Damaskus) tertulis "fa-tawakkal" (dengan fa'-sesuai dengan qira'aat yang diriwayatkan oleh Naafi', Ibnu 'Amir, Abuu Ja'far), sementara dalam mushaf yang lain (Mekkah, Basrah, Kuufah) tertulis "wa-tawakkal" (dengan waw--mengikut qira'aat 'Aashim, Ibnu Kathiir, Abuu 'Amru, dan al-Kisaa'i).
Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya dengan orthografi mushaf ini, secara umum qira'aat yang diterima karena telah memenuhi tiga syarat di atas dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Dua qira'at yang berbeda, tapi ditulis dengan salah satunya, seperti "s-r-t" (siraat), "y-b-s{-t{" (yabsutu), "m-s-y-t-r" (musaythir). Semuanya ditulis dengan shaad, padahal aslinya siin, maka dibaca dengan shaad sesuai rasm, dan juga dibaca dengan siin sesuai asal katanya.
2. Dua qira'aat atau lebih yang berbeda, tapi ditulis dengan satu bentuk rasm yang bisa menampung semuanya, seperti rasm "k-b/t-r" yang mewakili dua qira'aat "Qul fii-hima ithmun kabiir/kathiir" (QS. 2:219), sebab dalam rasm Utsmaani semuanya ditulis tanpa titik, baris atau harakat. Contoh lainnya dalam QS. Al-Hujuraat ayat 6 : rasm "f-t-b/th-y/b-n/t-w-" dapat menampung dua qiraat sekaligus : "fa-tabayyanuu" dan "fa-tathabbatuu."
3. Kata atau kalimat dalam qira'aat yang mengandung tambahan atau pengurangan dan tidak mungkin ditulis dua kali atau lebih karena akan tercampur dan dapat mengacaukan. Misalnya (QS. 26 : 217) tersebut di atas. Contoh lainnya dalam QS. 2 : 132, di mana terdapat dua qira'aat : "wa wassaabihi" dan "wa awshaa." Yang pertama dibaca oleh selain Nafi', Ibnu 'Amir dan Abu Ja'far, sehingga dalam mushaf yang dikirim ke Syaam dan Madiinah tertulis : "wa awshaa," sementara dalam mushaf yang dikirim ke Kuufah dan Bashrah ditulis tanpa alif, "wa washshaa".
Yang masuk kategori ketiga cukup banyak. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Sha'baan Muhammad Ismaaiil dari Universitas al-Azhar, jumlah qira'aat yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mushaf Utsmaan, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata. Dari sini jelas, masahif yang dikirim oleh Khaliifah Utsmaan r.a ke berbagai kota itu beragam rasmnya, sesuai dengan bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks.
Dan memang, qira'aat Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama. Boleh saja seorang Imaam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain.
Contohnya, Imam Hafs di Kuufah membaca QS. az-Zukhruf : 71, "tashtahiihi al-anfus" (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madiinah dan Syaam, padahal dalam mushaf Kuufah tertulis dengan satu ha ("tashtahii").
Hal ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'aat adalah sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf al-Uthmani. Sebaliknya, jika suatu qira'aat tidak tercatat dalam salah satu al-mushaf al-Uthmani, qira'aat tersebut dianggap 'shaadh' dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira'aat mutawaatir.
Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Al-Qur'an, Orientalisme dan Luxenberg (Habis)
Missionaris-orientalis ibarat 'zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran "Christoph Luxenberg."
Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dalam dialek Syriac).
Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dalam dialek Syriac).
Dalam bukunya yang berjudul "Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa Syro-aramaic, Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al-Qur'an" (Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekat mengklaim bahwa;
Pertama, bahasa Al-Qur'an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit difahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
Kedua, bukan hanya kosa-katanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria (Peshitta); Ketiga, Al-Qur'an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan di-edit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritische Edition .... sicherlich wuenschenwert).
Di sini nampak bagaimana orientalis-missionaris mengklaim tahu tentang Al-Qur'an dan 'ngotot', meskipun sudah jelas keliru dan sesat. Juga nampak bagaimana mereka membentuk suatu jaringan untuk saling menyokong dan mendukung satu sama lain.
Siapa gerangan "Christoph Luxenberg"? Setelah melakukan investigasi, penulis berhasil memperoleh data berikut ini. Nama sebenarnya adalah Ephraem Malki, warganegara Jerman asal Lebanon, penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox), memperoleh M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik, dengan alamat terakhir, August-Klein-Strasse 11, 66123 Saarbruecken, telp. 390-58-28.
Pada 28 Mei 2003 yang lalu dia sempat diundang memberi kuliah umum di Universitaet des Saarlandes tentang "Pengaruh bahasa Aramaic terhadap bahasa Al-Qur'an" (Der Einfluss des Aramaeischen auf die Sprache des Korans).
Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Menurut dia, kata 'qashwarah' dalam QS. 74:51 mestinya dibaca 'qashuurah'.
Lalu kata 'sayyi'aat' (QS. 4:18) mestinya dibaca 'saniyyaat', dari bahasa Syriac 'sanyata'. Juga kata 'aadhannaaka' (QS. 41:47) seharusnya dibaca 'idh-dhaaka'. Kemudian kata ''utullin' (QS. 68:13) mestinya dibaca ''aalin', sedangkan kata 'zaniim' dalam ayat yang sama harusnya dibaca 'ratiim', sesuai dengan bahasa Syriac 'rtim'.
Begitu pula kata 'muzjaatin' (QS. 12:88) mestinya dibaca 'murajjiyatin', dari bahasa Syriac 'm-raggayta'. Seterusnya kata 'yulhidu na' (QS. 16:103) harusnya dibaca 'yalghuzuuna' dari bahasa Syriac 'lgez'.
Kemudian kata 'tahtiha' (QS. 19:24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac 'nahiitihaa'. Adapun kata 'saraban' (QS. 18:61) harusnya dibaca menurut bahasa Syriac 'syarya'.
Yang lebih parah lagi, ia mengutak-atik surah Al-'Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, seperti mana surat Al-Faatihah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus: "Als solche hat sie [i.e. QS 96] den Charakter eines zur christlich-syrischen Liturgie einleitenden .... (proo?µ??? prooemium), das in der spaeteren islamischen Tradition von der (Fatiha) (syro-aramaeisch ... ptaha) (einleitendes Gebet) abgeloest wurde. Dass es sich bei dieser Liturgie um das Abendmahl handelt, darauf verweist der abschliessende syro-arameische Terminus."
Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh sebelum dia, Mingana telah mengorek-orek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan Spitaler.
0 komentar:
Posting Komentar