BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam seminar itu hadir sejumlah tokoh nasional, seperti mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Shinta Nuryah, Taufiq Kiemas, begawan hukum tata Prof Dr Sri Sumantri, SH, serta Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Marwah Daud Ibrahim. “Kita perlu reorientasi kehidupan berbangsa.,” ucap Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur. Reorientasi bangsa tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang punya kedudukan istimewa dalam kehidupan kean, tetapi semua lapisan masyarakat. Megawati dalam sambutannya menekankan hal sama. “Yang penting untuk bangsa, bagaimana kita dengan konsekuen menjalankan konstitusi, yakni UUD 1945, yang akibat reformasi empat kali di amandemen.” Ketua Umum PDI Perjuangan itu mengajak semua untuk merenungkan dan menghayati kembali Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya tertuang Pancasila.
Dalam acara seminar itu, seniman Franky Sahilatua lewat lagunya mengajak semua untuk tak meninggalkan Pancasila. “Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua. Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya. Untuk semua, puji namanya, untuk semua cinta sesama. Untuk semua keluarga menyatu. Untuk semua bersatu rasa. Untuk semua., saling memberi. Pada setiap insan, sama dapat sama rasa…,” lantun Franky disambut tepuk tangan.
Menyangkut aksi pembakaran dan perusakan rumah pengikut aliran Ahmadiyah, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri menekankan kembali pentingnya pemahaman nilai-nilai konstitusi. Itu salah semua. Kesalahan yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah merupakan urusan agama. Tetapi, kata Gus Dur, pihak yang telah melanggar hukum tetap harus ditangkap. Sayangnya hal itu tak dilakukan karena pemerintah ketakutan. Karena pemerintah tidak memberikan pendidikan yang jelas, seolah-olah tindakan itu jadi benar. Megawati mendukung pandangan itu. “Seperti yang dikatakan Gus Dur, saya merasa tujuan dari kehidupan ini sudah tidak jelas, karena kita tidak berpegang pada konstitusi yang telah disepakati,” ujarnya.
Ketua Presidium ICMI Marwah Daud turut menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi. Dia berpendapat apapun yang sifatnya kekerasan dan mengklain pihak lain, tidak patut dilakukan . “Kebenaran tidak bisa diklaim dan dipaksakan,” ucapnya . (Kompas, 6/2).
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengatakan, “ Meskipun sejak reformasi bergulir Pancasila sudah jarang disebut, itu bukan berarti filsafat bangsa Indonesia itu diganti, “ katanya dalam Forum Pancasila, Kamis (27/4), namun , “ ….dalam perbuatan, nilai-nilai itu dikhianati tanpa rasa malu. Yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap Pancasila dalam praktik. Dalam kehidupan kolektif berbangsa, nilai-nilai Pancasila tidak lagi menuntun perilaku warga.” Dicontohkan sekitar sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. “Benar, masjid, gereja, pura, klenteng, dan tempat ibadah lainnya banyak pengunjungnya. Tetapi apakah kehadiran orang ditempat itu ada pengaruhnya dalam memperbaiki perilaku kita sebagai individu atau secara kolektif? Saya sangat meragukan,” tuturnya.
Pertambahan jumlah rumah ibadah tidak memiliki kolerasi positif dengan perubahan perilaku kearah kebaikan dan kejujuran. “Kenyataannya sungguh-sungguh sangat memprihatinkan. Politik menjadi mata pencarian karena lapangan pekerjaan yang lain amat sulit didapatkan,” katanya. “Secara formal konstitusional Pancasila berada dipuncak, tetapi dalam realitas kita mengkhianatinya secara kolektif. (Kompas,28/4).
Secara terpisah Rektor Universitas Islam Jakarta Azyumardi Azra mengemukakan, Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia perlu revitalisasi dan aktualisasi. Itu dibutuhkan karena bagi bangsa Indonesia Pancasila lah yang paling cocok dan tepat digunakan sebagai ide dasar umum bagi kehidupan berbangsa dan ber. “Saya tidak melihat ada tawaran ide dasar lain selain Pancasila yang tepat dan cocok untuk Indonesia,” selama delapan tahun terakhir sejak reformasi bergulir, pejabat publik telah malu berbicara tentang Pancasila. Untuk masyarakat Indonesia yang multi kultur ini, Pancasila adalah kekuatan integrative.” Dia tegaskan: ”Bahkan untuk ini perlu manifesto politik dan penegasan kembali bahwa Pancasila penting bagi bangsa Indonesia.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Francesco Budi Hardiman, mengemukakan perlu membuka pintu penafsiran baru Pancasila yang dulu diinterpretasikan secara doktrinal hanya oleh penguasa. “ Perlu penafsiran secara nasional dan kategorial. Dulu Pancasila hanya ditafsirkan secara substansial saja sehingga tidak memberi ruang kepada rakyat untuk terlibat didalamnya,” kata Budi. “Masalahnya dulu, Pancasila diinterpretasikan sepihak oleh penguasa dan menjadi indoktrinatif,” kata Budi. ( Kompas, 29/4).
Menurut Benny Susetyo, pendiri Setara Intitute, sekarang ini ada tiga soal mendasar yang jarang lagi didiskusikan. Pertama, ketidakjelasan idiologi bangsa, ketidakjelasan konsep pembangunan, serta mulai memudarnya kewibawaan kepemimpinan. Paham kebangsaan semakin lama semakin meredup, tidak jelas, dan semakin diombang-ambingkan oleh kekuatan internasional. Akibatnya rakyat mulai menpertanyakan apa sebenarnya yang diperbuat pemimpin selama ini.
Mengenai pluralisme, “Pluralisme sebenarnya merupakan realitas asli masyarakat Indonesia yang sulit dicari ditempat lain,” ujar cendikiawan Muslim Afrika Selatan Prof. Dr. Farid Esack dalam diskusi “The Challenge of Pluralism in a Globalized World” di Jakarta, Jumat (2/6). Farid, mengatakan, “Munculnya kelompok Islam garis keras di Indonesia, merupakan ancaman bagi pluralisme Indonesia. Bahkan, kalangan Muslim Indonesia pun terancam”. Islam Indonesia diserang oleh arabisme. Dan arabisme yang tidak mengakar pada rakyat Indonesia pasti berbenturan dengan Islam yang asli di Indonesia”, ujarnya. (Kompas, 3/6/2006).
Rm. Benny Susetyo, dari sumber Mirifica e-News (http:/www.mirifica.net) menulis “Pancasila kita sekarang ini diuji bukan lagi sekadar untuk menbendung aliran komunisme, memenangkan dari ancaman komunisme, melainkan diuji apakah ideologi ini bisa mengatasi kemiskinan”. “Pancasila kita juga sedang menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap lainnya. Kalau di masa lampau Pancasila selaku ideologi dan falsafah bangsa Republik Indonesia sukses menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, bagaimana untuk masa depan? Hal itulah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini yakni, apakah sudah ada indikasi sehingga “Kita perlu reorientasi kehidupan berbangsa” untuk “membangun Peradaban Indonesia”.
B. RUMUSAN MASALAH
Pancasila telah disepakati sebagai satu-satunya asas kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan dalam kehidupan ber. Sebagai dasar , Pancasila telah disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 18 Agustus 1945 dan berlaku surut 17 Agustus 1945 melalui sidang pleno PPKI. Dan sebagai philosofis berbangsa, Pancasila merupakan pandangan hidup yang sudah berurat-berakar sejak dari leluhur bangsa Indonesia. Itulah sebabnya Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno berbulat tekat memperjuangkan dan mengumandangkan Pancasila itu keseluruh dunia sebagai way of life diluar paham komunisme dan faham liberalisme. Pancasila menjadi konsep gerakan yang kemudian di kenal dengan nama, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (TUBAPI). Dan sejak Jenderal Suharto menggantikan Ir. Soekarno menjadi Presiden RI, posisi Pancasila dan UUD 1945 makin diperkokoh dengan tekad ‘Melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) yang menghasilkan TAP No. II / MPR/ 1978, tetapi sejak Orde Reformasi menggantikan Orde Baru semua gerakan penghayatan dan pengamalan Pancasila dicabut berdasarkan TAP No. XVIII/MPR/1998.
1. Pernyataan Masalah:
Dengan tidak adanya gerakan penghayatan dan pengamalan Pancasila sejak Orde Reformasi digulirkan di Negara Republik Indonesia sampai hari ini, dimanakah posisi tingkat kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila hasil penelitian tahun 1995 berjudul, “Penelitian Internalisasi Gerakan Hidup Ber-Pancasila dalam Orde Baru.”
2. Keadaan yang diinginkan :
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap Pancasila, tidak akan dibawah posisi tingkat kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila hasil penelitian tahun 1995 paling tidak sampai tahun 2009, yakni akhir masa jabatan Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla ( SBY- JK).
3. Ruang Lingkup :
Ruang lingkup yang dimaksud dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila menyangkut pemahaman dan penerimaan pada lingkup kejiwaan, sikap, dan dari situ diharapkan berpengaruh terhadap interaksi sosial dan politik.
4. Daerah Penelitian tahun 1995 :
Daerah penelitian dipilih di Karawang dengan alasan :
- Letaknya berada pada jalur lalu lintas padat dengan arus mobilitas tinggi;
- Ragam penduduk heterogen, dengan demikian sistem relasi sebagai komunitas tradisional terhindari;
- Mencerminkan keragaman profesi, atau bekerja dengan berbagai kesibukan;
- Letaknya agar standar dari pusat pembinaan P-4 pusat dan BAKOR PBP Tingkat I, Jawa Barat, Bandung.
5. Daerah Penelitian Tahun 2006 :
Untuk mengetahui posisi tingkat kesadaran nilai-nilai Pancasila setelah Orde Reformasi menggantikan Orde Baru memiliki lokasi Sidoarjo, Jawa Timur, pemilihan lokasi ini karena hampir mirip dengan Karawang.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat evaluatif, yakni untuk mengetahui posisi tingkat kesadaran masyarakat di Sidoarjo, Jawa Timur, terhadap nilai-nilai Pancasila dalam era reformasi. Tingkat kesadaran itu berada di atas, sama, atau di bawah posisi tingkat kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1995. Karena sifatnya evaluasi, instrument yang digunakan juga tetap sama yakni instrumen tertutup kuantitatif, disamping data pustaka dari media massa, terutama Kompas. Responden ditetapkan dengan menggunakan sistem random sampling dengan alternatif jawaban : a). setuju sekali, b). setuju, c). ragu-ragu, d). kurang setuju, dan e). tidak setuju. Pengolahan data dilakukan secara manual yang tergambar dalam grafik.
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan terutama untuk menyakinkan Menteri Kordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia terhadap posisi Pancasila selaku ideologi, Falsafah, dan Dasar Negara Republik Indonesia akhir-akhir ini yakni mengenai tingkat kesadaran di kalangan ‘akar rumput’ dan tingkat kesadaran dari kalangan elit politik dan penguasa. Upaya menyakinkan itu menjadi sangat mendesak terutama dengan timbulnya keresahan dari para tokoh dan mantan-mantan Presiden yang mangajak semua pihak merenungkan dan menghayati kembali Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang Pancasila .
2. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :
2.1 Tersedianya informasi terkini mengenai pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila khususnya di Sidoarjo, Jawa timur (2006) dalam era reformasi sebagai sampel penelitian, dan disandingkan dengan hasil penelitian (1995) di Karawang, Jawa Barat, sebagai pembanding dalam masa Orde Baru.
2.2 Dari hasil penelitian ini akan direkomendasikan suatu ajakan untuk menggagas suatu wacana mendalam tentang bagaimana perwujudan Pancasila selaku ideologi, falsafah dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sebagai way of life bangsa Indonesia.
D. KERANGKA TEORI
Pengesahan Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidangnya yang pertama di gedung Kesenian Jakarta. Sidang ini menghasilkan beberapa keputusan penting yang mennyangkut kehidupan ketataan. PPKI telah;
a. Mengesahkan UUD , termasuk di dalamnya Dasar ;
b. Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Sukarno dan Drs. M. Hatta sesuai dengan aturan peralihan III UUD 1945
c. Presiden untuk sementara waktu akan dibantu oleh sebuah Komite nasional sesuai dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal IV.
Pancasila sebagai dasar menurut perumusan yang disahkan oleh PPKI seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 berbunyi sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah satu-satunya perumusan Pancasila dasar negara yang benar dan sah. Maka Pembukaan UUD 1945 yang mengandung Pancasila dasar negara merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan bangsa Indonesia untuk mengisi cita-cita kemerdekaan; mengandung pula cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan dalam mengisi kemerdekaan. Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran ialah ide-ide fundamental, yang diciptakan/dijelmakan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 ialah:
a. Pokok pikiran persatuan
b. Pokok pikiran keadilan sosial
c. Pokok pikiran kedaulatan rakyat
d. Pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Maka jelaslah bahwa Pembukaan UUD 1945, yang memuat dasar negara negara Pancasila dan yang mengandung 4 pokok pikiran merupakan satu kesatuan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan karenanya tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk MPR hasil Pemilihan umum mengubah isi pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini untuk pertama kalinya dinyatakan dalam Tap.No.XX/MPRS/1966. setiap ada sidang MPR ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ini dikukuhkan; berturut-turut dengan adanya ketetapan-ketetapan No.V/MPR/1973, No.IX/MPR/1978, dalam konsiderans Tap.No.III/MPR/1983 dan No. III/MPR/1988.
BAB II
PANCASILA IDEOLOGI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Arti Ideologi
Dalam arti luas istilah “ideologi” dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normative. Dalam arti ini keyakinan bahwa negara harus menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan kesetiakawanan disebut ideologi. Penggunaan kata “ideologi” ini oleh kebanyakan penulis menganggap tidak tepat, bahkan menyesatkan, ada asosiasi negatif. Orang biasanya tidak rela cita-citanya disebut idelogi, karena - komunis (yang mengaku Marxisme-Leninisme sebagai “ideologi” yang mereka banggakan. Kata ideology itu sebagai sesuatu yang positip yakni nilai-nilai dan cita-cita yang luhur, bukan sebagai ideologi begitu saja, melainkan sebagai ideologi terbuka.
Dalam arti sempit sebenarnya ideologi adalah gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Ideologi ini disebut “ideologi tertutup” karena kemutlakannya, tidak mengizinkan orang mengambil jarak terhadapnya. Secara singkat, dengan ideologi tertutup dimaksud gagasan-gagasan tertentu dimutlakkan.
Disamping kata “ideologi”, juga ada kata “ideologis”. Kata itu selalu berkonotasi negatif dan tidak pernah dipakai dalam arti “ideologi terbuka”. Setiap usaha untuk memutlakkan gagasan-gagasan tertentu disebut ideologis. Biasanya kata “ideologis” sekaligus membawa konotasi, bahwa gagasan-gagasan yang dimutlakkan itu sebenarnya menyelubungi dan dengan demikian melindungi kepentingan-kepentingan dan kekuasaan tertentu. “Ideologis” disebut keyakinan-keyakinan dan teori-teori yang hanya pura-pura mengikuti criteria realitas dan kebenaran tertentu, tetapi dalam kenyataan ditentukan oleh kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kriteria itu.
1. Ideologi Tertutup
Suatu ideologi tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas. Ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan berupa cita-cita sebuah kelompok yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat. Ideologi tertutup adalah musuh tradisi. Kalau kelompok itu berhasil untuk merebut kekuasaan politik, ideologinya itu akan dipaksakan pada masyarakat. Pola dan irama kehidupan, norma-norma kelakuan dan nilai-nilai masyarakat akan diubah, sesuai dengan ideologi itu. Ideologi tertutup biasanya bersifat totaliter, jadi menyangkut seluruh kehidupan. Bidang yang segera dikuasai sepenuhnya dan dipergunakan bagi penyebaran ideologi itu adalah bidang yang mempengaruhi sikap-sikap masyarakat: bidang informasi dengan media massa dan bidang pendidikan. Pluralisme pandangan dan kebudayaan dalam masyarakat mau dihapus. Agama-agama sebagai bentuk kesosialan yang membuat kebal terhadap pengaruh ideologi-ideologi dibatasi dan kalau dapat dihancurkan. Demi ideologi itu hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi, sebagaimana dikatakan oleh Rousseau. Demokrasi yang nyata dan pluralistik tidak akan ditolerir. Ideologi tertutup tidak mengakui institusi lawan yang merelatifkan tuntutan-tuntutannya. Kekuasaannya selalu condong ke arah total.
Kiranya jelas bahwa klaim ideologi tertutup selalu harus ditolak. Negara tidak berhak untuk membuat sebuah ideologi tertutup menjadi dasar kebijaksanaannya.
2. Ideologi Terbuka
Ciri khas “ideologi terbuka” ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekyaan rohani, moral, and budaya masyarakat sendiri. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan konsensus masyarakat. Ideologi terbuka tidak diciptakan , melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh karena itu ideologi terbuka itu adalah milik seluruh rakyat; masyarakat dapat menemukan dirinya kembali di dalamnya. Ideologi terbuka itu tidak hanya dapat dibenarkan, melainkan dibutuhkan. Ciri khas formal ideologi terbuka adalah bahwa isinya tidak langsung operasional.
Setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri. Misalnya kemanusian dan keadilan sosial dapat merupakan unsur dalam falsafah dasar . Dua tuntutan itu tidak tertutup melainkan terbuka terhadap perkembangan dan pengertian baru. Keluhurannya justru terletak dalam fakta bahwa dua prinsip dasar itu tidak langsung operasional. Maka setiap generasi harus kembali memahami apa arti kemanusian dan keadilan sosial dalam situasinya itu. Bahwa falsafah megara itu milik seluruh masyarakat kelihatan kalau kita memperhatikan perjuangan kemerdekaan beberapa bangsa, cinta pada kemerdekaan, pada bangsanya, oleh ketekadan untuk mengakhiri kehinaan penjajahan dan eksploitasi asing, demi hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, hal 367
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik, hal 368
Dalam sebuah pertemuan 1976 dikemukakan sebagai kesimpulan tentang diskusi yang selama beberapa tahun berlangsung di Jerman Barat tentang hal nilai-nilai dasar, bahwa “dapat tercapai kesepakatan bahwa moderen hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasar yang mendahuluinya. Dalam arti luas tetap tergantung dari sikap-sikap dasar moral dan nilai-nilai dasar itu. Hal itu terletak dalam kodrat demokratis moderen. “Kimminich, 16, dikutip, Suseno, ibid. 372.
0 komentar:
Posting Komentar