BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
- Kesimpulan.
- Pancasila yang lahir di penghujung akhir masa keemasan ideology dunia dipengaruhi ideologi nasionalis yang sudah dianut sejumlah negara yang merdeka sebelumnya. Lahir sebagai sebuah pemikiran di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI- Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang bersidang pada akhir Mei hingga awal Juni 1945, Pancasila menemukan kristalisasi di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang di sahkan 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan kemerdekaan RI.
- Pancasila dasar negara menjadi landasan berpijak bagi bangsa yang demikian beragam etnik, agama, adatistiadat dan bahasa, yang menetap tersebar di seribu pulau nusantara. Ir. Soekarno, pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, bahkan menekankan nasionalisme atau kebangsaan Indonesia sebagai sila pertama.
Meskipun gagasan kebangsaan Indonesia dalam perjalanannya kemudian berubah urutan menjadi sila ketiga dengan rumusan Persatuan Indonesia, jelas nasionalisme menjadi dasar ideologi yang terpenting ketika negara baru ini diharapkan pada kemajemukan masyarakat, “Kehendak untuk bersatu”.
- Akan tetapi, tampaknya ada pergeseran makna kalau kita telusuri perjalanan ideologi Pancasila. Semula ia sebagai ideologi kebangsaan yang mencoba mengatasi keragaman, menjadi sekedar alat yang bersifat represif untuk mencapai tujuan penguasa. Proses hegemoni politik membuat Pancasila sebagai alat penyamarataan dari pada sebagai ideologi yang berdiri diatas perbedaan-perbedaan.Walaupun sempat terpinggirkan dalam wacana publik sejak lengsernya Orde Baru, ternyata kini Pancasila dianggap sebagai ideologi yang paling baik bagi bangsa Indonesia.
Upaya menengok kembali cita-cita bangsa yang dicerminkan dalam Pancasila tampaknya dilakukan, setelah perjalanan reformasi selama delapan tahun ini menunjutkan gejala perpecahan yang makin menghawatirkan. Kekhawatiran akan runtuhnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.
- Negara, sebagai otoritas tertinggi pengatur dan pelindung kehidupan warga, juga belum memberikan perlindungan yang sama terhadap semua kelompok masyarakat. Ada kecenderungan lepas tangannya negara , terutama terhadap sejumlah konflik terkait dengan agama. Sila ketuhanan Yang Maha Esa justru mendapat tantangan yang keras akhir-akhir ini dengan kian banyaknya kasus-kasus pelarangan, pelanggaraan dan pembangunan tempat ibadah oleh kelompok masyarakat tertentu. Wacana publik mengakui perlu ada kontekstualisasi dari teks-teks Pancasila, termasuk juga soal keadilan sosial. Karena itu, perlu ada kebebasan interpretasi terhadap sila-sila Pancasila. Jadi, tidak seperti indoktrinasi dengan satu penafsirsan tunggal, seperti era Orde Baru.
- Pancasila mesti diwacanakan oleh publik. Tiap orang dapat memberi masukan dan pikirannya. Ideologi tidak mungkin berasal dari atas seperti yang dilakukan Soekarno dan Soeharto. Ideologi mesti dibiarkan berkembang dalam masyarakat.
Dulu BP7 sibuk dengan ideologi terbuka, tapi dia sendiri tidak pernah membuka debat dan berbagai kemungkinan alternatif. Pemerintah bisa membantu akademisi untuk mengkaji. Dengan mengembangkan wacana, maka banyak orang yang tertarik dan memberikan sumbangan. Yang penting penguasa jangan melarang orang membicarakan Pancasila dan mengambil alih kebenaran Pancasila.
7. Pluralisme jangan sekadar dipahami sebagai ide yang memperolehkan semua ide hidup. Pluralisme seperti itu hanya akan menghadirkan ide fundamentalis yang sarat kekerasan. Pluralisme harusnya dipahami sebagai ide yang harus diperjuangkan untuk mendukung kehidupan yanh lebih baik. Pluralisme sebenarnya merupakan realitas asli masyarakat Indonesia yang sulit dicari di tempat lain. Munculnya kelompok garis keras di Indonesia, merupakan ancaman bagi pluralisme Indonesia. Keagamaan, baik Islam maupun Kristen, sering dimanfaatkan pemeluknya untuk membangkitkan kepahlawanan. Padahal, persoalan yang sebenarnya sering terkait dengan ketidakadilan dan kekerasan. Bagi pemeluk agama, jalan terbaik untuk menghindarkan benturan dengan pemeluk lain adalah menghilangkan klaim superioritas agama sendiri atas agama lain.
- Rekomendasi
Hasil pemilu tahun 2009 yang akan datang sebaiknya MPR dan DPR mulai memikirkan pengganti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Hal ini sangat penting karena P4 sebagai Implementasi konkret dalam berpikir, bertindak, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Negara Republik Indonesia. Sejak TAP MPR nomor II tahun 1978 mengenai P4 dicabut dengan Tap MPR nomor XVIII tahun 1998 seolah-olah dasar Negara Pancasila, Negara kehilangan arah dan pedoman dalam bertindak maupun menjalankan sistem pemerintahan. Sebagai bukti, adanya peraturan daerah (Perda) dan tindakan anarkis yang tidak bernapaskan Pancasila telah menimbulkan keresahan dilingkungan Masyarakat.
Pengamalan Pancasila jangan lagi menjadi tudingan untuk mempertahankan kekuasaan seperti pada masa Orde Baru. Demikian dengan GBHN, sejak pemilu 2004, dimana Presiden dan Wakil Presiden pilih langsung oleh rakyat sehingga MPR tidak lagi menetapkan GBHN untuk pedoman Presiden dalam menjalankan pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar