Cari Blog Ini

Kamis, 20 Januari 2011

ASWAJA DAN LATAR HISTORIS LAHIRNYA



Aswaja Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه

“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Dari hadits di atas dapat dipahami Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:

عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.

LATAR KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah (peristiwa bani saqifah ).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
1.      At-Tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 143
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§ ÇÊÍÌÈ
Artinya,  “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
2.       At-Tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT dalam surah  al-Hadid: 25
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yƒÏptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù't/ ÓƒÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖƒÌtã ÇËÎÈ  
Artinya “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
3.       Al-I'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman dalam surah. al-Maidah: 8
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
Artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap Tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam surah  Thaha: 44
Artinya “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah".
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut.
1.      Akidah
a.       Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b.      Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c.       Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2.      Syari'ah aBerpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.bAkal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).cDapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3.      Tashawwuf/Akhlak
a.       Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b.      Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c.       Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4.      Pergaulan antar golongan
a.       Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b.      Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c.       Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d.      Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata  emusuhi agama Islam.

5.      Kehidupan bernegara
a.       NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b.      Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selamatidak bertentangan dengan ajaran agama.
c.       Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6.      Kebudayaan
a.       Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b.      Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c.       Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7.      Dakwah
a.       Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b.      Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c.       Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

ASWAJA SEBAGAI PARADIGMA
Doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) saat ini berhadapan dengan perubahan masyarakat yang sangat cepat. Rumusan doktrin yang selama ini menjadi acuan bagi mayoritas umat Islam dalam beragama, terutama kaum Nahdliyin tidak mampu lagi mengakomodir perubahan yang terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi di era yang global ini tidak mampu lagi di baca dalam kerangka rumusan doktrin lama, keenderungan pemahaman agama secara tradisional agaknya sudah kurang mampu berbicara. Pemahaman secara tekstual tidak lagi memuaskan. Maka yang diperlukan adalah pemahaman yang bersifat kontekstual.
Reinterprestasi dokrtin Aswaja sudah seharusnya dilakukan. Salah satu pemahaman ulang tersebut adalah dengan merujuk kembali sejarah awal reformasi atau pembentukan doktrin ini. Dengan merujuk ke sejarah awal, yang telah kita bahas diatas akan terlihat situasi kreatif masyarakat dimana perbincangan secara cerdas. Tampak sekali bahwa doktrin Aswaja sebenarnya berwatak plural, tidak tunggal. Bahkan sejarah lahirnya paham akidah Aswaja sebenarnya dilahirkan oleh tiga tokoh kenamaan yaitu, Imam al-Asy’ari di Barsah, Imam al-Maturidi di Samarkand dan) Imam al-Tahawi di Mesir.
Proses terbentuknya paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah membutuhkan jangka waktu yang panjang. Pengertian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah sebagai sebuah aliran pemikiran (school of thought) tidak serta merta dan terbentuk menjadi baku. Sejarah menunjukan bahwa pemikiran keagamaan Sunni dalam bidang teologi, hukum, Tasawuf dan politik tidak terbentuk dalam satu masa melainkan dalam waktu yang berbeda-beda. Masing-masing bidang tersebut di formulasikan oleh para ulama yang hidup pada masa yang berbeda pula. Dengan demikian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, memahami Aswaja sebagai akumulasi doktrin keagamaan yang bertumpu pada rumusan al-usus al-thalathah fi al-I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah di bidang hukum(fiqh) )Tasawuf dan tauhid.
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
Ø      Dalam akidah, mengikuti slah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Ø      Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat : Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad al-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
Ø      Dan dalam ber-tashawwuf mengikuti salah satu dua Imam: Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
Itulah yang ditulis oleh Hadlratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi dan setiap Muktamar NU disampaikan oleh Rais Aam sebagai sambutan pokok.
Kalau kita mempelajari Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah dengan sebenar-benarnya, batasan seprti itu, tampak begitu simple dan sederhana. Sebab, pengertian tersebut merupakan definisi yang sangat ekslusif.
Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab. Aswaja hanyalah Manhaj a-fiqr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para Sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapisituasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhaj al-fiqr sekalipun tapi merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik yang melingkupinya.
Formulasi baru Aswaja, mengimplikasikan format atau corak yang sama sekali berbeda dengan rumusan definitif Aswaja yang dipahami selama ini dalam konteks “ber-fiqh”, pergeseran pemahaman akan terlihat cukup tajam diantara generasi yang meletakan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” (ulama yang mempertahankan teks) , dan generasi yang meletakan fiqih sebagai paradigma “interprestasi sosial”, oleh karena itu, apabila dalam satu generasi yang selalu menundukan realitas pada kebenaran fiqih, dan generasi berikutnya akan sangat mungkin menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.
Pandangan fiqih sebagai “interprestasi sosial” dengan paradigma fiqh-nya terdapat lima ciri yang menonjol, yaitu:
1.      Selalu diupayakan interprestasi ulang dalam mengkaji teks teks fiqih untuk mencari konteks-nya yang baru.
2.      Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara ekstual (madzhab qauli) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji).
3.      Verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu).
4.      Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
5.      Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima ciri paradigma ber-fiqh tersebut merupakan paradigma yang fundamentalis dan strategis, seperti ditegaskan oleh Abdurrahman Wahid (GusDur) bahwa pentingnya madzhab manhaji inilah-jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam setting tranformasi sosial. Ekonomi politik maupun budaya menjadi terbuka lebar. Di satu sisi generasi yang memahami fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” dengan devinisi madzhab qauli sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebagaian generasi tersebut masih mempertahankan rumusan tersebut. Rumusa Aswaja yang demikian ini, oleh sebagian tokoh NU seperti K.H Abdurrahman Wahid dan Said Agil Siradj mulai mempertanyakan relevansinya dan vitalitasnya. Sebab dalam dataran empirik, pemahaman Aswaja seperti diatas disamping membatasi, juga membelenggu kreatifitas berpikir. Dalam pandangan K.H Abdurrahman Wahid, formulasi pemahaman Aswaja tersebut perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih mendasar melalui dua kerja utama : Pertama, dengan mengadakan pengkajian aspek kesejarahan pertumbuhan Aswaja, sehingga pemahaman terhadapnya tidak tercerabut dari akar historisnya. Kedua, perlunya perumusan dasar-dasar umum kehidupan masyarakat di kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah dalam berbagai kehidupan pada kerangka operasionalnya.

Ethik Aswaja PMII sebagai sebuah Spirit Pikir dan Gerak Kader
Secara singkat posisi Aswaja di PMII dapat dilihat sebagai berikut. Dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII).
Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja PMII:
Maqosidu Al-Syar`iy (Tujuan Syariah Islam)
- Hifdzunnafs (menjaga jiwa)
- Hifdzuddin (menjaga agama)
- Hfdzul `aqli (menjaga aqal)
- Hifdzulmaal (menjaga harta)
- Hifdzul nasab (menjaga nasab)
Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy :
Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)
Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)
Hfdzul `aqli (kebebasan berfikir)
Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)
hifdzul nasab (kearifan local)
Karakteristik ulama ahlussunnah waljama`ah dalam berfikir dan bertindak
Tasamuh (toleran)
Tawazun (menimbang-nimbang)
Ta’adul (berkeadilan untuk semua)
`Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling benar)
`Adamuttasyau` (tidak terpecah belah).
`Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan)
Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah)
Luzumuljamaah. (selalu berjamaah)
`Adamu itbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu)
Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong)

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
ADIFAH 2220 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute