DELIK PENODAAN AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DALAM RUU KUHP
Rumadi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
I. Acuan Pemikiran
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang mempunyai keyakinan tertentu, bias dituduh melakukan penodaan agama. Keyakinan keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan, meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya berbeda.
Jaminan kebebasan beragama pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Meski secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup kuat, namun pada tingkat implementasi masih sangat lemah. Bahkan ada kesan, paradigma dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak negara yang ingin sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat, terutama keyakinan, sebagai ciri negara otoriter juga belum sepenuhnya hilang.
II. Penodaan Agama dalam KUHP
Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).
Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.
Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.
Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.
Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain: pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Prof. Oemar Seno Adji dapat ditunjuk sebagai ahli hukum yang paling bertanggung jawab masuknya delik agama dalam KUHP. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhana Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan meilihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.
Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas.
Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.
Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam RUU KUHP yang merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348).
Dari gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi untuk menyusun dan memunculkan pasal-pasal tentang agama dalam R-KUHP yang lebih berorientasi pada perlindungan korban. Pasal-pasal dalam R-KUHP tentang agama ini semestinya diorientasikan disamping untuk melindungi kepentingan umum, juga untuk melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas dan juga melindungi minoritas dari ancaman diskriminasi dan kewewenang-wenangan mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang atas berbagai masalah keagamaan tidak kemudian dituduh melakukan penodaan agama. Karena, menuduh orang melakukan penodaan agama tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus bias dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan, dan melecehkan agama. Revisi KUHP tidak boleh disandera kelompok tertentu dengan meminjam “tangan Negara” guna memuluskan agenda-agenda politiknya.
III. Penodaan Agama dalam Praktek Peradilan
Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana praktek penggunaan pasal 156a dalam pengadilan. Akan diuraikan problem dan korban dari penggunaan pasal ini. Hal ini penting karena salah satu problem krusial dalam revisi KUHP adalah masalah agama. Ada kecenderungan, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro-kontra. Hal ini karena kelompok-kelompok agama di Indonesia mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok agama cenderung ramai-ramai meminjam “tangan negara” untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya. Kecenderungan ini tampak kian jelas bila kita mengikuti pro-kontra sejumlah regulasi daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariat Islam.
Dengan “mengamankan” agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarnya tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa kasus penodaan agama yang sudah divonis oleh pengadilan.
1. Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya ki Pandji Kusmin
Sejauh riset yang dilakukan di sini, kasus merupakan kasus penodaan agama pertama setelah pasal 156a dimasukkan dalam KUHP. Korbannya adalah Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang divonis telah melakukan penodaan agama dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Masalah itu bermula dari terbitknya cerpen berjudul Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Pandji Kusmin yang dimuat di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968. Cerpen itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Islam. Akibat rekasi massa yang semakin kuat, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. Akibatnya ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan.
Bukan itu saja, protes massa terus berlanjut dengan demonstrasi ke kantor majalah Sastra. Sekitar 50 pemuda berunjuk rasa dari mulai orasi sampai aksi coret-coret dinding kantor dengan segala macam penghinaan. Nuansa sindrom komunisme begitu kuat dalam tulisan-tulisan demonstran seperti H.B Jassin Kunjuk! (Kunyuk, ejaan lama-red), H.B Jassin Tangan Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam, dan lain-lain. Akibat demonstasi tersebut majalah Sastra kemudian ditutup sampai batas waktu yang ditentukan.
Kalangan sastrawan pun bereaksi. Di Medan sejumlah sastrawan terkemuka seperti Sori Siregar, Zakaria M. Passe dan Rusli A. Malem membuat pernyataan protes. Di Jakarta tak ketinggalan Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D. Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto ikut menandatangani pernyataan protes. Nama Ki Pandjikusmin sendiri ‘mencuat’ sehingga dipelesetkan menjadi "Kibarkan Pandji-Pandji Komunis Internasional" . Polemik terus berkelanjutan. Setahun sesudah itu tajuk rencana harian Indonesia Raja menulis : "Ki Pandji Kusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria."
H.B Jassin selaku redaktur majalah Sastra diseret ke pengadilan. Akan tetapi di muka pengadilan ia berkeras tidak mengungkap identitas Ki Pandji Kusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: "bila sang pengarang tidak membuka identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya." Cerpen ini juga berbuntut panjang dan menyebabkan polemik sastra meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta dan agama. Polemik tersebut berkepanjangan hingga dua tahun lamanya.
Di pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Ia juga mengatakan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut. Alamatnya selalu berpindah-pindah. Spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berasumsi H.B Jassin sendirilah Ki Pandji Kusmin itu.
Ki Pandji Kusmin sendiri bukannya tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya:
"Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam."
Kisah ini belakangan diterbitkan dalam buku berjudul “Pledoi Satra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin” tahun 2004. Berikut ini dilampirkan cerpen dimaksud dan juga resensi buku Pledoi Sastra.
2. Kasus Tabloid Monitor
Kasus ini terjadi pada 1990 dengan korban Arswendo Atmowiloto (pemimpin redaksi tabloid Monitor). Dia divonis lima tahun penjara dengan tuduhan melakukan penodaan agama.
Monitor merupakan tabloid terlaris milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Hari itu, Senin 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad SAW menempati urutan ke sebelas sebagai tokoh yang paling dikagumi, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi Monitor yang menempati peringkat kesepuluh.
Sontak publikasi itu menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Monitor dianggap melecehkan Nabi Muhammad, membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Protes pun gencar dilancarkan pada Monitor, dari Majelis Ulama Indonesia hingga organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pemuda Muhamadiyah. Hanya KH. Abdurrahman Wahid, satu-satunya tokoh Islam yang berani berpendapat lain tentang kasus ini.
Dengan makin gencarnya protes terhadap Monitor, pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko, Selasa 23 Oktober 1990 membatalkan surat ijin usaha penerbitan persnya. Tak lama, Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jakarta, mengeluarkan surat yang isinya memberhentikan Arswendo Atmowiloto dari keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan mencabut rekomendasi untuk jabatan pemimpin redaksi, tidak hanya untuk Monitor tapi juga untuk majalah Hai. Ia dianggap menyalahi kode etik jurnalistik sehingga keanggotaan PWI-nya gugur. Dia pun otomatis tidak bisa menduduki jabatan pemimpin redaksinya. Menurut aturan, dia masih berhak membela diri di dalam kongres PWI, namun hal ini tidak berlaku bagi Arswendo Atmowiloto. (S. Sinansari Ecip, Kode Etik dan Undang-undang Pers, Berguna ataukah Percuma?, Jumat, 07 Februari 2003 dalam www.dewankehormatanpwi.com). Puncak dari peristiwa heboh angket itu, Arswendo Atmowiloto, diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun.
Menghadapi pembredelan itu, editorial Kompas 23 Oktober 1990, menyatakan, "Monitor memang telah salah langkah dengan memuat hasil angketnya. Karena itu, kita pun menyesalkan dan mengecamnya." Hal yang sama dinyatakan oleh Jakob Oetama, "Saya sendiri menganggap tindakan itu sudah pantas ditimpakan pada Monitor." Lalu, bagaimana tanggung jawab KKG sebagai induk dari Monitor?
"Monitor itu berdiri sendiri dan jangan dikait-kaitkan dengan yang lain," tukas Polycarpus Swantoro, yang saat itu menjabat wakil pemimpin umum Kompas dan salah satu pemimpin KKG.
Mengenai Arswendo Atmowiloto, Oetama mengatakan "Saya sangat menyesalkan dia, sebagai pemimpin media tidak bisa melihat efek dari apa yang ditulisnya. Padahal, dalam segala hal prinsip dan sikap dasar kami hati-hati, tahu diri dan timbang rasa, terutama dalam hal-hal yang menyangkut suku agama dan ras. Hal itu tampak dari isi surat kabar dan semangat suratkabar yang selama ini saya asuh bersama rekan-rekan." Tak lama kemudian, Arswendo diberhentikan sebagai karyawan KKG.
3. Kasus Saleh Situbondo
Kasus ini bermula dari pernyataan sepele seorang pemuda lugu penjaga sebuah masjid di Situbondo bernama Saleh (26). Meski sepele tapi kasus ini mempunyai dampak yang luar biasa atas kehidupan beragama di Situbondo. Puluhan gereja dibakar sebagai dampak kasus ini. Saleh sendiri akhirnya divonis lima tahun penjara dengan tuduhan melakukan penodaan agama. Kasus ini terjadi pada 1996.
Saleh dilaporkan K.H. Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam, yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada K.H. Zaini, Saleh menyatakan Allah adalah mahluk biasa dan K.H. As'ad Syamsul Arifin, pendiri pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, dan ulama Nahdlatul Ulama yang amat dihormati, meninggal tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.
Kronologisnya cukup panjang. Menurut KH Achmad Sofyan, sebenarnya peristiwa yang berkenaan dengan terdakwa Saleh adalah peristiwa kecil. Dikatakan kecil, karena Saleh itu terhitung saudara sepupu KH Zaini Abdul Aziz pengasuh pesantren Nurul Hikam, Kesambi Rampak, Kapongan. Keberadaan Saleh sendiri hanyalah sebagai tukang kebun di Masjid Nurul Islam, Gebang, Kapongan. "Itu sebabnya, waktu Kiai Zaini meminta PCNU Situbondo melalui MWC NU Kapongan agar menuntut Saleh, ya saya sarankan agar soal itu tak perlu dilanjutkan. Tapi Kiai Zaini rupanya berkukuh memerkarakan Saleh ke pengadilan," ujar Kiai Sofyan.
Ustadz H Mohammad Romly, 43, Wakil Ketua PCNU Situbondo menilai bahwa kasus Saleh sebenarnya hanya kasus kecil. Saleh sendiri, menurut Ustadz Romly, tidak pernah meresahkan masyarakat karena Saleh memang bukan orang terkenal. Keresehan masyarakat, lanjut Ustadz Romly, justru disulut oleh KH Zaini Abdul Aziz. "Sebab dalam setiap pengajian, Kiai Zaini selalu mengekspose kesesatan ajaran yang diikuti Saleh. Bahkan surat pernyataan yang dibuat Saleh yang menyatakan bahwa KH As'ad meninggal tidak baik, difotokopi oleh Kiai Zaini dan disebarluaskan. Anehnya, surat pernyataan yang difotokopi dan disebarkan itu bentuk tulisannya tidak sama dengan tulisan Saleh," ujar Ustadz Romly.
Dalam usaha menjatuhkan Saleh, ungkap Ustadz Romly, KH Zaini Abdul Aziz telah meminta kepada MWC-NU Kapongan agar melapor ke Polsek Kapongan. Melalui surat bernomor O9/MWC/V/1996 tertanggal 7 Mei 1996, Ketua MWC-NU Kapongan H Saiful Abrori dan Sekretarisnya H Samsuddin meminta Kapolsek Kapongan agar menangani kasus Saleh secara serius sesuai hukum yang berlaku. "Tapi entah disengaja atau tidak, stempel yang digunakan pada surat itu keliru menggunakan stempel lama yang sudah tidak berlaku," ungkap Romly.
Tanggal 14 Mei 1996, ungkap Ustadz Romly, para pengurus NU Situbondo membahas surat dari MWC-NU Kapongan itu di kantor PCNU. Rapat dipimpin langsung oleh KH Achmad Solyan, Ketua Syuriah. Hasil rapat diputuskan, bahwa masalah Saleh tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab Saleh masih tergolong anak-anak dan belum berkeluarga. Di samping itu, Saleh juga bukan orang yang berpengarah. Pekerjaan sehari-hari Saleh adalah sebagai penjaga Masjid Nurul Islam di Gebang, Kapongan. "Waktu itu Kiai Sofyan malah mengusulkan agar Saleh dititipkan saja sebagai tahanan di kepolisian selama 3 atau 4 bulan agar jera. Tapi pada prinsipnya Kiai Sofyan dan seluruh pengurus PCNU Situbondo tidak setuju jika kasus itu dilanjutkan ke pengadilan," ujur Ustadz Romly.
Pada saat bertemu dengan KH Zaini Abdul Aziz, ungkap Ustadz Romly, ia dimintai penjelasan mengenai hasil rapat di PCNU. Dengan apa adanya, lanjut Ustadz Romly, ia menjelaskan alasan PCNU untuk tidak menyetujui dibawanya kasus Saleh itu ke pengadilan. Malah melalui H Fatchurasyid juga diungkapkan jika Komandan Kodim 0823 yaitu Letkol Imam Prawato tidak menghendaki kasus itu dilanjutkan ke pengadilan. "Tapi Kiai Zaini bilang kalau dia akan memperbarui gugatan. Saya waktu itu hanya menjawab ya terserah saja kalau kemauan kiai begitu. Dan sesudah itu pengurus PCNU tidak mengikuti lagi masalah tersebut," ujar Ustadz Romly.
Mursawi Z.A, 46, Sekretaris LP Ma'arif Situbondo menuturkan bahwa niat KH Zaini Abdul Aziz untuk menuntut Saleh ke pangadilan sebenarnya juga sudah diingatkan oleh Habib Abdurrachman Alkaf, putera Habib Achmad Alkaf (almarhum). Habib Abdurrachman Alkaf, ungkap Mursawi, waktu itu sudah memohon agar kasus Saleh itu tidak perlu dibawa ke pengadilan. Tapi Kiai Zaini tidak mau. Ia tetap berkukuh menuntut Saleh ke pengadilan. “Selama proses peradilan berlangsung, saya sering berjumpa dengan pengikut Kiai Zaini dari berbagai tempat di Besuki. Pengikut Kiai Zaini dari desa Bungatan, Buduan, Mlandingan, dan Besuki menyapa saya dan saya sapa balik," ujar Mursawi.
Soal pernyataan Saleh yang menandaskan bahwa KH As'ad Syamsul Arifin mati tidak baik, ungkap Mursawi, diperoleh Saleh dari seorang Madura yang tak dikenalnya. Ucapan itu kemudian didengar KH Zaini Abdul Aziz dan Saleh diminta untuk membuat pernyataan tertulis tentang pernyataannya itu. Pada saat surat tulisan Saleh itu diedarkan oleh Kiai Zaini, Saleh dipanggil oleh Habib Abdurrachman Alkaf. "Waktu itu Saleh dimarahi Habib Abdurrachman dan disuruh meminta lagi surat pernyataannya itu kepada Kiai Zaini. Tapi Kiai Zaini tidak memberikan malah memfotokopi dan menyebarluaskan. Namun setahu saya, keluarga Kiai As'ad tidak ada yang terpancing emosi oleh surat itu," ujarnya.
KH Kholil As’ad, pengasuh Pondak Pesantren Walisongo menuturkan bahwa seseorang tak dikenal telah memberikan fotokopi surat pangakuan Saleh itu kepadanya. "Tapi saya tidak menghiraukannya. Bahkan saat Saleh disidang karena suratnya itu, saya tidak tahu-menahu. Baru pada sidang Saleh yang ke-4 saya tahu kalau anak itu diadili. Itupun setelah ada petugas yang datang meminta bantuan agar saya ikut mengamankan sidang," ujar kiai muda yang dikenal sebagai guru ilmu tasauf itu (Laporan Tim Pencari Fakta GP Ansor Jatim, 1996).
Dalam sidang keempat kasus itu, 3 Oktober 1996, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. "Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kiai Zaini, apakah pendapat saya betul atau tidak," kata lulusan SMAN II Situbondo itu. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1.000 orang itu marah. Hadir pula dalam sidang itu Ny. Aisyah, putri Kiai As'ad yang duduk dengan kaki diangkat ke kursi. Aisyah, yang biasa dipanggil Nisa itu, tampak marah dan meremas-remas rokok Gudang Garam, serta menyalakan korek api sampai habis satu kotak. Ia tak menggubris, meskipun sudah diperingatkan petugas.
Seusai sidang teriakan "Bunuh Saleh" pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya ke tahanan PN Situbondo. Massa yang sudah kalap merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, jendela plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny. Aisyah. Tapi, massa yang ada di luar tahanan tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan mereka yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo, Letkol Endro Agung, sudah tak didengar. Baru setelah Ny. Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny. Aisyah. "Saya sudah tidak dendam pada Saleh," kata Nisa.
Dalam sidang ke lima, 10 Oktober 1996, Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari komando distrik militer (kodim) sudah sampai pada tuntutan jaksa. Hadir pula ribuan pengunjung dari luar kota. Mayoritas adalah Madura pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah NU. Kabar akan adanya sidang Saleh mereka dengar dari mulut ke mulut. Tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa K.H. Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN itu. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara, sesuai dengan Pasal 156 (a) KUHP tentang Penodaan Agama.
Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa, dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim, Letkol Imam Prawoto, tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan, setelah ada aparat yang membalas aksi massa itu. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah kalap terus mengamuk. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang beragama Kristen pun merebak. "Padahal, 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh, semua beragama Islam," kata Erman Tanri. Massa yang marah kemudian membakar mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres, serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras isinya.
Mereka dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) yang terletak di sebelah Polres akan jadi sasaran berikutnya. Tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak. Karena diblokir, massa pun kemudian bergerak ke Jalan W.R. Supratmam. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. "Untung murid-murid sudah kami pulangkan. Kalau tidak, wah, ngeri saya membayangkannya." kata seorang guru SMPK.
Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jalan A. Yani turut pula menjadi sasaran amukan massa. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan. Malapetaka juga terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Bahtera Kasih. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian 23 tahun. Juga keponakannya, Nova Samuel dan Rita Karyawati, yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Secara lebih lengkapnya, gereja yang dirusak adalah sebagai berikut:
1.Gereja Bethel Indonesia/GBI Bukit Sion (di bakar)
2.Gereja Pantekosta di Indonesia /GPdI (di hancurkan)
3.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
4.Gereja Sidang Jemaat Pantekosta/GSJP (di bakar)
5.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
6.Gereja Pantekosta Pusat Surabaya/GPPS (di bakar)
7.Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB (dihancurkan)
8.Gereja Katolik (di bakar), Panarukan
9.Gereja Katolik (dibakar)
10.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di bakar), Wonorejo
11.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
12.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
13.Gereja Bethel Tabernakel/GBT (di bakar),
14.Gereja Katolik (di rusak), Asembagus
15.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
16.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
17.Gereja Katolik (di bakar), Besuki
18.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (dirusak)
19.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (dirusak)
20.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (dirusak)
21.Gereja Katolik (di rusak), Ranurejo
22.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (Induk) di bakar
23.Greja Kristen Jawi Wetan/GKJW (cabang) di bakar
24.Gereja Kristus Tuhan /GKT (di bakar).
Menurut Sanidin, ketua RT O3/O03 Kampung Mimba'an, Desa Panji, yang rumahnya bersebelahan dengan GPPS, ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan. Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiramkan air ke api yang hampir membakar rumahnya, ia di marahi massa. Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya, ketika GPPS terbakar, ada 10 orang di dalamnya. Namun, dua pembantu bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa. Walaupun salah satu lengan pembantu ini terbakar tapi jiwanya selamat. Sanidin menduga pendeta Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu, tidak bisa menyelamatkan diri karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena rematik.
Saat itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk membakar gereja. "Kalau kalian santri, ayo, ikut bakar gereja," kata seorang diantaranya. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin tidak tahu massa itu berasal dari mana. "Saya tak kenal mereka," ujarnya. Warga kota santri itu pun melihat banyak-nya massa yang berbicara dengan logat bukan khas Situbondo. Bahkan dilaporkan, saat kejadian begitu banyak kendaraan bermotor yang bernomor polisi dari luar Situbondo (Kompas, 1 Pebruari 1997)
Setelah membakar gereja, sebagian massa naik ke 3 truk menuju ke arah timur. Mereka diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke JalanArgopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimbaan Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan itulah, satu kompi senapan batalyon infantri 514 datang. Petugas langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan. Tindakan para petugas itu membuat massa lari tunggang langgang. Sebagian lari ke Gang Karisma, dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan Jaksa Agung Suprapto dan di sana mereka membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi Situbondo itu baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumihanguskan. Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai Magrib, massa beraksi di Panarukan, 6 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang Magrib. Malam itu 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang oleh K.H. Fawaid, salah satu putra K.H. As'ad. "Kami pengurus sekolah merasa malu pada masyarakat dan pengasuh pondok, tapi mereka hanya ikut-ikutan," kata seorang guru. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimbaan dan "anjal" alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman yang dibina oleh K.H. Cholil, juga salah satu putra K.H. As'ad.
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi. kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kepala staf daerah militer meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo pada keesokan harinya. "Semua pelaku akan diusut tuntas," janji Imam Oetomo (www.tempointeraktif.com, 19 Oktober 1996).
4. Kasus Mas’ud Simanungkalit
Masud Simanungkalit, 50 tahun, adalah mantan wartawan Harian Angkatan Bersenjata yang kemudian berprofesi sebagai karyawan di Otorita Batam. Rabu (24/03/05) dia divonis tiga tahun penjara di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau. Masud, menurut Ketua Majelis Hakim Janatul Firdaus, bersalah karena telah salah menafsirkan al-Quran.
Masud menerbitkan buku berjudul "Kutemukan Kebenaran Sejati dalam al-Qur’an". Dalam Buku setebal 25 halaman itu, Masud menyelewengkan dua kalimat syahadat, dari asyhadu Anla ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan Rusullah diubah menjadi asyhadu anla ilaha ilallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah. Selain itu dalam tafsir itu Masud menyebutkan Allah Bapak di Surga. "Dalam Islam itu tidak ada," kata Hakim Janatul. Dalam buku yang disebarluaskan atas nama Yayasan al- Hanif, menurut hakim, Masud menafsirkan secara salah surat Yasin.
Lebih lengkapnya dikemukakan oleh Ja’far Usman al-Qari
Pengurus Masjid Raya Batam Center, Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Menurutnya, di halaman 10 buku tersebut misalnya, Simanungkalit membuat sebuah statemen persaksian yang dalam Islam dikenal dengan syahadat. Sebagai kesimpulannya dalam memahami yang sekaligus menyalahgunakan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 171, 172, 173; Ali Imran ayat 45; al-Zuhruf ayat 61; Maryam ayat 17, 19, 20, 21; Lukman ayat 34; al-Tin ayat 8; dan al-Nas ayat 1. Dari pemahaman ayat-ayat tersebut Masud menciptakan sebuah syahadat bagi alirannya (Islam al-Hanif) yang berbunyi: ”Asyhadu anla Ilaha Illallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah” yang artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Isa adalah Ruh dan Firman Allah.
Dalam telaah yang dilakukan Drs H Masrum M Noor MH.terhadap buku tersebut bahwa di halaman 7, Simanungkalit juga memberikan tanggapannya terhadap paham Trinitas dengan mendasarkan pendapatnya pada dasar yang tidak tepat, yaitu menggunakan QS. al-Maidah ayat 72 dan 73 yang tidak bercerita tentang hal tersebut. Dan pada halaman 12 buku itu, Simanungkalit menyatakan bahwa umat Islam al-Hanif melakukan salat berjamaah atau ibadah pada hari Sabtu dan mejadikan QS. al-Nahl: 124; al-Nisa:47, 154; al-A’raf: 163; dan al-Baqarah: 65, 66 sebagai dasarnya. Ini adalah pemerkosaan pemahaman ayat yang sangat bodoh dan pengecut. Karena Simanungkalit dalam penjelasannya dengan sengaja membuang bagian ayat yang menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut adalah memang menerangkan tentang kondisi Bani Israil dan Yahudi. Maka semestinya Simanungkalit sportif untuk tidak menyebutnya sebagai cara ibadah umat Islam al-Hanif. (www.harianbatampos.com, 24/09/05).
Menafsirkan al-Qur'an, kitab suci umat Islam, menurut Hakim Jannatul, tak bisa dilakukan sembarang orang. Apalagi penafsiran itu dijadikan buku guna disebarluaskan. Sebab bisa memicu kemarahan umat dan berujung permusuhan antar umat beragama. Majelis Hakim menilai Masud telah melanggar pasal 156a huruf a jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penodaan agama."Masud Simanungkalit dengan sengaja melakukan perbuatannya serta tidak sedikitpun merasa menyesal atas perbuatannya," kata Hakim Jannatul.
Memang terdakwa sempat mengirim surat permintaan maaf kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam. Namun tak sedikitpun merasa bersalah. Bahkan dalam surat tersebut Masud minta agar MUI menyetujui Islam al-Hanif yang didirikannya.
Ashari Abbas, Ketua MUI Batam menyatakan, putusan hakim itu cukup bagus dan memuaskan. Sebab, sepengetahuannya, Masud Simanungkalit bukan beragama Islam. Dalam persidangan terdakwa mengaku masuk agama Islam setahun yang lalu. "Orang beragama Islam saja belum tentu bisa menafsirkan al-Qur'an, apalagi agama lain," kata Ashari (www.tempointeraktif.com, 24/03/05).
5. Kasus Sekte Pondok Nabi
Kasus ini terjadi di lingkungan agama Protestan. Korbanya adalah Mangapin Sibuea, 59 tahun, pimpinan sekte ‘Pondok Nabi’ di Bandung. Mangapin Sibuea dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan melanggar pasal 156a KUHP tentang tindak pidana bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia oleh Pengadilan Negeri Bale Endah, Bandung, Jawa Barat (www.tempointeraktif.com, 8 April 2004).
Vonis penjara dengan potongan masa tahanan itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Sir Johan, didampingi hakim anggota, Dwi Sugiarto dan DS Dewi, Selasa 6/4/2004. Selain vonis penjara, hakim memutuskan bahwa barang bukti berupa tiga keping VCD berisi rekaman khotbah Mangapin dan sebuah buku berjudul ‘Kiamat Dunia Akan Segera Terjadi’ disita (Kompas Cyber Media, 7 April 2004).
Sebanyak 283 anggota jemaat sekte yang sedang menunggu kiamat di rumah peribadatan mereka dipimpin pendeta Mangapin Sibuea di Jalan Siliwangi, Bale Endah, Kabupaten Bandung, Senin (10/11/03). Namun, mereka kemudian dievakuasi aparat Kepolisian Resor Bandung. Ini dilakukan menyusul protes warga sekitarnya. Selain itu, ada kekhawatiran para anggota jemaat yang di dalamnya banyak anak-anak akan melakukan upaya bunuh diri.
Sebelumnya, suasana di Bale Endah pada petang hari menjelang pukul 15.00 memang kurang kondusif, dengan berkumpulnya puluhan warga masyarakat yang umumnya keberatan tentang adanya aktivitas jemaat di sekitar lingkungan mereka itu. Dari dalam rumah ibadah Pondok Nabi yang berlantai dua itu sendiri terdengar nyanyian dan tangis jemaat.
Pada pukul 15.30, aparat Bimbingan Masyarakat Polres Bandung memutuskan mengevakuasi jemaat Pondok Nabi ke Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Lengkong Besar, Bandung, dengan menggunakan mobil pengendalian massa (dalmas). Evakuasi ke gereja itu atas petunjuk Dewan Gereja Jawa Barat, agar jemaat itu bisa dibina kembali.
Jemaat Pondok Nabi tersebut dievakuasi dengan didampingi Tim Crisis Center Forum Komunikasi Kristen (TCC FKK) Jawa Barat. Acara pengangkatan dengan berkumpul di Pondok Nabi, memang gagal. Tapi dia mengelak kalau pengangkatan urung terjadi, lantaran aparat polisi dan pihak Crisis Center Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) menghentikan acara tersebut. “Ditengah-tengah acara Pendeta Simon Timorason masuk,” kata Sibuea. Pendeta Simon Timorason adalah Ketua Crisis Center FKKI Jawa Barat. FKKI tergolong menentang dan menganggap Sibuea sesat (www.tempointeraktif.com, 12 November 2003).
Sibuea kemudian diperiksa dan ditahan. 13 tersangka yang lain juga diperiksa selama dua hari lalu ditahan di Markas Polres Bandung. Mereka adalah Michael Timotius, Ester Sinaga, Andreas, Ferry, Charles, Brijones, Marthen, Josep Hasian, Ery Indiardi, Yohanes, Daniel Kale, Yani Batuwael, dan Sela. Mereka juga masih menjalani pemeriksaan. Sebelas dari mereka bertindak sebagai rasul dan seorang selaku nabiah (nabi perempuan). Sedangkan 21 pengurus sekte kiamat pimpinan pendeta Mangapin Sibuea lain hingga kini masih diperiksa intensif. Mereka semua perempuan dan 14 di antaranya adalah nabiah (www.liputan6.com, 12/11/2003).
Pada proses berikutnya, Mangapin yang diduga menyebarkan aliran sesat kepada para jemaatnya, dituntut tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hutagaol, SH., dalam sidang pembacaan tuntutan di PN Bale Bandung. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Sir Johan, SH dengan dua anggotanya Eddy Pangaribuan, SH., serta Bachtiar Sitompul, SH.
ia dituntut telah melakukan tidak pidana penodaan agama secara berulang kali sebagaimana diatur dalam pasal 156a KUHP. Penodaan agama tersebut dilakukan terdakwa sekitar Mei 2002-Januari 2003 lalu di tempat tinggalnya di RT 02 RW.08, Kel. Baleendah Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Sibuea dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dianut di Indonesia.
Yang dianggap lebih menyesatkan lagi, Mangapin meyakini bahwa pada 10 November 2003 dunia akan kiamat. Ia meyakini hal itu melalui suara langsung yang didengar dari Tuhan ke telinganya setelahnya berpuasa selama tujuh hari tujuh malam. Di bulan Mei 2002, Mangapin telah merekam ajarannya dalam sebuah VCD kemudian disampaikan kepada para jemaatnya. Dalam rekaman itu terdakwa mengatakan bahwa pendeta-pendeta Kristen adalah nabi-nabi palsu yang tempatnya di neraka dan menyebutkan baptisan di luar kebenaran al-Kitab.
Pembelanya, Habel, menyatakan, tidak realistis. Karena di persidangan tidak ditemui unsur-unsur penodaan agama yang dilakukan kliennya. Bahkan, tidak ada tindak provokasi terhadap agama lain serta melakukan paksaan terhadap para jemaatnya untuk mengikuti ajarannya. Justru dalam Surat Penetapan Presiden (PNPS) No. 1/1965, yang dimaksud penodaan agama jika satu kegiatan agama tertentu telah memprovokasi agama lain. (Pikiran Rakyat, 10 Maret 2004)
Pembacaan vonis yang memakan waktu hampir satu setengah jam itu berjalan tenang. Hanya sekali Managapin menunjukkan perasaannya dengan bertepuk tangan, tatkala mendengar tuduhan yang dibacakan hakim anggota. Terhadap putusan itu, Mangapin menyatakan banding, dan menunjuk pengacara baru, yakni Djonggi M. Simorangkir. Kepada wartawan, Mangapin menyatakan, dirinya tidak pernah berpendapat bahwa kiamat dunia terjadi pada 10 November 2003 ditandai dengan lenyapnya langit dan bumi, serta binasanya semua manusia. "Itu persepsi orang lain yang dikenakan kepada kami, lalu dituntut di pengadilan," katanya. Lalu, ia mengungkap kiamat versi dirinya. "Kiamat itu berarti, kami sudah kiamat, sudah tidak bisa berbuat dosa lagi. Sebab, kami sudah dikuasai oleh roh dari Allah," kata Sibuea.
Di tempat yang sama, Djonggi menyatakan pihaknya akan mengajukan banding karena persidangan terhadap Mangapin berbeda dengan persidangan 12 rasul pengikut Mangapin yang juga ia dampingi. Sekadar contoh, di persidangan, ia sudah memeriksa saksi Jhon Madris Nainggolan (Bimbingan Masyarakat Kristen, Depag Jawa Barat) dan Lumban Tobing (Sekretaris Umum PGI Wilayah Jawa Barat). Ternyata, keduanya mengaku tidak ada yang dirugikan. Selain itu, ia juga keberatan jika pernyataan Mangapin disebut menodai agama. "Kalaupun penjabaran al-Kitab (yang dilakukan Mangapin) tidak benar, itu upahnya hanya dosa dari Tuhan, bukan dari pemerintah," ujarnya, dengan nada tinggi.
Ditahan di Rutan Kelas I Kebon Waru, Bandung, Mangapin tetap yakin bahwa tanggal 10 November terjadi pengangkatan dan para jemaat telah dimurnikan Tuhan. Ia juga "meralat" keyakinan sebelumnya soal kiamat 10 November 2003 menjadi 11 November 2007 (KCM, 13/11/2003). Esoknya, tepat tanggal 14/11/2003, sekitar pukul 13:00 WIB, ratusan warga sekitar menghancurkan ‘Pondok Nabi’ Jalan Siliwangi 75 Baleendah --tempat pendeta itu mengajarkan ajarannya kepada sekitar 284 jamaah. Selain merobohkan pagar pondok, warga juga menjebol pintu pondok lalu merobek-robek seluruh dokumen Mangapin maupun buku-buku berisi ajarannya yang masih tersisa di sana. Akibatnya sepenggal jalan Siliwangi penuh sobekan kertas di antaranya berisi penafsiran Mangapin dalam Alkitab tentang datangnya hari kiamat 10 November 2003.
Warga juga merusak tempat tinggal Mangapin di jalan yang sama nomor 55. Namun, kerusakan di rumah ini tidak separah di ‘Pondok Nabi’ karena keburu petugas dari Polsek Baleendah datang ke lokasi. Setelah merobohkan pagar pondok, warga beramai-ramai menempeli kertas karton bertuliskan kecaman-kecaman terhadap Mangapin. Tulisan itu, di antaranya "jangan kotori RW 10 dengan ajaran sesat", "jangan kotori kami dengan ajaran setan". Tulisan lain, yakni "bongkar bangunan Pondok Nabi".
Sekadar tahu saja, RW 10 yang dimaksud dalam tulisan itu adalah wilayah pondok itu berada, tepatnya kampung Sibolga RW 10 Kelurahan Baleendah. "Bangunan ini (Pondok Nabi) harus dirobohkan, karena memang juga belum punya izin bangunan (IMB)," kata seorang tokoh warga RW 10. Bukan hanya menempelkan kertas bertuliskan kecaman terhadap Mangapin. Sebagian warga juga menorehkan kecaman dengan cat pilok di dinding ruang utama ‘Pondok Nabi’--ruang bekas 284 jamaah Mangapin menggelar ritual menunggu datangnya kiamat 10 November. Tulisan cat pilok itu, di antaranya berbunyi "Mangapin Setan", Mangapin Penyebar Ajaran Sesat", dan lainnya (Banjarmasin Post, 15/11/05).
Sumber yang dihimpun di lapangan menyebutkan, ratusan warga yang meluapkan kekesalan mereka terhadap Mangapin itu terjadi secara mendadak. "Mereka datang satu per satu, lalu tidak lama kemudian menjadi kumpulan massa. Kejadiannya tidak lama, kurang dari seperempat jam," tutur Erma, warga yang rumahnya berdampingan dengan ‘Pondok Nabi’.
Pada proses selanjutnya, pihak Mangapin menuntut balik. Menurut Habel Rumbiak, sang pengacara, tindakan FKKI dianggap telah mendeskriditkan banyak pihak di kelompok pondok nabi, pribadi dan keluarga Managapin. Dugaan adanya unsur fitnah pun ditujukan kepada Simon dan FKKI dalam tiap pernyataannya. Secara organisasi, FKKI akan dituntut secara perdata. "Untuk tuntutan yang satu lagi, kita akan mengajukan pasal 310, 311 tentang pasal penghinaan KUHP pidana," kata Habel.
Menanggapi itu, Pendeta Simon mengaku tidak gentar. Karena apa yang dilakukannya adalah gerakan kemanusiaan. "Bayangkan, kalau waktu itu mereka bunuh diri massal?,” kata Simon. Ketidak-gentaran Simon ditunjukkannya dengan dukungan pengacara dari Persatuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat, Gerakan Angkatan Muda Kristen (Gamki) dan lainnya.
Simon juga membantah dirinya melakukan penghinaan terhadap Mangapin. Karena apa yang dilakukan FKKI adalah mengevakuasi. "FKKI khawatir massa stress, lalu terjadi bunuh diri atau mati massal," kata Simon. Simon justru menyesalkan sikap pengacara yang hanya memikirkan Sibuea. "Pikirkan dong nasib ratusan jemaatnya," katanya. Dicontohkannya, para jemaat kesulitan biaya untuk pulang kampung, lantaran harta benda sudah dijual demi Mangapin (www.tempointeraktif.com, 20 November 2003).
Sekedar informasi, Managapin dilahirkan di Tapanuli, 17 Oktober 1944. Ia menamatkan pendidikan sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sampai sekolah kejuruan (STM) di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Dari sana ia masuk sekolah Alkitab di daerahnya, kemudian dilanjutkan ke Beji, Malang, Jawa Timur, sampai tahun 1966. Selama 16 tahun dia menjadi pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia, dan menjadi pendeta jemaat Filadelfia sampai tahun 1999. Ia keluar dari jemaat itu dan membentuk sekte Pondok Nabi.
Tempat ibadah kelompok yang dipimpin Mangapin pernah dibakar warga sekitar yang resah. Soalnya, ia mengaku sebagai rasul terakhir dan mengajak warga bergabung. Untuk kasus ini, Managapin masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Bale, Bandung. Ia kemudian memindahkan tempat ibadahnya ke sebuah gudang di Bale Endah, Bandung (www.liputan6.com, 11/11/2003).
Sekte pimpinannya ini sebenarnya telah dilarang Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat pada tahun 2000. Pondok Nabi dinyatakan sebagai aliran sesat. Tim Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bandung Tengah menetapkan 13 dari 34 pengurus sekte kiamat sebagai tersangka. Mereka bakal dijerat Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dengan ancaman penjara lima tahun.
6. Kasus Artikel ‘Islam Agama yang ‘Gagal’ Karya Rus’an
Rus’an adalah dosen Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah Palu. Rus’an menulis artikel berjudul ‘Islam Agama yang ‘Gagal’ dan dimuat di harian Radar Sulteng pada hari Kamis, 23 Juni 2005. Akibat tulisannya itu polisi mengenakan tuntutan tindak kriminal kepada Rus’an karena telah menghina Islam, dan menahannya selama 5 hari sebelum mengenakan tahanan kota.
Penulis yang juga sekretaris DPC PAN Palu itu mempersoalkan agama yang ternyata tidak berpengaruh banyak kepada pemeluk-pemeluknya. Dengan bahasa yang ekstrem, agama di Indonesia telah gagal semua. Sembari itu, ia mengutip ucapan-ucapan Karl Marx yang menyatakan bahwa ‘agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spritual. Agama dipandang sebagai penyebab penindasan, eksploitasi kelas dan lebih jauh lagi penyebab munculnya imajinasi-imajinasi non produktif. Sehingga kaum komunis menganggap agama sebagai racun dan harus dibinasakan keberadaannya. Semuanya disitir dari tulisan Vladimir Lenin tahun 1905.
Ia bahkan menyatakan bahwa ternyata masyarakat lebih suka nonton sinteron dari pada mau mendengarkan nasihat-nasihat para tokoh agama yang penuh dengan retorika belaka. Yang lebih menyakitkan bagi tokoh muslim di Palu adalah pernyataannya yang mempersalahkan agama dan bukan oknum penganutnya berkaitan dengan merebaknya kasus korupsi.
Pada paragraf terakhir berbunyi; “Dengan melihat realitas yang terjadi seperti yang digambarkan di atas, kita harus memutuskan apakah agama masih memiliki makna bagi kehidupan manusia di masa kini? Bila jawabannya tidak, maka itulah agama yang gagal." diklaim menyulut amarah massa.
Inilah yang mendorong sejumlah warga (tak kurang dari 2000 orang versi detikcom atau ratusan massa menurut Media Indonesia Online atau ribuan massa seperti ditulis Portal Berita Sulteng yang menamakan dirinya Komunitas Muslim Kota Palu—antara lain terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda Perguruan Islam al-khairat Palu, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Palu, mahasiswa Universitas al-khairat, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Islam berdemo pada hari Sabtu, 25 Juni 2005. Mereka meminta harian kelompok media Jawa Pos Group itu untuk berhenti terbit. Penutupan dianggap sebagai bentuk permohonan maaf mereka atas artikel itu (www.aji-jakarta.org, 25 Juni 2005). Karena maraknya protes, Radar Sulteng akhirnya memutuskan tidak terbit selama 3 hari sejak hari ini meskipun kantor tetap buka dan karyawan masih masuk.
Sebelum bertolak ke kantor Radar Sulteng, mereka membacakan sikap di Mapolda Sulteng. Mereka meminta aparat penegak hukum segera menangkap oknum yang menghina umat Islam sekaligus memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Juga mengancam akan mengerahkan massa yang lebih besar dan menyelesaikan sendiri kasus tersebut apabila dalam tempo 1x24 jam lembaga kepolisian di daerah itu tidak bereaksi mengambil tindakan tegas.
Hukuman yang dimaksud bukan saja karena bersangkut paut dalam soal penodaan agama tetapi menyangkut pasal penyebaran faham atheisme. Opini tersebut, seperti diklaim mereka, merupakan bentuk penyebaran ajaran komunisme sementara ketetapan MPRS yang melarang ideologi tersebut hingga kini belum dicabut.
Menanggapi tuntutan pengunjuk rasa, Kapolda Sulteng Brigjen Aryanto Sutadi yang menerima mereka mengatakan pihaknya sudah melakukan proses penyidikan terhadap kasus tersebut sebelum ada permintaan dari masyarakat, sebab tulisan di kolom opini Radar Sulteng itu telah memenuhi unsur penondaan terhadap agama. Prosesnya tidak dimulai dari penyelidikan tetapi langsung ke penyidikan.
Sementara itu, Wakil Pemimpin Redaksi / Penanggung jawab Radar Sulteng Udin Salim yang dikonfirmasi secara terpisah mengakui terjadi keteledoran di pihak redaksi sehingga muncul tulisan saudara Rus'an yang meresahkan itu. Pihak kami sudah menyampaikan permohonan maaf kepada umat Muslim dan khalayak atas kehilafan ini, dengan menurunkannya dalam menerbitan dua kali berturut-turut sejak Jumat (24/6/2006) (Media Indonesia Online, 25 Juni 2005).
Lalu apa jawaban Rus'an. Ia menyatakan bahwa tulisan tersebut sekedar kritik. “Saya juga Islam tapi saya juga mengkritisi perilaku elit kita yang jauh dari nilai-nilai agama agung ini,". Pria kelahiran Tolitoli 11 Juni 1973 yang juga diduga merupakan anggota JIL ini menyebutkan kalau ia tak berniat sedikit pun menistakan agama. Namun, jika menyakiti perasaan umat, ia meminta maaf. “Saya tidak bermaksud apa-apa," ujarnya.
Polda Sulteng, di pihak lain, meminta keterangan keterangan Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulteng HS Saggaf al-Jufri. Polisi juga telah memeriksa Rus'an. Menurut Kapolda Sulteng Brigjen Ariyanto Sutadi, ia telah menjadi tersangka, terkait artikel opini yang dituding menista agama Islam ini. "Sebelum ada laporan Polisi terkait artikel opini itu, kami sudah membahasnya. Rus'an langsung kami tetapkan sebagai tersangka," kata Kapolda Ariyanto di Polda Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur (detikcom, 25 Juni 2005).
7. Kasus YKNCA Probolinggo
Kasus ini menimpa Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Probolinggo yang dipimpin Ardhi Husein. Dalam kasus ini Ardhi Husein dipenjaran 5 tahun dengan tuduhan melakukan penodaan agama. Pada Jum’at, 27 Mei 2005, padepokan YKNCA, di desa Kerampilan, Kecamatan Besuk, Probolinggo diserbu dan dirusak ribuan massa. Perusakan dan penyerbuan yayasan ini terkait dengan kontroversi isi buku Menembus Gelap Menuju Terang 2 yang ditulis Ardhi Husein dan dinilai sesat oleh MUI Kabupaten Probolinggo. Berbagai media yang terbit esok harinya memberitakan bahwa sekitar 3000 orang menyerbu dan sebagian melempari padepokan tersebut hingga bangunan rumah yayasan itu hancur. Namun semua penghuni dan pasien yang ada di dalamnya dapat diselamatkan.
Dalam pernyataan yang dibuat MUI Probolinggo dan ditandatangani KH. M. Hasan Mutawakkil A, SH dan KH. Mahfud Syamsul Hadi tanggal 16 Mei 2005, dinyatakan beberapa masalah yang dianggap sesat, dari masalah aqidah, syari’ah, dan masalah lain-lain. Dalam masalah aqidah misalnya dipermasalahkan beberapa hal: 1. menganggap rasul masih ada; 2. iblis lebih beriman dari manusia; 3. menganggap kitab Wedha, Tripitaka, Tao, dan Khong futse termasuk shuhuf Ibrahim; 4. masih adanya wahyu yang turun; 5. mengaku bertemu Allah di dunia; 6. Islam hanya untuk orang Arab; 7. masuk surga tidak harus masuk Islam; 8. seiman tidak harus seagama; 9. berucap atas nama nabi Muhammad; 10. menjadi Muslim sejati tidak harus masuk Islam; 11. kitab yang menjadi petunjuk bagi Muslim sejati tidak ada di bumi; 11. mohon ampun kepada Allah tidak diterima tanpa melalui hambanya.
Sedang masalah syari’ah yang dipermasalahkan antara lain: 1. membolehkan menggauli perempuan dengan suka sama suka; 2. menafsirkan al-Quran menurut akal pikiran; 3. syariat nabi Muhammad dianggap berakhir setelah nabi wafat dan dilanjutkan oleh hambanya yang mendapat wahyu langsung dari Allah; 4. perbedaan syariat dianggap sebagai perbedaan yang tidak prinsip; 5. poligami hanya boleh bagi nabi, waliyullah; 6. beribadah dengan menginginkan surga dianggap sombong, dan beribadah takut masuk neraka tidak tulus; 7. para insan kamil berjalan, berpikir dan beribadah tidak seperti manusia sewajarnya.
Tuduhan yang diberikan MUI tersebut diambil berdasar kutipan-kutipan dari buku Menembus Gelap menuju Terang 2 tersebut. Tuduhan-tuduhan inilah yang dijadikan sebagai amunisi dan bahan bakar untuk menggerakkan emosi massa. Meski beberapa tuduhan sudah diklarifikasi dan dijawab oleh Ardhi Husein, namun massa tetap tidak puas, dan akhirnya menyerbu yayasan tersebut.
Dalam amar putusan Majlis Hakim Pengadilan Negeri Probolinggo No. 280/Pid.B/2005/PN.Kab. Prob. tanggal 6 Oktober 2005, Ardi Husein dianggap secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama. Barang bukti yang digunakan adalah buku Menembus Gelap menuju Terang 2, lima lembar fatwa MUI tanggal 19 Mei 2005. Tuduhan-tuduhan yang dijadikan dasar putusan PN Probolinggo juga sepenuhnya berdasar surat MUI tersebut.
8. Kasus Shalat Dwi Bahasa Yusman Roy
Yusman Roy adalah pemimpin “Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku” di Malang Jawa Timur. Dalam komunitasnya itu, Yusman Roy mempratekkan shalat dua bahasa (Arab-Indonesia), sebuah praktek dalam shalat yang agak tidak lazim. Sebagai hal yang tidak lazim, praktik tersebut dianggap salah dan “menyesatkan”. Oleh karena itu, semua komunitas agama seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah menganggap hal tersebut menyalahi praktik shalat yang dilakukan Nabi Muhammad saw (shallû kamâ ra`aitumûnî ushallî). Dia akhirnya diadili dan dipenjaran 2 tahun karena dianggap melakukan perbuatan yang meresahkan. Semula dia dituduh melakukan penodaan agama tapi tidak terbukti, sehingga dihukum dengan pasal yang lain. Ada kesan, yang penting Yusman Roy masuk penjara.
Muhammad Yusman Roy mendapat serangan dari berbagai kalangan nyaris tanpa pembelaan dan argumentasi yang memuaskan. Maklum, dia bukan seorang seorang ulama, kiai, akademisi, atau orang yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi keagamaan yang ketat. Dia juga bukan seorang pengikut “Islam liberal” yang terus berupaya menerobos ortodoksi Islam. Karena itu, wajar kalau dia tidak begitu peduli dengan metodologi berfikir para ahli fiqih yang jlimet itu. Dia hanya orang yang ingin mengajarkan kepada komunitasnya agar apa yang dibaca dalam shalat diketahui maknanya sehingga diharapkan shalat tidak sekedar menjadi rutinitas ritual tapi mempunyai atsar kepada pelakunya. Ditemukanlah formula shalat dua bahasa, di samping membaca “edisi Arab” diikuti pula “edisi Indonesia”.
Jadi Roy bukan mengganti Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia, tapi sekedar menambahkan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Dengan begitu, orang yang shalat mengetahui apa yang sedang dibaca. Roy semakin yakin dengan “ijtihadnya” itu setelah menemukan QS. Ibrahîm (14): 4 yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya”. Ayat ini seolah menjadi “inspirasi” bagi kebolehan shalat dengan tambahan terjemahan ke dalam bahasa non-Arab.
Argumen Roy dari sisi ilmu ushûl al-fiqih konvensional memang bisa dikatakan lemah. Argumen pertama (agar shalat mempunyai makna) akan dengan mudah dipatahkan dengan mengatakan bahwa shalat dengan dua bahasa karena tidak tahu artinya bukanlah formula untuk menjadikan shalat mempunyai makna, karena jalan keluarnya adalah belajar bagaimana agar orang yang tidak tahu makna bacaan dalam shalat menjadi tahu. Demikian juga dengan QS. Ibrahîm (14): 4 tidak mempunyai wajh al-istidlâl untuk membenarkan praktik shalat dua bahasa karena ayat tersebut tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan problem yang sedang dibahas.
Meskipun argumen yang dikemukakan Muhammad Yusman Roy lemah dari sisi manhaj al-istidlâl, namun hal itu tidak berarti tidak mempunyai preseden sama sekali dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada fuqaha yang memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab, terutama dalam membaca surat al-fatihah, kecuali Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama yang memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab, namun hal itu tidak berlaku untuk surat al-fatîhah. Surat al-fatîhah adalah ‘harga mati’ yang tidak boleh diganti dengan bahasa apapun.
Namun demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Parsi bagi yang tidak mampu berbahasa Arab. Bahkan, dia berpendapat, membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi –atau bahasa-bahasa lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang tersebut mampu berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi orang yang mampu berbahasa Arab) memang hukumnya makruh menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra, Abû Hanîfah: Hayâtuhu wa ‘Ashruhu wa arâ`uhu wa Fiqhuhu, [Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1977], hlm. 34-35).
Memang pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan “suara lirih” di tengah kuatnya arus pendapat yang tidak memperbolehkan shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi Imam Syafi’i tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan Bahasa Arab dalam Shalat, baik orang yang tahu Bahasa Arab maupun tidak. Imam Syafi’i memang dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab, terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya, menolak pendapat yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada serapan dari Bahasa non-Arab.
Pendapat Imam Syafi’i tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Qur’an. Menurutnya, esensi al-Qur’an bukan semata-mata makna tapi makna yang dibungkus dengan kata-kata. Dengan demikian, Bahasa Arab (al-Qur’an) -dengan segenap ideologinya- adalah bagian substansial dari struktur teks (al-talâzum bain al-lafdzi wa al-ma’nâ)..
Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik mengenai hal ini. Menurutnya, sikap Imam Syafi’i yang begitu keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-Arab, Persia, sehingga ia tidak mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa ta`tsîts al-Idiolojiyat al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbûlî, 1996], cet. II, hlm. 66).
Perdebatan pro-kontra demikian pasti akan selalu berakhir dengan “penindasan” terhadap kelompok yang dianggap menyimpang. Dalam sejarah, pemahaman keagamaan yang dianggap menyimpang dari mainstream hampir selalu (di)kalah(kan) dan dilibas oleh kelompok mainstream dengan berbagai cara, seperti dengan memberi fatwa sesat atau meminjam tangan kekuasaan untuk mengadili dan memenjara.
Kasus ini sebenarnya bisa direfleksikan lebih jauh mengenai wajah keagamaan kita (Islam) yang sangat Arab oriented. Arab, terutama Mekah dan Madinah, menjadi orientasi hampir seluruh segi kehidupan orang Islam, baik ilmu, religiusitas, maupun kebudayaan. Akibatnya, orang sering mencampuradukkan antara agama dan tradisi. Tradisi sering dianggap sebagai agama, dan agama sering dianggap sebagai tradisi. Maraknya revivalisme Islam sekarang ini antara lain disebabkan kegagalan dalam membedakan dan memisahkan aspek-aspek tersebut.
Siapapun tidak bisa menolak bahwa Islam sangat lekat dengan budaya Arab. Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja, karena Islam lahir di Arab, al-Qur’an berbahasa Arab, Nabi Muhammad orang Arab, kiblatnya ada di Arab, kitab-kitab fiqih ditulis dengan bahasa Arab, dan seterusnya. Oleh karena itu tidak perlu heran jika cita rasa Arab begitu dominan dalam hampir seluruh konstruk keislaman. Budaya Arab adalah bahan baku untuk membentuk bangunan Islam. Ke-Arab-an senantiasa menjadi standar dalam menentukan baik-buruk, pantas-tidak pantas, halal-haram dan sebagainya. Bahkan, untuk menentukan apakah suatu jenis makanan itu halal atau haram, lidah orang Arab yang menjadi standar. Kalau lidah orang Arab menganggap sesuatu khabîts (kotor, menjijikkan) maka haram dimakan. Sebaliknya, jika lidah orang Arab mengatakan thayyib (baik, enak), maka halal dimakan untuk semua orang Islam di berbagai belahan dunia.
Dengan demikian, wilayah Islam di luar Arab dianggap sebagai wilayah Islam pinggiran yang tidak mempunyai otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Segala sesuatu yang ada di wilayah pinggiran, harus dikonfirmasikan bagaimana “pusat Islam” menyikapi. Tokoh-tokoh intelektual Indonesia sejak abad 18 M banyak yang menulis kitab fiqih, namun hampir semuanya fiqih berkepribadian Arab. Bahkan, gagasan merumuskan fiqih Indonesia yang pernah dipikirkan Hasbi Ash-Shiddiqi, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “kepribadian Arab”. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digagas untuk membuat fiqih Indonesia juga masih terjebak pada Arabisme.
Dari perspektif tersebut, apa yang dilakukan Yusman Roy di Malang merupakan “suara lirih” untuk melawan hegemoni Arabisme. Memang Yusman Roy kalah berargumentasi, bahkan dipenjara, tapi semangatnya untuk menegaskan identitas keindonesiaan ditengah kuatnya Arabisme patut dihargai.
9. Kasus Komunitas Eden
Korban dari kasus ini adalah Lia “Eden” Aminuddin. Dia divonis dua tahun penjara dengan tuduhan penodaan atas agama. Peristiwa itu berawal pada Rabu, 28 Desember 2005, ketika rumah Lia Aminuddin yang beralamat di Jalan Mahoni 30, Bungur, Jakarta Pusat, dikepung oleh sebagian masyarakat. Mereka memprotes penyebaran ajaran Lia, yang oleh Majelis Ulama Indonesia telah dinyatakan sebagai ajaran sesat. Polisi pun kini telah menetapkan Lia sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar Pasal 156-a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan agama dan penghasutan.
Komunitas Eden lahir tahun 1997 dari kelompok kajian Islam yang bermarkas di rumah pribadi Lia Aminuddin di Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. Dulunya, Lia Aminuddin yang merupakan perangkai bunga yang terkenal. Dia sering tampil di TVRI dan membawakan acara merangkai bunga. Dalam perkembangannya, Lia mengaku merasakan mendapat petunjuk dari Jibril, bahkan kemudian dirinya mengaku sebagai Jibril. Dia menyampaikan pengalaman hidupnya kepada rekan-rekannya dan dapat memperoleh pengikut sebanyak 48 0rang, 15 di antaranya adalah anak-anak. Sejak kelahirannya, komunitas itu tak putus dirundung teror. Pada bulan Mei 2001, sekelompok orang merusak dan mengusir komunitas itu sewaktu bertempat di Mega Mendung, Bogor. Pada 28 Desember 2005, massa kembali mengepung Komunitas Eden. Dan akhirnya anggota komunitas itu dievakuasi secara paksa oleh polisi.
Pengikutnya yang berjumlah 48 ditangkap. Ketut Untung (Kabag Humas Polda Metro Jaya) mengatakan, 15 orang dipulangkan oleh polisi karena dalam pemeriksaan mereka terbukti bukan sebagai anggota aliran itu tetapi sebagai pelayan rumah, pekerja ataupun orang yang bekerja di rumah Lia, Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. "Masa orang yang jadi pembantu di rumah itu juga diperiksa terkait dengan aliran. Mereka kan bukan pengikut aliran karena hanya sebagai pekerja," tegasnya. Sebelumnya, Polda Metro Jaya membawa 48 pengikut aliran Lia Aminuddin dari kediamannya, Rabu (28/12) petang setelah dua hari berturut-turut rumah itu dikepung warga sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan aliran pimpinan Lia.
Kendati para pengikut aliran itu menolak untuk dibawa ke Polda Metro Jaya, namun polisi akhirnya berhasil mengevakuasi kendati sebagian pengikut harus digotong untuk masuk ke dalam bus milik Polda Metro Jaya. Lia, seperti diketahui, menyebarkan ajarannya sudah enam tahun lebih. Dia mencampurkan sejumlah agama. Dan, dia juga berinovasi dalam beribadah. Semula salah satu ibadahnya dengan menyanyikan lagu-lagu rohani diiringi organ. Penampilan jemaat wanitanya serbatertutup, lengkap dengan kerudung, dan berwarna putih semua. Namun belakangan, ibadah kelompok Lia juga dengan mengaji diiringi musik. Belakangan lagi, kelompoknya membuat ritual dengan mengelilingi kawasan Mahoni.
Penampilannya pun selalu berubah sesuai dengan ''wahyu'' yang dia terima. Dahulu, dia berjubah dan berkerudung warna putih. Namun, beberapa tahun kemudian menggunduli rambutnya dan berpakaian ala biksu. Namun, reaksi anggota masyarakat sekitar selama ini tidak terlalu dahsyat. Baru pada Selasa lalu, warga sekitar marah. Pengurus masjid sekitar akan menggelar tablig akbar untuk memerangi ajaran perempuan yang mengaku sebagai Malaikat Jibril itu. Kegiatan itu akan digelar di depan rumah Lia, Sabtu (31/12). Materi tablig akbar tentang Malaikat Jibril palsu.
Warga mengultimatum agar ''Kerajaan Tuhan'' pindah dari Kecamatan Bungur. Lia diberi waktu seminggu dan Rabu kemarin telah memasuki hari ketiga dari ultimatum.Belum diketahui apa ajaran Lia yang meresahkan warga sekitar itu namun diduga karena Lia pernah mengklaim sebagai malaikat Jibril dan mendaulat anaknya sebagai Nabi Isa. Rumah dua lantai milik Lia pun dijadikan sebagai "Kerajaan Tuhan". Diperkirakan, Lia telah menyebarkan ajarannya lebih dari enam tahun.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Firman Gani mengatakan bahwa polisi hanya menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka tunggal dalam kasus penodaan agama. Puluhan pengikut Lia hanya dijadikan saksi dan diwajibkan melapor ke polda. "Undang-undang mengatakan pengikut tidak bisa dijadikan tersangka. Jadi, hanya Lia yang dijadikan tersangka," ujar Firman Gani di Mapolda Metro Jaya, Jumat (30/12). Ia dijerat Pasal 156A KUHP, sebagaimana Lia.
Lia masih meringkuk di tahanan Polda Metro Jaya. Sumber di kepolisian menyebutkan, wanita yang mengaku sebagai Malaikat Jibril itu tetap menolak tuduhan ia menodai agama. Lia bersikukuh bahwa ajaran yang dianut dan dikembangkannya benar. "Ya tetap merasa kalau dirinya benar. Tapi, itu hak dia, karena menyatakan benar atau tidak adalah pengadilan," kata sumber tersebut. Dalam sidang, pengacara dari Koalisi Pembela Kebebasan Beragama itu menuduh Majelis Hakim melanggar asas peradilan yang fair karena menghadirkan saksi ahli yang juga merupakan saksi pelapor, yakni anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Prof Dr Ali Mustofa.
“Baik, kalau begitu Majelis, dengan hormat, karena kami mintakan surat kami, dengan hormat kami berkeberatan untuk mengikuti persidangan ini. Dengan hormat, kami meninggalkan persidangan! Sekian dan terima kasih….” kata Saor Siagian. Saksi lainnya ternyata memberatkan. Ia mengaku kepalanya digunduli, dipukul, bahkan mulutnya dibakar karena dianggap berbohong. Saksi mengaku tinggal di Komunitas Eden selama tiga tahun. Anggota Koalisi Pembela Kebebasan Beragama Asfinawaty menyatakan persidangan kasus Lia Eden tidak pantas dilanjutkan karena cacat hukum. Menurut pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu, persidangan kasus Lia Eden menjadi ujian bagi Indonesia dalam menerapkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Ketua Majelis Hakim Lief Sufijullah yang membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, menyatakan Lia Eden terbukti melakukan perbuatan menodai salah satu ajaran agama yang dilindungi di Indonesia sebagaimana dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana dakwaan ketiga JPU.
Komentar atas Kasus-Kasus
Dalam kaitan ini, ada beberapa catatan penting yang perlu diberikan. Pertama, kasus-kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa/siapa yang dinodai. Siapa yang berhak mengatakan agama tertentu telah dinodai atau tidak. Hal ini sangat mendasar dalam masalah ini. Secara yuridis formal, tentu saja pengambil keputusan pada akhirnya adalah hakim. Namun semua orang tahu bahwa hukum dan hakim tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Apalagi dalam masalah agama, hakim seringkali merasa tidak punya “otoritas” dalam bersikap dan membuat penafsiran.
Kedua, karena masalah di atas, maka suara mainstream seringkali diambil sebagai referensi kebenaran. Dalam Islam misalnya ada doktrin: ‘alaikum bi al-sawâd al-a’dham (hendaklah kamu mengikuti pendapat mayoritas) yang sering digunakan untuk melegitimasi kebenaran mayoritas. Doktrin ini semakin kuat dengan adanya hadis: lâ tajtami’u ummatî ‘alâ dhalâlatin (umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan). Dari doktrin inilah dalam hukum Islam dikenal konsep Ijmâ’ (konsensus ulama) yang menjadi standar kebenaran. Dalam konteks modern, apa yang disebut mayoritas sebagai penguasa kebenaran itu bisa merupakan hasil rekayasa.
Ketiga, karena itu, kasus pengadilan penodaan agama senantiasa melibatkan massa. Pengerahan massa dilakukan bukan saja untuk menyuarakan aspirasi, tapi untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang disuarakan adalah pendapat mayoritas. Tekanan ini pada akhirnya diharapkan mempengaruhi keputusan hakim. Akhirnya, klaim penodaan agama bukanlah masalah hakikat dari kebenaran itu sendiri, tapi lebih karena tekanan massa, masalah mayoritas-minoritas, yang dibungkus dengan otoritas penafsiran agama. Suka atau tidak, demikianlah realitasnya.
Keempat, khusus menyangkut masalah penodaan Lia Eden, pertanyaan yang harus segera dijawab adalah agama apa yang dinodai? Sebagian orang Islam mengatakan bahwa ajaran Lia Eden telah menodai agama Islam. Lia Eden bilang dia adalah Jibril yang mendapat wahyu dari Tuhan, seorang anggotanya dikatakan reinkarnasi Nabi Muhammad, dan sebagainya. Sampai di sini saya belum merasa ada penodaan terhadap Islam, meskipun orang mungkin mengatakan bahwa membawa-bawa nama Jibril dan Nabi Muhammad tidak dalam posisi “sewajarnya” adalah bentuk penodaan terhadap Islam. Lia Eden sendiri mengatakan bahwa dia tidak memeluk agama, tapi percaya pada Tuhan. Karena itu tidak tepat kalau ajaran-ajarannya itu dikatakan menodai Islam. Ajaran-ajaran Lia Eden tidak bisa diletakkan dalam konteks penafsiran tentang Islam, sehingga ajarannya tidak bisa dilihat dengan menggunakan kacamata Islam. Kalau Lia mengaku tidak beragama, mengapa Islam, merasa dinodai? Kalau Lia merasa Jibril datang kepadanya, mengapa Islam merasa terhina? Ini sungguh aneh.
IV. Penodaan Agama versus Otoritas Kelompok Mainstream
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang pasal penodaan agama, perlu didiskusikan dulu tentang sifat melawan hukum. Hal ini penting untuk melihat jenis perbuatan yang bisa dikatakan melanggar hukum. Dalam hukum pidana dikenal dua jenis sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum formil. Sifat melawan hukum materiil sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 rancangan KUHP yang baru memungkinkan orang dijatuhi hukuman jika melakukan hal-hal yang tidak patut dan menusuk rasa keadilan dalam masyarakat, meski perbuatan itu tidak dilarang UU. Sebaliknya, ajaran sifat melawan hukum secara formal (asas legalitas) menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana jika melakukan hal-hal yang dilarang UU yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Di sini memang ada dilema. Persoalan antara perbuatan melawan hukum secara materiil dan secara formal merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan menggunakan prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.
Rencana KUHP kita sebagaimana terlihat dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan. Jadi, keduanya diakomodasi di dalam sistem peradilan kita. Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema. Sebab, di dalam praktiknya, keduanya tidak diperlakukan secara integratif, melainkan alternatif.
Akomodasi atas dilema yang memberi tempat pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari "kemenangan", bukan "kebenaran" dalam perkara pidana. Proses mencari kemenangan bagi pengacara, jaksa, dan hakim sering dilakukan melalui manipulasi atas pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan.
Judicial corruption yang di dalam masyarakat lebih populer disebut mafia peradilan dilakukan dengan manipulasi atas konsep-konsep itu. Jika satu kasus dapat dimenangkan -menurut kehendak dalam proses mafia- melalui prinsip kepastian hukum, proses mafianya mengarahkan putusan pengadilan untuk menggunakan hukum-hukum tertulis dan bukti formal. Tetapi, jika kasus tak bisa dimenangkan -negatif dengan mafia-, yang dipergunakan adalah dalil-dalil tentang rasa keadilan. Itulah sebabnya tidak jarang satu kasus yang sama diputus secara berbeda oleh hakim dengan kelompok penegak hukum yang berbeda. Untuk itu, para hakim tak dapat disalahkan. Sebab, mereka selalu berlindung di bawah prinsip kebebasan dan kemandirian hakim.
Bab tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi agama dan praktik beragama yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, tampaknya negara bermaksud melindungi setiap keyakinan agama dan praktik yang dilakukan oleh pengikutnya dari penodaan dan kecenderungan berbuat tindak pidana terhadap agama.
Namun, pasal-pasal yang termaktub dalam Rancangan KUHP itu bisa saja dipahami secara salah atau terbalik, karena ketidakjelasan definisi yang ada di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan penodaan terhadap agama. Bukankah setiap penganut agama bisa menyatakan bahwa agamanya telah dinodai oleh kelompok lain hanya karena berbeda ajaran dan praktik agama, meskipun dalam satu jenis agama. Seperti yang terjadi pada kasus Ahamdiyah atau Lia Eden, jelas sekali nuansa kerumitannya untuk menentukan apakah mereka telah menodai agama Islam. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang bisa menjamin pengertian dari penodaan terhadap agama. Bukankah selama ini istilah penodaan terhadap agama selalu ditafsirkan oleh kelompok mainstream. Kenyatannya justru banyak aliran keagamaan diserang oleh kelompok mainstream dengan tuduhan kepercayaannya sesat dan menyesatkan. Seharusnya pasal-pasal tersebut justeru untuk melindungi mereka dari serangan pihak mainstream dan hegemonik itu. Tapi apa boleh buat hakim mengikuti cara pandang kelompok mainstream sehingga menghukum kelompok minoritas karena dianggap telah menodai agama.
Istilah penodaan agama sesungguhnya sangat abstrak sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mainstream yang menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik agamanya. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang sangat lentur (hatzaai articelen) yang bisa dipahami secara sepihak. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat pelaku ritual dan penganut keyakinan keagamaan yang berbeda. Dan inilah yang terjadi dengan berbagai kasus yang dituding sebagai kelompok aliran sesat, seperti kasus Pondok Nabi di Bandung (2004), kasus Saleh Situbondo (1996), Lie “Eden” Aminudin di Jakarta (2006).
Karena itulah, istilah-istilah yang terdapat dalam Rancangan KUHP bersifat multitafsir karena istilahnya yang sangat abstrak, sehingga mengakibatkan kelompok mainstream mendominasi dan menghegemoni tafsir atas teks-teks Rancangan KUHP. Untuk itu, maka perlu ada kesepakatan-kesepakatan tentang berbagai istilah yang tertuang dalam KUHP agar tidak salah tafsir.
Jika dilihat dari disain besar keagamaan di Indonesia, secara kasat mata kita bisa lihat, kelompok agama mainstream dari agama-agama resmi terus mengontrol pemahaman keagamaan masyarakat yang ditunjukkan dengan sikap aktif dan reaktif mereka dalam setiap praktik sosial-keagamaan di masyarakat, terutama terhadap aliran yang dianggap menyimpang kelompok mainstream. Karena jumlahnya yang besar (meskipun fragmentasinya sangat beragam), kelompok mainstream dianggap sebagai representasi agama yang sebenarnya, sehingga menafikan kebenaran lain yang berkembang di masyarakat. Dalam kasus Islam, dengan fatwa agama yang dikeluarkan oleh MUI, masyarakat umum lebih mudah menerima dan melakukan proses justifikasi teologis, karena MUI lah yang dianggap memiliki otoritas yang kuat dalam menafsirkan agama. Sehingga dalam praktiknya, Islam yang bukan mainstream dianggap sesat dan menyimpang dengan tolak ukur pada praktik beribadah dan keyakinan teologisnya yang berbeda.
Dalam beberapa kasus akhir-akhir ini tentang aliran sesat mestinya pasal-pasal tersebut bisa melindungi mereka dari penghinaan, penyalahan secara sepihak, tuduhan sesat dan serangan serta pelarangan secara sepihak oleh aparat hukum karena tekanan dari manapun, dari mereka yang tidak sepaham atau bahkan dari MUI. Tetapi kenyataannya justeru sebaliknya. Mereka dipersalahkan dan dituduh menodai agama, padahal kalau dilihat dari pasal-pasal di sini seharusnya MUI dan seseorang atau sekelompok orang yang menghina, menuduh sesat serta menyerang lah yang seharusnya dikenai pasal-pasal agama dalam KUHP ini, dan juga aparat keamanan dan hukum yang melarang tanpa proses pengadilan bisa dikenai pasal-pasal. Tapi apa boleh buat, kelompok yang bukan mainstream tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan guna mendapatkan perlindungan yang layak dari negara.
Pasal-pasal yang termaktub dalam Rancangan KUHP jelas sekali terlihat bahwa objek hukum yang diatur menimbulkan perbedaan tafsir. Ketidakjelasan objek yang diatur, seperti soal simbol agama, sifat dan keagungan Tuhan bisa membuat perbedaan pemahaman di masyarakat. Di satu sisi, bagi penganut agama tertentu, simbol itu dianggap suci, yang diagung-agungkan, tetapi bagi kelompok lain tidak dianggap suci. Hal ini bisa berakibat konflik serius dalam mendudukkan simbol keagamaan yang dianggap suci. Lantas bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikannya dalam persoalan-persoalan riil di masyarakat. Sudah seharusnya objek hukum yang diatur adalah sesuatu yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat beragama.
V. Agama Resmi dan Tidak Resmi
Agama-agama yang dianut di Indonesia sebenarnya berjumlah sangat banyak, dari agama yang sering disebut sebagai agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga agama-agama lain, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya. Belum lagi agama-agama lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat sebelum kedatangan agama pendatang (Islam dan Kristen), yang kemudian sering disebut sebagai aliran kepercayaan sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadatnya. Realitas inilah yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku dan agama. Dengan kemajemukannya inilah, potensi pertentangan dalam kontestasi untuk menyatukan berbagai aliran dan paham kagamaan semakin besar. Paling tidak, kelompok mainstream akan menguasai panggung kontestasi untuk merebut makna-makna pemahaman keagamaan yang berserakan dalam kemejemukan masyarakat.
Dalam konteks keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia ini, ternyata negara justru membatasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara. Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sangat banyak atau paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang berkembang di masyarakat. Negara justru hanya memberi batasan bahwa ada 6 agama resmi yang diakui. Selain agama yang 6 ini, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.
Hal itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1 /PNPS/1965 tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktek di lapangan kesan pengingkaran terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan dimana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat, tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari raya dan sebagainya. Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE tersebut, Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia. Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui, sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah kecuali UGM yang sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir ini maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali.
Inilah yang mendasari dirumuskannya Rancangan KUHP terutama soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama (pasal 341-348). Di Bab itulah agama menjadi kata kunci untuk menentukan tindak pidana seseorang. Apakah yang dimaksud dengan agama? Apakah agama masih dipahami secara konvensional; memiliki Tuhan, kitab suci, nabi, dan jumlah penganut. Kalau demikian penegertiannya, maka jelas sekali bahwa arti kata agama dalam Rancangan KUHP dipahami dengan 6 agama resmi yang diakui negara, sehingga tidak mencakup atau tidak memberi ruang terhadap kepercayaan lokal (CF pasal 18 ICCPR), karena tidak memiliki persyaratan untuk disebut agama.
Pengakuan 6 agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama ”korporatis” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu Dharma Indonesia. Lembaga-lembaga agama “korporatis” negara ini kemudian dipercaya sebagai pemegang otoritas agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dll.
Lembaga-lembaga agama tersebut sesungguhnya mencerminkan kebenaran yang dijustifikasi. Dengan kata lain, lembaga agama inilah yang memproduksi dan menjustifikasi kebenaran suatu agama. Sementara kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain menjadi tidak terjustifikasi. Inilah yang menjadikan telah hilangnya makna agama yang substansial, yang pada gilirannya digantikan oleh lembaga agama atau agama yang dilembagakan, yang dalam teori sosial disebut institusionalized religion dalam bentuk organisasi keagamaan. Sehingga militansi dan fanatisme selalu dirujuk pada bagaimana pengikut organisasi mengikuti kebenaran yang telah dirumuskan oleh suatu organisasi agama. Kebenaran kemudian menjadi milik suatu organisasi agama yang dianut oleh anggotanya. Selama ini orang tidak sadar bahwa militansi terhadap “agama yang telah terlembaga” lebih besar ketimbang agamanya itu sendiri. Meskipun terkesan seseorang berjuang untuk menegakkan agama, tetapi yang sesungguhnya kita lihat adalah ia berjuang untuk “agama yang telah terlembaga”.
Dampak dari perlakuan yang berbeda secara normatif dalam Undang-undang dengan pemilahan agama resmi dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No. 1/PnPs/1965 pasal 1 ). Pada gilirannya, negara hanya melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap sesat oleh kelompok mainstream tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia, bahkan mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di pengadilan.
Jika dilhat latarbelakang sejarahnya, Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan yang terpenting, Undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran keagamaan di luar agama yang resmi.
Kecenderungan negara yang diskriminatif tampaknya akan terlihat jelas dalam Rancangan KUHP, karena perlindungan menjalankan ibadah hanya diberikan kepada agama yang diakui negara saja, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Sementara keyakinan atau kepercayaan lain di luar itu tidak mendapat jaminan menjalankan keyakinan. Bahkan, keyakinan itu dapat dianggap sebagai “meniadakan keyakinan agama yang dianut”yang dijadikan tindak pidana. Perlindungan terhadap agama resmi itu dengan aktivitas mengganggu, mengejek, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan dan sebagainya.
Argumentasi ini ingin mengatakan Rancangan KUHP, tidak mengakomodasi agama atau kepercayaan/keyakinan lokal diluar agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Kristen Katolik. Para peserta seminar dan workshop juga dapat menangkap ide pemikiran di balik pasal ini, bahwa kepercayaan atau keyakinan lokal yang tumbuh subur di masyarakat dianggap sebagai penghalang, dan pengganggu bagi agama yang formal tadi. Secara tidak langsung negara melakukan tindakan disriminatif terhadap kepercayaan lokal.
VI. Tindak Pidana Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP
The Wahid Instutute telah menyelenggarakan seminar dan workshop di lima kota; Jakarta, Surabaya, Banten, Bandung, dan Mataram yang dimaksudkan untuk mengkritisi RUU KUHP yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai Undang-undang. Seminar dan workshop secara khusus membahas, mendiskusikan, dan mengkritisi pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana agama (Bab VII: Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama; pasal 341-348).
Berikut ini akan dikemukakan pasal-pasal tindak pidana agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat dalam RUU KUHP:
Bab VII
Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
Bagian I
Tindak Pidana terhadap Agama Dan Kehidupan Beragama
Penghinaan terhadap Agama
Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 344
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih ditahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama
Pasal 345
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Bagian II
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah
Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan
Pasal 346
(1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 347
Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
Perusakan Tempat Ibadah
Pasal 348
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Jika dalam KUHP lama hanya ada satu pasal yang dikaitkan dengan penodaan agama (pasal 156ª), dalam RUU KUHP, satu pasal itu direntang menjadi 8 pasal. Tindak pidana terhadap agama yang termaktub dalam RUU KUHP terdiri dari dua bagian, yaitu tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Bagian pertama berisi penghinaan terhadap agama yang terdiri dari 4 pasal (pasal 341-344). Pada bagian ini, RUU KUHP sebenarnya melanjutkan KUHP lama soal delik agama, tepatnya delik terhadap agama. Karena itu, yang ingin dilindungi oleh bagian ini adalah agama itu sendiri. Perlindungan itu diberikan untuk melindungi agama dari tindakan penghinaan.
Hal-hal yang dipandang sebagai penghinaan terhadap agama antara lain adalah penghinaan terhadap agama (341), menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya (342); mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (343); menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, memperdengarkan rekaman yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341-343 (344 ayat 1); penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia (345).
Pertanyaan yang bisa didiskusikan dalam masalah ini adalah sejauhmana negara mempunyai kewenangan untuk memberi perlindungan terhadap agama? Benarkah ada yang namanya delik agama? Kalau ada, apakah delik agama bisa memenuhi syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam hukum pidana?
Sebagaimana telah diuraikan, delik agama dalam KUHP diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji dengan argumen-argumen yang sebagian telah dijelaskan di atas. Penulis cenderung berpendapat, bahwa hukum pidana tidak sepatutnya diarahkan untuk melindungi agama, karena pada dasarnya keberadaan agama tidak memerlukan perlindungan dari siapapun, termasuk negara. Perlindungan negara dalam bentuk undang-undang akhirnya ditujukan pada pemeluk agama, bukan agama itu sendiri. Terlalu naif kalau sebuah undang-undang yang relatif dan temporer sifatnya bermaksud melindungi sesuatu yang mutlak dan diyakini berasal dari Tuhan. Yang absolut tidak bisa disandarkan pada yang relatif. Karena itu, delik agama dalam RUU KUHP yang bermaksud melindungi agama jelas merupakan kesalahan berpikir.
Selain itu, perluasan delik agama ini terlihat mengarah pada over kriminalisasi (overcriminalization). Seharusnya yang diproteksi melalui hukum pidana adalah freedom of religion. Kalau hal ini yang dilindungi, maka menurut hukum hak asasi manusia internasional, yang dilindungi adalah respecting people’s rights to practice the religion of their choice, bukan melindungi respecting religion. Sedangkan yang diatur dalam Rancangan KHUP ini lebih banyak ditujukan pada perlindungan respecting religion ketimbang respecting people’s rights to practice the religion of their choice.
Indonesia sebagai bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-macam agama dan kelompok-kelompok agama, sudah seharusnya mengembangkan suatu paradigma freedom of religion, yakni seluruh keyakinan agama yang hidup dan berkembang di masyarakat dilindungi bukan untuk diseragamkan sesuai dengan keyakinan kelompok mainstream. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, bangsa kita sedang dihadapkan pada persoalan krusial, yakni hilangnya toleransi yang sudah sejak lama dipupuk sebagai bagian dari modal sosial yang paling berharga bagi bangsa.
Indonesia sebagai negara yang toleran seakan tidak mampu menghilangkan sikap-sikap intoleran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan unifikasi pandangan keagamaan. Apalah jadinya jika sikap-sikap intoleran yang dibarengi dengan aksi kekerasan menjadi trade mark baru bagi bangsa Indonesia. Karena itulah, pemaksaan keyakinan dan praktik agama sesuai dengan keyakinan dan pratik keagamaan mainstream sesungguhnya tidak bisa memahami perbedaan pandangan dan praktik keberagamaan yang terjadi dalam proses menuju jalan Tuhan.
Dalam konteks inilah, cukup praktik kehidupan beragama (pasal-pasal bagian II RKUHP) yang diatur dalam perundang-undangan karena memang inilah yang mesti mendapat perlindungan dari negara. Dalam hal ini, negara semestinya melindungi hak-hak setiap warga negara yang ingin melakukan praktik ritual keagamannya secara bebas. Lagi pula untuk membuktikannya tidak mengalami kesulitan karena ukuran yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah perbuatan itu melanggar hukum atau tidak mudah didapatkan. Perbuatan merintangi, mengganggu dan membubarkan kekerasan terhadap jamaah yang sedang beribadah, merusak atau membakar tempat ibadah adalah perbuatan yang jelas ukurannya dan tidak sulit untuk membuktikannya.
Dengan cara pandang demikian, maka negaralah yang melindungi agama masyarakatnya, apa pun agamanya tanpa adanya tudingan sesat, kehidupan beragama akan lebih mengarah pada orientasi yang toleran, damai, tanpa kekerasan. Jika negara hanya memihak pada agama resmi dengan segala tafsir yang dimilikinya, maka negara gagal mengelola kemajemukan agama di masyarakat. Karena itulah, 8 pasal dalam Rancangan KUHP sudah sepantasnya disederhanakan untuk kepentingan jaminan kebebasan beragama. Maka cukup pasal-pasal yang mengatur tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (pasal 346-348).
Dengan demikian, sudah sepantasnya pasal-pasal yang terdapat dalam bagian tentang Tindak Pidana terhadap Agama ditinjau ulang. Selama tidak ada kejelasan tentang sesuatu yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, yang bisa berakibat pada perselesihan pemahaman, maka lebih baik dihapus. Bukankah ketidakjelasan tentang apa yang diatur itu akan berakibat pada kesulitan untuk membuktikannnya. Peninjauan ulang pasal penodaan agama itu (pasal 341-344 RUU KUHP) dengan mempertimbangkan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pasal-pasal tersebut lebih diorientasikan untuk melindungi dan memproteksi agama, bukan memproteksi kebebasan beragama. Yang diperlukan dalam hal ini adalah memproteksi jaminan kebebasan beragama, bukan perlindungan terhadap agama.
2. Pasal-pasal agama multi tarsir. Hakim biasanya akan mengikuti pendapat mayoritas, sehingga sangat potensial penindasan atas paham keagaamaan yang non-mainstream oleh kelompok mainstream. Akibat lebih jauh kelompok mainstream akan dengan mudah menuduh seseorang melakukan tindak pidana agama, apalagi kalau tuduhan tersebut digerakkan melalui provokasi massa.
3. Definisi agama hanya mencakup agama yang diakui oleh negara, tidak mencakup kepercayaan lokal. Akibatnya, menghina keyakinan lokal masyarakat adat dianggap bukan sebagai penodaan agama.
4. Definisi pelaku dan korban (subyek dan obyek hukum) tidak jelas. Adakah tindak pidana terhadap agama? Jika seseorang melakukan tindak pidana agama, pada dasarnya bukan tindak pidana terhadap agama tapi tindak pidana terhadap umat beragama.
5. Pasal-pasal penodaan agama dapat dimasukkan dalam pasal-pasal lain dalam RUU KUHP tentang penghinaan terhadap golongan penduduk pasal 286-287. Bunyinya: Pasal 286: “setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Pasal 287: “(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan menyangkut pasal 345 RUU KUHP tentang Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama perlu mendapat perhatian serius. Pasal 345 dirumuskan: “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.” Pasal ini ingin mengkriminalisasi terhadap orang yang di depan umum menghasut orang lain untuk tidak beragama atau mengajak pindah agama. Orang yang berpindah agama atau tidak beragama itu sendiri tidak dianggap perbuatan kriminal, tapi orang yang “menghasut” dianggap kriminal.
Penulis berpendapat bahwa pasal ini sangat potensial menimbulkan ketegangan antar umat beragama, terutama agama-agama misionaris seperti Islam dan Kristen. Orang yang berdakwah di televisi atau radio untuk “mengajak” orang yang berbeda agama untuk masuk pada agama si pendakwah, bisa dikatakan telah melakukan tindak kriminal. Kata “menghasut” itu sendiri sangat multitafsir karena orang berceramah bisa juga dikatakan sebagai hasutan bagi orang yang merasa keyakinannnya terancam. Oleh karena itu, pasal ini lebih tepat diarahkan sebagai bentuk perlindungan pada keyakinan keagamaan individu dari kemungkinan pemaksaan dan ancaman orang lain untuk pindah agama. Oleh karena itu, krimiminalisasi bukan dengan kata “mengahasut” yang bisa multi tafsir, tapi harus disertai dengan unsur “paksaan” dan “ancaman”. Dengan demikian rumusan pasal 345 bisa berbunyi: “Setiap orang yang memaksa dan atau mengancam orang lain dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama
Pasal-pasal yang mengatur soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah menjadi tolak ukur krusial bagi kebebasan beragama bagi masyarakat yang beragama. Dalam konteks ini, apakah negara menjamin kebebasan beragama masyarakat atau justru menjustifikasi kekerasan atas nama agama.
Delik pidana terhadap kehidupan beragama dimaksudkan untuk melindungi umat beragama dari berbagai perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. Dalam RUU KUHP terdapat beberapa hal yang dipandang perumus RUU KUHP sebagai hal yang harus dilindungi dari perbuatan tertentu. Perlindungan terhadap umat beragama itu dirumuskan dalam beberapa bentuk: mengganggu, merintangi, membubarkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan (346 ayat 1); membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung (346 ayat 2); mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (347); menodai, merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (348).
Meski secara garis besar penulis bisa menerima delik penodaan terhadap kehidupan beragama, namun tetap saja perlu diwaspadai kemungkinan kesewenang-wenangan yang justru bisa mengancam kebebasan kehidupan beragama. Misalnya saja, apa yang dimaksud “...membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah...”, “....mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah...” atau siapa yang dimaksud dengan “petugas agama”. Hal-hal demikian perlu dirumuskan secara lebih tajam agar rumusan tersebut tidak justru merusak harmoni kehidupan beragama.[]
0 komentar:
Posting Komentar