Cari Blog Ini

Rabu, 30 Maret 2011

Wawasan Al-Qur'an & KEBANGSAAN

"Kebangsaan" terbentuk dari kata  "bangsa"  yang  dalam  Kamus
Besar    Bahasa   Indonesia,   diartikan   sebagai   "kesatuan
orang-orang yang bersamaan asal keturunan,  adat,  bahasa  dan
sejarahnya,    serta   berpemerintahan   sendõri."   Sedangkan
kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa."
 
Para  pakar  berbeda  pendapat  tentang unsur-unsur yang harus
terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa.
Demikian  pula  mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang
mutlak harus terpenuLi guna  terwujudnya  sebuah  bangsa  atau
kebangsaan.  Hal  ini  merupakan kesulitan tersendiri di dalam
upaya memahami pandangan Al-Quran tentang paham kebangsaan.
 
Di sisi lain, paham kebangsaan --pada dasarnya-- belum dikenal
pada  masa  turunnya  Al-Quran.  Paham  ini  baru  muncul  dan
berkembang di Eropa sejak akhir  abad  ke-18,  dan  dari  sana
menyebar ke seluruh dunia Islam.
 
Memang,  keterikatan  kepada tanah tumpah darah, adat istiadat
leluhur, serta penguasa setempat  telah  menghiasi  jiwa  umat
manusia   sejak   dahulu   kala,   tetapi   paham   kebangsaan
(nasionalisme) dengan pengertiannya  yang  lumrah  dewasa  ini
baru dikenal pada akhir abad ke-18.
 
Yang  pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat
Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas,
seperti  telah  diketahui,  setelah  Revolusi  1789,  Perancis
menjadi salah  satu  negara  besar  yang  berusaha  melebarkan
sayapnya.  Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan
berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan  salah
satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir
itu beragama  Islam,  tetapi  mereka  berasal  dari  keturunan
orang-orang  Turki.  Napoleon  mempergunakan  sisi  ini  untuk
memisahkan  orang-orang  Mesir  dan  menjauhkan  mereka   dari
penguasa  dengan  menyatakan  bahwa  orang-orang Mamluk adalah
orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon
memperkenalkan  istilah Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika
itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah
amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah
 
Al-Ummah  Al-Mishriyah  dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada
perkembangan   selanjutnya   lahirlah   ummah    lain,    atau
bangsa-bangsa lain.
 
MENEMUKAN WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN
 
Untuk  memahami  wawasan  Al-Quran  tentang  paham kebangsaan,
salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah,  "Kata  apakah
yang   sebenarnya  dipergunakan  oleh  kitab  suci  itu  untuk
menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya'b, qaum,
atau ummah?"
 
Kata  qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh  orang-orang  Arab
dewasa    ini   dengan   istilah   Al-Qaumiyah   Al-'Arabiyah.
Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab  Mesir  pada  1960,  dalam  buku
Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata ummah.
 
Kata   sya'b   juga  diterjemahkan  sebagai  "bangsa"  seperti
ditemukan  dalam  terjemahan  Al-Quran   yang   disusun   oleh
Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat
(49): 13.
 
Apakah  untuk  memahami   wawasan   Al-Quran   tentang   paham
kebangsaan  perlu  merujuk  kepada  ayat-ayat yang menggunakan
kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh  sebagian  orang
selama   ini?  Misalnya,  dengan  menunjukkan  Al-Quran  surat
Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan:
 
     Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi
     menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang
     perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa
     dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal.
     Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi
     Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
     Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
 
Apakah dari ayat  ini,  nampak  bahwa  Islam  mendukung  paham
kebangsaan karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa?
 
Mestikah untuk mendukung atau menolak paham  kebangsaan,  kata
qaum  yang  ditemukan  dalam  Al-Quran  sebanyak  322 kali itu
ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang  sedemikian
banyak,   merupakan   bukti  bahwa  Al-Quran  mendukung  paham
kebangasaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya  dengan,
"Ya  Qaumi"  (Wahai  kaumku/bangsaku),  walaupun  mereka tidak
beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran  surat
Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!).
 
Di  sisi  lain,  dapatkah  dibenarkan pandangan sebagian orang
yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan,
dengan    menyatakan   bahwa   Allah   Swt.   dalam   Al-Quran
memerintahkan Nabi Saw. untuk menyeru masyarakat tidak  dengan
kata  qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas" (wahai seluruh manusia),
serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya  dengan  "Ya
ayyuhal   ladzina   'amanu?"  Benarkah  dalam  Al-Quran  tidak
ditemukan bahwa Nabi Muhammad Saw. menggunakan kata qaum untuk
menunjuk  kepada  masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian
orang? [1]
 
Catatan kaki:
 
[1] Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak
     benar, karena dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30
     secara tegas dinyatakan, bahwa Rasulullah saw.
     mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan,
     "Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu
     yang tidak diacuhkan."
 
Hemat penulis untuk menemukan wawasan Al-Quran  tentang  paham
kebangsaan,  tidak  cukup  sekadar  menoleh  kepada  kata-kata
tersebut  yang  digunakan  oleh  Al-Quran,  karena  pengertian
semantiknya  dapat  berbeda  dengan  pengertian yang dikandung
oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan
dalam  Al-Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun
maknanya sekarang  telah  berubah  menjadi  mobil.  Makna  ini
tentunya  berbeda  dengan  maksud Al-Quran ketika menceritakan
ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf  a.s.  yang  membuangnya  ke
dalam  sumur  dengan  harapan  dipungut  oleh  sayyarah  yakni
kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).
 
Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang
berarti "berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan
untuk  menunjukkan  sekumpulan  manusia  yang  bangkit   untuk
berperang  membela  sesuatu. Karena itu, kata ini pada awalnya
hanya digunakan untuk lelaki, bukan  perempuan  seperti  dalam
firman Allah:
 
     Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum
     (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan
     perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain,
     karena boleh jadi mereka (yang diejek) lebih baik
     daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]:
     11).
 
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan  dalam  Al-Quran,  itu
pun  berbentuk  plural,  dan pada mulanya mempunyai dua makna,
cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip
oleh  At-Tabarsi  dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan
arti kelompok non-Arab, sama dengan  qabilah  untuk  suku-suku
Arab.
 
Betapapun,  kedua  kata  yang  disebutkan  tadi, dan kata-kata
lainnya,  tidak  menunjukkan  arti  bangsa  sebagaimana   yang
dimaksud pada istilah masa kini.
 
Hal  yang  dikemukakan  ini,  tidak  lantas  menjadikan  surat
Al-Hujurat  yang   diajukan   tertolak   sebagai   argumentasi
pandangan  kebangsaan yang direstui Al-Quran. Hanya saja, cara
pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata  sya'b  sama
dengan bangsa atau kebangsaan.
 
APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN?
 
Apakah yang dimaksud dengan paham kebangsaan?  Sungguh  banyak
pendapat  yang  berbeda  satu  dengan yang lain. Demikian pula
dengan pertanyaan yang muncul disertai jawaban  yang  beragam,
misalnya:
 
Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamann asal keturunan, atau
bahasa? Apakah yang  dimaksud  dengan  keturunan  dan  bahasa?
Apakah kebangsaan merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan
cita-cita meraih masa depan? Unsur-unsur apakah yang mendukung
terciptanya kebangsaan? Dan masih ada sekian banyak pertanyaan
lain. Sehingga mungkin benar  pula  pendapat  yang  menyatakan
bahwa  paham  kebangsaan adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya diketahui gejala
dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.
 
Pertanyaan  yang  antara lain ingin dimunculkan adalah "Apakah
unsur-unsur tersebut dapat  diterima,  didukung,  atau  bahkan
inklusif  di dalam ajaran Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima
wadah  yang  menghimpun  keseluruhan  unsur   tersebut   tanpa
mempertimbangkan  kesatuan  agama? Berikut ini akan dijekaskan
beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan.
 
1. Kesatuan/Persatuan
 
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran  memerintahkan  persatuan
dan  kesatuan.  Sebagaimana  secara  jelas pula Kitab suci ini
menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu  ini  adalah  umat  yang
satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52).
 
Pertanyaan  yang  dapat  saja muncul berkaitan dengan ayat ini
adalah:
 
  a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan
     penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah
     kenegaraan?
     
  b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya
     persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang
     disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan,
     adat, bahasa, dan sejarah?
 
Yang  harus  dipahami  pertama  kali  adalah  pengertian   dan
penggunaan  Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51
kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda.
 
Ar-Raghib  Al-Isfahani  --pakar  bahasa  yang  menyusun  kamus
Al-Quran  Al-Mufradat  fi  Ghanb  Al-Quran-- menjelaskan bahwa
ummat  adalah  "kelompok  yang  dihimpun  oleh  sesuatu,  baik
persamaan  agama,  waktu,  atau tempat, baik pengelompokan itu
secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri."
 
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok  dinamakan  umat,
bahkan binatang pun demikian.
 
     Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di
     bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan
     kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ... (0S
     Al-An'am [6]: 38).
 
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran.  Ada
yang  berpendapat  minimal  empat  puluh  atau  seratus orang.
Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat  bahkan
untuk  seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau
jasa, yang biasanya hanya dimiliki  oleh  banyak  orang.  Nabi
Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat
An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.
 
     Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat
     dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan
     tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan
     (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120).
 
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna  kata  umat  dalam
Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada
batas  minimal  atau  maksimal  untuk  suatu  persatuan.  Yang
membatasi  hanyalah  bahasa,  yang  tidak  menyebutkan  adanya
persatuan tunggal.

KEBANGSAAN                                               (2/3)
 
Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan  kali
kata  ummat  yang  digandengkan  dengan  kata wahidah, sebagai
sifat umat. Tidak  sekali  pun  Al-Quran  menggunakan  istilah
Wahdat  Al-Ummah  atau  Tauhid  Al-Ummah  (Kesatuan/ penyatuan
umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq,
mantan   Dekan   Fakultas   Ushuluddin  Al-Azhar  Mesir,  yang
disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409
H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan
bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa  yang  pokok
adalah persatuan, bukan penyatuan.
 
Perlu  pula  digarisbawahi,  bahwa  makna  umat  dalam konteks
tersebut adalah pemeluk agama Islam.  Sehingga  ayat  tersebut
pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama
yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya,  tiada  perbedaan
dalam  akidahnya,  walaupun  dapat  berbeda-beda dalam rincian
(furu')  ajarannya.   Artinya,   kitab   suci   ini   mengakui
kebhinekaan dalam ketunggalan.
 
Ini  juga  sejalan  dengan  kehendak  Ilahi,  antara lain yang
dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:
 
     Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
     kamu satu umat (saja).
 
Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana  terpahami  dari
perandaian  kata  lauw,  yang  oleh  para  ulama  dinamai harf
imtina' limtina',  atau  dengan  kata  lain,  mengandung  arti
kemustahilan.
 
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut
penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu  wadah  persatuan
saja, dan menolak paham kebangsaan.
 
Jamaluddin  Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan
Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya
itu  bukan  menuntut  agar  umat  Islam  berada  di bawah satu
kekuasaan,  tetapi  hendaknya  mereka  mengarah  kepada   satu
tujuan,   serta   saling  membantu  untuk  menjaga  keberadaan
masing-masing.
 
     Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang
     berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang
     penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105).
 
Kalimat "dan  berselisih"  digandengkan  dengan  "berkelompok"
untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan
yang mengakibatkan perselisihan.
 
Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan,
atau   ditolaknya   segala   ciri/sifat   yang  dimiliki  oleh
perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.
 
Kelenturan kandungan  makna  ummat  seperti  yang  dikemukakan
terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa
dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum
dan  menyerahkan  kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai umum itu.  Ini  merupakan  salah  satu
keistimewaan  Al-Quran  dan  salah  satu  faktor kesesuaiannya
dengan setiap waktu dan tempat.
 
Dengan demikian,  terjawablah  pertanyaan  pertama  itu  yakni
Al-Quran  tidak  mengharuskan  penyatuan seluruh umat Islam ke
dalam  satu  wadah  kenegaraan.  Sistem  kekhalifahan   --yang
dikenal  sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan
salah  satu  bentuk  yang  dapat  dibenarkan,   tetapi   bukan
satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika
perkembangan  pemikiran  manusia  atau  kebutuhan   masyarakat
menuntut  bentuk  lain,  hal  itu  dibenarkan pula oleh Islam,
selama  nilai-nilai  yang   diamanatkan   maupun   unsur-unsur
perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.
 
2. Asal Keturunan
 
Tanpa  mempersoalkan  perbedaan makna dan pandangan para pakar
tentang kemutlakan  unsur  "persamaan  keturunan",  dalam  hal
kebangsaan,  atau  melihat  kenyataan  bahwa tiada satu bangsa
yang hidup pada masa kini  yang  semua  anggota  masyarakatnya
berasal  dari  keturunan  yang  sama,  tanpa mempersoalkan itu
semua dapat ditegaskan bahwa salah satu tujuan kehadiran agama
adalah  memelihara keturunan. Syariat perkawinan dengan syarat
dan rukun-rukunnya, siapa yang boleh dan tidak boleh  dikawini
dan  sebagainya,  merupakan  salah  satu  cara  Al-Quran untuk
memelihara keturunan.
 
Al-Quran menegaskan bahwa Allah Swt. menciptakan manusia  dari
satu  keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras
manusia), agar mereka saling  mengenal  potensi  masing-masing
dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
 
Ini  berarti bahwa Al-Quran merestui pengelompokan berdasarkan
keturunan,  selama  tidak   menimbulkan   perpecahan,   bahkan
mendukungnya demi mencapai kemaslahatan bersama.
 
Dari beberapa ayat Al-Quran, dapat ditarik pembenaran hal ini,
atau paling  tidak  "tiada  penolakan"  terhadapnya.  Misalnya
dalam Al-Quran surat Al-A'raf (7): 160:
 
     Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang
     masing-masing menjadi umat, dan Kami wahyukan kepada
     Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya, "Pukullah
     batu itu dengan tongkatmu!" Maka memancarlah darinya
     dua belas mata air...
 
Rasul Muhammad Saw. sendiri pernah diperintahkan oleh Al-Quran
surat  AsyS-yu'ara'  ayat  214  agar memberi peringatan kepada
kerabat dekatnya. Hal itu menunjukkan bahwa penggabungan  diri
ke dalam satu wadah kekerabatan dapat disetujui oleh Al-Quran,
apalagi menggabungkan diri pada wadah yang lebih besar semacam
kebangsaan.
 
Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah
Saw.  ketika  beliau  baru  tiba  di   Madinah   yang   berisi
ketentuan/kesepakatan  yang mengikat masyarakat Madinah justru
mengelompokkan  anggotanya  pada   suku-suku   tertentu,   dan
masing-masing  dinamai  ummat.  Kemudian,  mereka yang berbeda
agama itu bersepakat menjalin persatuan  ketika  membela  kota
Madinah dari serangan musuh.
 
Nabi  Luth  a.s.  sebagaimana  dikemukakan  Al-Quran, mengeluh
karena  kaum  atau  bangsanya  tidak  menerima  dakwahnya.  Ia
mengeluh sambil berkata:
 
     Seandainya aku mempunyai kekuatan denganmu, atau kalau
     aku dapat berlindung niscaya aku lakukan (QS Hud [11]:
     80).
 
Yang dimaksud dengan "kekuatan" adalah pembela  dan  pembantu,
yang  dimaksud dengan perlindungan adalah keluarga dan anggota
masyarakat atau bangsa.
 
Rasulullah Saw. sendiri dalam  perjuangan  di  Makkah,  justru
mendapat  pembelaan  dari  keluarga  besar  beliau,  baik yang
percaya maupun yang tidak. Dan ketika terjadi pemboikotan dari
penduduk Makkah, mereka memboikot Nabi dan keluarga besar Bani
Hasyim. Abu Thalib yang bukan anggota masyarakat Muslim ketika
itu  dengan  tegas  berkata,  "Demi  Allah'  kami  tidak  akan
menyerahkannya (Nabi Muhammad Saw.) sampai yang terakhir  dari
kami gugur."
 
Sejalan  dengan  kenyataan  di  atas  Nabi Saw. pernah khutbah
dengan menyatakan:
 
     Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya
     selama (pembelaannya) bukan dosa (HR Abu Daud melalui
     sahabat Suraqah bin Malik).
 
Hanya  saja  pengelompokan  dalam  suku  bangsa  tidak   boleh
menyebabkan   fanatisme   buta,   apalagi   menimbulkan  sikap
superioritas, dan pelecehan.  Rasulullah  Saw.  mengistilahkan
hal itu dengan al-'ashabiyah.
 
     Bukanlah dari kelompok kita yang mengajak kepada
     'ashabiyyah, bukan juga yang berperang atas dasar
     'ashabiyah, bukan juga yang mati dengan keadaan
     (mendukung) 'ashabiyyah (HR Abu Daud dari sahabat
     Jubair bin Muth'im).
 
Rasulullah  Saw.  mempergunakan  ungkapan  yang   populer   di
kalangan   orang-orang  Arab  sebelum  Islam,  "Unshur  akhaka
zhalim(an) au mazhlum(an)" (Belalah saudaramu yang  menganiaya
atau  dianiaya),  sambil  menjelaskan bahwa pembelaan terhadap
orang yang melakukan penganisyaan  adalah  dengan  mencegahnya
melakukan penganiayaan (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).
 
Walaupun   Al-Quran   mengakui  adanya  kelompok  suku,  namun
Al-Quran  juga  mengisyaratkan  bahwa  sesuatu  yang  memiliki
kesamaan  sifat  dapat  digabungkan ke dalam satu wadah. Iblis
yang dalam Al-Quran surat Al-Kahf  (18):  50  dinyatakan  dari
jenis  jin.  Sesungguhnya  ia  (Iblis)  adalah dari jenis Jin,
dimasukkan Allah dalam kelompok  malaikat  yang  diperintahkan
sujud  kepada  Adam.  Karena,  ketika  itu,  Iblis begitu taat
beragama,  tidak  kalah  dari  ketaatan  para  malaikat.   Itu
sebabnya  walaupun  yang  diperintah  untuk  sujud kepada Adam
adalah para malaikat (QS Al-A'raf [7]: 11) tetapi  Iblis  yang
dari  kelompok  jin  yang  telah bergabung dengan malaikat itu
termasuk diperintah, karenanya ketika enggan  ia  dikecam  dan
dikutuk Tuhan.
 
Dalam  konteks  paham  kebangsaan,  Rasulullah Saw. memasukkan
sahabatnya  Salman,  Suhaib,  dan  Bilal  yang   masing-masing
berasal  dari  Persia, Romawi, dan Habasyah (Etiopia) ke dalam
kelompok orang Arab.
 
Ibnu 'Asakir dalam  tarikhnya  meriwayatkan,  ketika  sebagian
sahabat meremehkan ketiga orang tersebut, Nabi Saw. bersabda:
 
     Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan
     disebabkan karena ayah dan tidak pula karena ibu,
     tetapi karena bahasa, sehingga siapapun yang berbahasa
     Arab, dia adalah orang Arab.
 
Bahkan Salman Al-Farisi dinyatakan  Nabi  sebagai  "minna  Ahl
Al-Bait  (dari  kelompok  kita  [Ahl  Al-Bait]), karena beliau
begitu dekat secara pribadi kepada Nabi dan keluarganya, serta
memiliki pandangan hidup yang sama dengan Ahl Al-Bait.
 
Keterikatan kepada asal keturunan sama sekali tidak terhalangi
oleh agama,  bahkan  inklusif  di  dalam  ajarannya.  Bukankah
Al-Quran  dalam  surat  Al-Ahzab  ayat  5  memerintahkan untuk
memelihara keturunan dan  memerintahkan  untuk  menyebut  nama
seseorang bergandengan dengan nama orang tuanya?
 
     Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan
     (menggandengkan namanya dengan nama) bapak-bapak
     mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah (QS
     Al-Ahzab [33]: 5).
 
3. Bahasa
 
Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30):
 
     Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan
     langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan
     warna kulitmu ...
 
Al-Quran demikian menghargai bahasa dan  keragamannya,  bahkan
mengakui penggunaan bahasa lisan yang beragam.
 
Perlu  ditandaskan  bahwa  dalam  konteks  pembicaraan tentang
paham   kebangsaan,   Al-Quran   amat    menghargai    bahasa,
sampai-sampai seperti yang disabdakan Nabi Saw.,
 
     Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa (HR Muslim,
     At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang
     berbeda-beda tetapi dengan makna yang sama).
 
Pengertian "tujuh bahasa" antara lain  adalah,  tujuh  dialek.
Menurut   sekian  keterangan,  ayat-ayat  Al-Quran  diturunkan
dengan  dialek  suku  Quraisy,  tetapi  dialek  ini   --ketika
Al-Quran   turun--   belum   populer   untuk  seluruh  anggota
masyarakat.  Sehingga  apabila  ada  yang   mengeluh   tentang
sulitnya  pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan
oleh ayat tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi  yang  berbeda
kata-katanya agar menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai
contoh  dalam  Al-Quran  surat  Al-Dukhan  (44):  43-44   yang
berbunyi,  "Inna  syajarat  al-zaqqum  tha'amul  atsim, pernah
diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir,  kemudian
turun  lagi  dengan  kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy
populer di kalangan seluruh masyarakat,  maka  atas  inisiatif
Utsman  bin  Affan  (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali
sebagaimana tercantum dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.
 
----------------                              (bersambung 3/3
EBANGSAAN                                               (3/3)
 
Pengertian  lain   dari   hadis   tersebut   adalah   Al-Quran
menggunakan  kosa  kata  dari  tujuh  (baca:  banyak)  bahasa,
seperti bahasa Romawi, Persia, dan Ibrani, misalnya kata-kata:
zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan lain-lain.
 
Untuk  menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi Saw. tidak
jarang  menggunakan  dialek   mitra   bicaranya.   Semua   itu
menunjukkan  betapa  Al-Quran  dan Nabi Saw. sangat menghargai
keragaman bahasa dan dialek. Bukankah seperti yang dikemukakan
tadi,   Allah  menjadikan  keragaman  itu  bukti  keesaan  dan
kemahakuasaan-Nya?
 
Nah,  bagaimana  kaitan  bahasa  dan  kebangsaan?  Tadi  telah
dikemukakan   hadis   yang   diriwayatkan  oleh  Ibnu  'Asakir
berkaitan dengan Salman, Bilal, dan Suhaib.  Pada  hakikatnya,
bahasa  memang  bukan  digunakan  sekadar  untuk  menyampaikan
tujuan pembicaraan dan yang  diucapkan  oleh  lidah.  Bukankah
sering  seseorang  berbicara  dengan dirinya sendiri? Bukankah
ada pula yang berpikir  dengan  suara  keras.  Kalimat-kalimat
yang   dipikirkan   dan   didendangkan   itu  merupakan  upaya
menyatakan pikiran dan  perasaan  seseorang?  Di  sini  bahasa
merupakan jembatan penyalur perasaan dan pikiran.
 
Karena  itu  pula  kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran.
Masyarakat   yang   memelihara   bahasanya   dapat   memeliara
identitasnya,  sekaligus  menjadi  bukti keberadaannya. Itulah
sebabnya  mengapa  para  penjajah  sering  berusaha  menghapus
bahasa   anak   negeri  yang  dijajahnya  dengan  bahasa  sang
penjajah.
 
Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan  hal
yang  diyakini,  dirasakan,  serta  sesuai  dengan  kenyataan.
Karena itu, tidak jarang Kitab Suci ini menggunakan kata  qala
atau  yaqulu  (dia  berkata,  dalam  arti  meyakini),  seperti
misalnya dalam surat Al-Baqarah (2): 116:
 
     Mereka berkata, "Allah mengambil anak". Mahasuci
     Allah, dengan arti mereka meyakini bahwa Allah
     mempunyai anak.
 
Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah  yang  baik)
yang dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:
 
     Mereka yang berkata, "Jauhkanlah siksa jahanam dari
     kami". Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang
     kekal
 
Ucapan  ini  bukan  sekadar  dengan  lidah  atau   permohonan,
melainkan  peringatan  sikap,  keyakinan  dan perasaan mereka,
karena  kalau  sekadar  permohonan,  apalah   keistimewaannya?
Bukankah  semua  orang  dapat bermohon seperti itu? Karena itu
tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa pada  hakikatnya
berfungsi  menyatakan  perasaan  pikiran, keyakinan, dan sikap
pengucapnya.
 
Dalam konteks paham kebangsaan, bahasa pikiran, dan  perasaan,
jauh  lebih  penting  ketimbang  bahasa lisan, sekalipun bukan
berarti  mengabaikan  bahasa   lisan,   karena   sekali   lagi
ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.
 
Orang-orang  Yahudi  yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani,
dikecam oleh Al-Quran dalam surat  Al-Hasyr  ayat  14,  dengan
menyatakan:
 
     Engkau menduga mereka bersatu, padahal hati mereka
     berkeping-keping.
 
Atas dasar semua itu, terlihat bahwa  bahasa,  saat  dijadikan
sebagai  perekat  dan  unsur  kesatuan umat, dapat diakui oleh
Al-Quran,  bahkan  inklusif  dalam   ajarannya.   Bahasa   dan
keragamannya  merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran
Allah. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari  bahasa  harus
lahir  kesatuan  pikiran  dan  perasaan,  bukan  sekadar  alat
menyampaikan informasi.
 
4. Adat Istiadat
 
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara  lain
dalam adat istiadatnya.
 
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara
lain:
 
     Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak
     kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan
     mencegah yang mungkar (QS Ali 'Imran [3]: 104)
 
     Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat
     kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang
     jahil (QS Al-A'raf [7]: 199).
 
Kata  'urf  dan  ma'ruf  pada  ayat-ayat  itu  mengacu  kepada
kebiasaan  dan  adat  istiadat  yang tidak bertentangan dengan
al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
 
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat  beragam  sesuai  dengan
kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu
masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat  lain.  Apabila
rincian   maupun  penjabaran  itu  tidak  bertentangan  dengan
prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai 'urf/ma'ruf.
 
Imam  Bukhari  meriwayatkan,   bahwa   suatu   ketika   Aisyah
mengawinkan  seorang  gadis  yatim  kerabatnya  kepada seorang
pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi yang
tidak  mendengar  nyanyian  pada  acara  itu,  berkata  kepada
Aisyah,   "Apakah   tidak   ada   permainan/nyanyian?   Karena
orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..." Demikian,
Nabi Saw. menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
 
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam  suatu
masyarakat  selama  tidak  bertentangan  dengan prinsip ajaran
Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu  pertimbangan  hukum
(al-adat  muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan
setelah   menghimpun   sekian   banyak   rincian   argumentasi
keagamaan.
 
5. Sejarah
 
Agaknya,  persamaan  sejarah  muncul  sebagai unsur kebangsaan
karena unsur ini merupakan salah  satu  yang  terpenting  demi
menyatukan  perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat.
Sejarah menjadi penting, karena  umat,  bangsa,  dan  kelompok
dapat  melihat  dampak  positif  atau  negatif pengalaman masa
lalu,  kemudian  mengambil  pelajaran  dari   sejarah,   untuk
melangkah  ke  masa  depan.  Sejarah  yang gemilang dari suatu
kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya,
demikian pula sebaliknya.
 
Al-Quran  sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah.
Bahkan  tujuan  utama  dari  uraian  sejarahnya  adalah   guna
mengambil   i'tibar   (pelajaran),   guna  menentukan  langkah
berikutnya.  Secara  singkat  dapat  dikatakan   bahwa   unsur
kesejarahan  sejalan  dengan  ajaran  Al-Quran. Sehingga kalau
unsur  ini  dijadikan  salah  satu   faktor   lahirnya   paham
kebangsaan,  hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama
uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai  kebaikan  dan
kemaslahatan
 
6. Cinta Tanah Air
 
Rasa   kebangsaan   tidak   dapat   dinyatakan  adanya,  tanpa
dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.
 
Cinta tanah  air  tidak  bertentangan  dengan  prinsip-prinsip
agama,  bahkan  inklusif  di dalam ajaran Al-Quran dan praktek
Nabi Muhammad Saw.
 
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang
dinilai  oleh  sebagian  orang sebagai hadis Nabi Saw., Hubbul
wathan minal iman (Cinta tanah air adalah bagian  dari  iman),
melainkan  justru dibuktikan dalam praktek Nabi Muhammad Saw.,
baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
 
Ketika Rasulullah Saw. berhijrah  ke  Madinah,  beliau  shalat
menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan,
rupanya  beliau  rindu  kepada  Makkah  dan   Ka'bah,   karena
merupakan  kiblat  leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab.
Begitu  tulis  Al-Qasimi   dalam   tafsirnya.   Wajah   beliau
berbolak-balik  menengadah  ke  langit,  bermohon  agar kiblat
diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini  dengan
menurunkan firman-Nya:
 
     Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke
     langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
     kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
     Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah [2]: 144).
 
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak  pula  ketika
meninggalkan  kota  Makkah  dan  berhijrah  ke Madinah. Sambil
menengok ke kota Makkah beliau berucap:
 
     Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang
     paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat
     tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan
     meninggalkannya.
 
Sahabat-sahabat Nabi Saw.  pun  demikian,  sampai-sampai  Nabi
Saw. bermohon kepada Allah:
 
     Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami,
     sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada
     kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
 
Memang, cinta  kepada  tanah  tumpah  darah  merupakan  naluri
manusia,  dan  karena itu pula Nabi Saw. menjadikan salah satu
tolok ukur kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari  tanah
tumpah  darah".  Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri
orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih  senang  di  negeri
sendiri."
 
Bahkan  Rasulullah  Saw.  mengatakan  bahwa  orang  yang gugur
karena membela  keluarga,  mempertahankan  harta,  dan  negeri
sendiri  dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela
ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan  pembelaan  agama
dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
 
     Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi
     sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang
     tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula
     mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
     menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
     Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
     orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir
     kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu
     (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
 
                              ***
 
Dari uraian di  atas  terlihat  bahwa  paham  kebangsaan  sama
sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
 
Bahkan  semua  unsur  yang melahirkan paham tersebut, inklusif
dalam ajaran  Al-Quran,  sehingga  seorang  Muslim  yang  baik
pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota
suatu  bangsa  terdiri  dari  beragam  agama,   atau   anggota
masyarakat  terdiri  dari  berbagai  bangsa,  hendaknya mereka
dapat menghayati firman-Nya dalam  Al-Quran  surat  Al-Baqarah
ayat 148:
 
     Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang
     ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka
     berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di mana
     saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
     sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
     sesuatu.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
ADIFAH 2220 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute